CDLM 8

56 16 0
                                    

Assalamualaikum, pren kalo baca jangan asal baca ya, klik nya juga dong.
Happy reading 🙂


Semakin hari, semakin santer berita yang berhembus antara Raihan dan Marsha. Ditambah postingan Marsha yang sedang berada di rumah Raihan, dan berfoto-foto dengan umma Raihan.

Banyak yang menduga  bahwa mereka telah menjalin hubungan yang serius, termasuk Alda dan Zahwa.

“Eh, bener gak sih, Ra, kabar yang beredar itu?” tanya Zahwa pada Ara ketika mereka di kantin pada jam istirahat pertama.

“Setahu aku, sih gak sampe sejauh itu,” jawab Ara.

“Gue yakin banget Budhe Fatimah gak mungkin dengan mudah mengijinkan Raihan pacaran. Apalagi hubungan serius gitu,” lanjut Ara.

“Tapi bisa aja, 'kan, ummanya Raihan suka,” timpal Alda.

“Setahu aku, mereka keluarga yang terkenal ketat soal aturan agama. 'Kan, di agama dilarang berpacaran, karena mendekati zina,” jelas Ara.

“Yang aku dengar dari Mbak Dhisa, memang Marsha sering main ke rumahnya, tapi pas gak ada Raihan,” lanjut Ara.

“Kamu ngomong gini, bukan karena dia masih saudara kamu, 'kan, Ra?” tanya Zahwa.

“Ya enggak lah”

°°°

Sementara itu, di tempat lain, Marsha yang merasa tidak enak badan, memilih untuk istirahat di UKS. Sudah tiga hari ini, kepala nya terasa pusing.

Ting! Bunyi notifikasi dari hp Marsha, ia dengan sedikit malas menyalakan dan membaca pesan yang tertera.

“Kata Nurul, kamu lagi gak enak badan, Sha, kamu sakit apa?” tanya laki-laki dari salah satu kontak Marsha.

“Cuma pusing aja, udah dua hari,” jawabnya.

“Yaudah, nanti pulang sekolah aku jemput ya,” balasnya.

“Gak usah mas, aku pulang sendiri aja. Kan katanya, mas masih ada materi hari ini.”

“Iya, sih, tapi gak papa, aku bisa bolos dulu buat jemput kamu."

“Gak usah mas, aku balik sendiri aja.”

“Oke deh, tapi kamu jangan pakai ojek sepeda motor ya, pakai mobil aja, ntar di rumah aku ganti. Nanti selesai langsung ke rumahmu.”

Marsha yang sudah membaca pesan terakhir itu, segera memasukkan benda pipih tersebut pada sakunya. Dia berusaha untuk bangun dari brankar, tetapi tampaknya rasa pusing di kepala nya belum juga reda. Nurul memasuki ruang UKS dengan membawa surat izin untuk pulang pada Marsha.

°°°

Malam hari, Marsha berada di dalam kamarnya, berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali ia datang bulan. Keresahan semakin ia rasakan, tatkala ia merasakan mual tadi pagi dan ditambah bahwa pembalutnya masih tersusun rapi di lemari mejanya. Tanda ia belum datang bulan. Dengan kebimbangan, ia memutuskan membeli test pack di sebuah mini market. Keesokan paginya, ia menggunakan test pack tersebut. Satu menit, hasilnya pun terbaca. Gadis itu terpekik kaget, terdapat dua garis merah di sana. Marsha sangat bingung dan panik, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia mencoba menghubungi salah satu kontak di hp-nya. Setelah beberapa kali ia mencoba menelepon, akhirnya tersambung juga.

“Kamu punya waktu, gak?” tanya Marsha pada orang yang ia telepon.

“Sekarang?” tanyanya balik.

“Iya, kita ketemuan di kafe biasanya,” pinta Marsha.

“Oke!” Marsha menutup teleponnya dan bersiap-siap untuk pergi.

°°°

Secangkir kopi susu hangat dan suasana kota di malam hari, menemani Marsha yang sedang duduk di pojok kafe. Gadis itu hanya mengenakan piyama ditambahkan jaket dan hijab seadanya. Pintu kafe terbuka, menampakkan seorang lelaki yang Marsha tunggu dari tadi.

Tanpa bercakap-cakap, setelah lelaki itu duduk berhadapan dengan Marsha, Marsha menyodorkan test pack yang  ia bawa.

Laki-laki itu tampak kebingungan. “Bukan punyamu, kan?” tanya lelaki itu memastikan.

Marsha menunjuk dirinya, yang menandakan bahwa itu adalah miliknya. Orang dihadapannya membulatkan matanya. Ia tak menyangka.
Mata Marsha kini memanas. Gadis itu tak mampu berkata-kata, suasana hatinya campur aduk saat ini.

“Gue belum siap, Sha!” Lelaki itu menggelengkan kepalanya pelan.

“Gue akan berusaha cari uang buat beli obat penggugur,” lanjutnya.

“Hah! Aku gak mau berbuat dosa lagi. Kita udah dosa zina, sekarang, kamu mau, kita dapat dosa membunuh?” balas Marsha emosi.

“Terus kamu mau gimana, Sha? aku belum siap!”

“Kamu pikir, aku juga siap? Nggak!” Marsha tak sanggup membendung air matanya lagi.

“Oke, sekarang kamu pulang dulu, udah malam. Besok kita omongin lagi, ya,” bujuk laki-laki itu pada Marsha dan Marsha meng-iya kan.

°°°

Dengan rasa kantuk yang masih melekat di tubuh Marsha, ia memaksakan untuk membuka matanya di pagi hari. Ia mencari keberadaan ponselnya. Setelah menemukannya, ia mengotak-atik, mencari nama kontak laki-laki tersebut. Hasilnya nihil, sudah beberapa kali ia meneleponnya, lelaki itu tidak menjawabnya. Nomornya sudah tidak aktif lagi.

CUKUP DI LAUHULMAHFUZ(SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang