Tumbal

46 6 0
                                    

Penulis : Anny Siyulandari dan Yoona

Masa lalu kelam? Siapapun pasti memilikinya. Tak terkecuali dia, Kyai Sarmin, lelaki senja yang kini sangat dihormati warga kampung. Siapa yang tak kenal beliau, terlebih tentang kehidupannya di masa muda. Kehidupan tanpa rasa belas kasihan.

"Dulu setelah jam lima sore, anak-anak gadis di sini tidak boleh keluar lagi, Nduk," jelas ibuku, Darsih, sambil meneguk teh jahe di teras rumah.

Aku ingat betul, itu pertama kalinya aku tahu cerita masa muda Kyai Sarmin, saat aku masih delapan tahun. Lampu jalanan tidak begitu terang, namun cukup jelas untuk melihat ke seberang jalan.

Namanya juga kampung, masih banyak lahan kosong di sekitar sini. Bahkan, jarak satu rumah ke rumah lain adalah sebuah gang jalan untuk pemukiman di kota.

"Apa yang terjadi di kampung ini, Mak?" tanyaku penasaran. Ibuku tersenyum, dan menatapku penuh arti. Kuhirup aroma wedang jahe buatan ibuku, cukup menghangatkan tubuh mungilku saat mendung kala itu.

*****

Wak Sarmin, begitu orang-orang memanggilnya. Dia merupakan tetua desa di sini. Dia terkenal sangat kaya dan di segani. Dan dia juga di takuti.
Bukan rahasia umum kalau Wak Sarmin gemar bermain ilmu hitam. Namun, tidak ada seorang pun yang berani menghentikannya. Mereka takut Wak Sarmin mengambil anak gadis mereka sebagai tumbal.

Dayu, kembang desa yang terkenal dengan kecantikannya. Rambut ikal panjang, hidung bangir, dan mata bulatnya begitu mempesona. Tidak hanya itu, kepolosan dan keramahan seorang gadis desa begitu lekat dengan dirinya. Kulit sawo matangnya menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemuda di Kampung Aren. Tak terkecuali, Wak Sarmin.

"Ayolah, Yu. Kau takkan kekurangan apapun kalau menikah denganku," bujuk Wak Sarmin suatu hari.

"Maaf, Pakde. Pakde sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Lagi pula, Minah itu sahabatku," tolak Dayu halus sambil menyebutkan nama salah satu anak Wak Sarmin yang seumuran dengannya.

Wak Sarmin sakit hati dengan penolakan Dayu. Selama ini tidak ada yang pernah menolaknya. Dengan iming-iming kekayaan, gadis-gadis kampung pasti mengiyakan bujukan Wak Sarmi. Walaupun, itu hanya sekedar kedok kebusukannya.

Dia gelap mata. Kebetulan purnama ini dia membutuhkan gadis untuk diperawani sebelum memakan organ tubuh mereka sebagai syarat. Dia memilih Dayu sebagai tumbal.

Siang itu, Dayu, Minah dan Darsih, tampak sedang duduk di tepi sungai. Ketiganya sedang asyik mengobrol sembari mencuci pakaian kotor. Tanpa mereka sadari, lima lelaki bertopeng mengendap-endap di belakang mereka.

Dengan sigap, ketiga gadis itu berhasil di bekap menggunakan kantung hitam. Ketiganya pingsan, lalu dibawa ke tempat Wak Sarmin.

Ketiganya meronta saat tersadar, namun mereka kalah tenaga melawan. Mereka dikurung dalam sebuah ruangan pengap dengan penerangan sebuah lampu tempel kecil. Tentu saja itu tidak membantu penglihatan mereka.

"Di mana kita?" tanya Darsih takut.

"Di ruang bawah tanah milik bapak," jawab Minah.

Darsih dan Dayu langsung terdiam mendengarnya. Mengertilah mereka apa yang akan terjadi. Dayu menggigil. Sedangkan Darsih menggenggam tangan Minah dengan erat. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya.

"Aku takut," ujar Dayu parau. Minah hanya terdiam. "Ini pasti karena aku menolak pinangan, Pakde!" imbuh Dayu yang mulai menangis.

"Aku akan menggantikanmu, Dayu. Aku juga tak suka hidup seperti ini. Biarlah ini menjadi akhir kehidupan bapak," ujar Minah.

Horror StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang