Arumi sedang menikmati es krim yang dipesannya sejak tadi. Sesekali, ia memainkan laptopnya. Gadis itu berada di sebuah kafe sendirian. Ketika hendak berjalan ke kasir untuk membayar es krim dan makanan yang dipesannya tadi, ternyata ia lupa membawa dompet.
"Aduh, bagaimana ini?" Arumi panik dan mencoba memeriksa kembali tasnya, barangkali dompetnya terselip. Namun, lagi-lagi ia memang tidak menemukan dompet itu. Sepertinya ia benar-benar lupa memasukkan dompet ke dalam tas. Sekarang, apa yang harus dilakukannya? Apakah ia harus menelepon ibunya untuk mengantarkan dompetnya kemari? Tapi, kasihan jika ibunya harus datang ke kafe ini hanya untuk sekedar mengantarkan barangnya yang tertinggal.
Dengan terpaksa, Arumi berjalan ke arah kasir dan menyampaikan keadaan sebenarnya. "Mbak, saya boleh mengambil dompet saya dulu? Saya lupa membawa dompet. Saya janji akan kembali lagi," ucap Arumi.
"Maaf, Kak, tidak bisa!" jawab pelayan kasir.
"Mbak, saya akan kembali lagi. Saya benar-benar tidak membawa uang ataupun kartu debit. Saya titipkan laptop ini sampai saya kembali," ujar Arumi lagi.
Pelayan itu terdiam sejenak, lalu menatap rekan kerjanya. "Maaf sekali, Kak, tidak bisa. Mungkin Kakak bisa menghubungi kerabat untuk mengantarkan dompetnya."
Arumi menghela napas panjang. Mau tidak mau, ia harus menelepon ibunya dan memintanya untuk mengantarkan dompet. Namun, tiba-tiba seorang pria muncul dari belakang Arumi.
"Total pesanannya berapa, Mbak?" tanyanya kepada kasir.
"Seratus lima puluh ribu, Kak," jawab pelayan.
Pria itu langsung menyerahkan uang tunai kepada kasir. Arumi menoleh ke pria itu dan mendapati sosok yang ternyata adalah Pak Shaka.
"Pak Shaka?" tanyanya heran.
Arshaka hanya tersenyum tanpa berani menatap mata Arumi. Akhirnya, ia tertunduk kembali.
"Ini kembaliannya, Kak. Terima kasih!" ucap pelayan sambil menyerahkan kembalian uang.
Arshaka mengangguk.
"Pak, nanti setelah sampai rumah, saya ganti ya," tutur Arumi yang masih berdiri di depan kafe bersama Arshaka.
"Saya tidak meminta untuk diganti, Arumi. Kebaikan keluargamu sudah lebih dari cukup," jawab Shaka.
Arumi menggeleng. "Tidak bisa begitu, Pak. Sama saja saya memiliki utang, dan utang itu harus dibayar."
"Tapi di sini, saya yang meminta agar kamu tidak menggantinya."
•••
Arumi tengah duduk menonton televisi. Setelah sekian lama, ia merasa jantungnya kembali berdebar. Sejujurnya, ia sedikit khawatir karena saat ini pikirannya melayang kepada Arshaka. Arumi ingat nasihat Halimah bahwa kita tidak boleh memikirkan laki-laki yang bukan mahram secara berlebihan, karena bisa menimbulkan zina, dan perbuatan zina sangat dibenci Allah. Arumi tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalunya.
Namun, jujur saja, Arshaka benar-benar orang yang baik. Arumi dibuat kagum dengan sikapnya. Entah untuk keberapa kalinya, ia mengatakan bahwa Arshaka begitu baik. Entah berapa kali pula ia melihat Arshaka menolong orang lain.
"Arumi, kenapa senyum-senyum sendiri? Ingat ya, tidak boleh berpacaran!" ucap Marwah yang kini duduk di samping Arumi.
Arumi menoleh kepada Marwah dan memeluk wanita paruh baya itu. "Bunda, Arumi tidak pacaran. Lagi pula, siapa juga yang mau sama Arumi," tutur Arumi sambil tersenyum.
"Arumi cantik begini, pasti banyak yang mau," jawab Marwah.
"Tapi belum tentu mereka bisa menerima masa lalu Arumi, kan, Bunda?" balas Arumi terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arumi Dan Masa Lalu
Teen Fiction"Kalau kamu masih menanyakan mengapa Ayah dan Bunda selalu melarangmu, kejadian ini lah jawabanya, Arumi. Ini yang Ayah takutkan selama ini. Hubungan di luar dari pernikahan itu hanya dilandasi oleh nafsu belaka Arumi. Sekarang, kehormataan kamu tel...