Deru nafas yang semakin cepat, keringat yang membasahi wajah serta tubuh, pandangan yang mulai kabur, namun tubuhnya tetap ia gerakkan. Ia tak mau kalah dengan yang lain, bahkan hingga larut pun masih berusaha memperbaiki gerakan tariannya.
Ctek
Suara yang mengiringi tariannya pun terhenti. Ia menolehkan pandangannya mencari tahu, siapa yang mengganggu fokusnya saat latihan. Matanya menangkap sosok wanita yang satu tahun lebih tua darinya.
Ia menghembuskan nafasnya kasar. "Haahh.. kenapa?"
Chika memutar bola matanya malas. Kenapa manusia di depannya ini sangat keras kepala sekali? Sudah ia peringatkan untuk berhenti dari dua jam yang lalu.
Chika melangkahkan kakinya berjalan mendekat ke arah Ara, "Pulang, aku gak mau kamu sakit"
Tanpa ingin berdebat lagi, ia hanya menganggukkan kepalanya dan beranjak untuk membereskan tasnya. Chika melangkahkan kakinya lebih dulu ke luar ruangan itu dan menunggu Ara di teras.
"Nih minum dulu" tangan Chika terulur memberikan sebotol air mineral kepada Ara yang sudah duduk di sebelahnya.
Matanya terpejam menikmati air yang Chika berikan. Seperti menemukan sebuah danau di gurun pasir yang gersang, begitulah rasanya.
Keheningan menyertai keduanya. Chika yang sibuk memandangi langit dengan banyak pikiran yang bersarang di kepala, sedangkan Ara masih mengatur nafasnya agar lebih tenang.
"Raa.."
"Hm?"
"Kenapa sih latihan sampe segitunya? Kamu boleh ambis, tapi tau batas juga. Jangan sampe terlalu berlebihan yang akhirnya bikin kamu sakit" Chika sangat khawatir jika Ara sudah terlalu letih akibat latihan yang berlebih.
Sudah diduga, gadis di sampingnya itu pasti akan marah jika ia terlalu memaksakan diri. "Yaa, aku latihan sampe malam karena aku gak mau ada orang lain yang bisa gantiin posisi aku sebagai center"
"Tapi ngga dengan cara kayak gitu juga ra. Kamu inget kan empat bulan kejadian empat bulan lalu yang buat diri kamu masuk rumah sakit? Itu karena kamu terlalu maksain diri, latihan sampe malem, kurang istirahat, pola makan berantakan. Aku gak mau kamu kayak gitu lagi" Ara tersenyum tipis mendengar kekhawatiran Chika.
Ia tak menyangka ada seorang gadis yang rela memikirkan kondisi kesehatannya padahal dirinya sangat 'masa bodo' dengan diri sendiri. Matanya menatap Chika lebih dalam, mencoba mencari alasan mengapa manusia di depannya ini begitu perhatian kepada dirinya.
Chika yang ditatap Ara seperti itu membuat dirinya salah tingkah dan langsung memalingkan wajahnya. "Apasih ra, dinasehatin malah natap aku kayak gitu"
"Ciee salting" ledek Ara yang ikut tersenyum.
"Demen banget sih natap aku kayak gitu, biar apa sih ra?"
Sejenak ia berpikir mencari jawaban yang tepat, tapi tak juga menemukannya. "Biar apa ya? Biar kamu suka sama aku mungkin?" Jawab Ara seraya menahan senyumnya.
"Ish. Dasar buaya" Ara hanya terkekeh mendengar perkataan itu. Bagaimana bisa Chika menanggapnya buaya, sedangkan hanya ada nama Chika yang terpatri dihatinya?
Ara melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 23:45. "Udah malem banget nih, yuk pulang"
"Kamu yang pesen ya taksi onlinenya" ucap Chika yang hanya diangguki oleh Ara.
Tak membutuhkan waktu yang lama, taksi online yang akan mereka tumpangi pun tiba. Keduanya segera masuk ke dalam mobil dan menyenderkan tubuh setelah melewati hari yang cukup sibuk.