47.Empat Puluh Tujuh

10.4K 953 8
                                    

Minggu depan akan ada pertemuan bisnis di negara sakura Jepang, seperti yang Reza katakan beberapa bulan lalu.

Pulang dari perusahaan Reza langsung menemui istrinya yang sedang duduk di sofa menikmati tayangan televisi. Duduk di sampingnya dan menceritakan rencana kepergiannya itu.

"Za ikut ya," bujuk Reza pada istrinya.

"Enggak, Zay. Lagian hamil besar kayak gini bahaya."

"Bisa minta surat perizinan dokter dan kita tanya dokter boleh atau enggak, gimana?"

"Kita jalan-jalan Za sekalian aku kerja." Reza cemberut memeluk tubuh Iza dengan wajah mendusel leher Istrinya.

"Baby-nya keteken Zay." Mendorong tubuh Reza sedikit menjauh.

Reza yang memaksa Iza untuk ikut bersamanya ke Jepang dalam pertemuan bisnis. Namun, Iza menolak untuk ikut, juga dokter yang melarang ibu hamil untuk bepergian menggunakan pesawat terbang.

"Za, ikut. Nanti kita makan takoyaki bareng, kulineran bareng, liat pohon sakura, yang aneh-aneh deh Za."

Iza menanggapi dengan anggukkan. Melepas jas yang masih di pakai suaminya, karena buru-buru menghampiri Iza sepulang dari perusahaan. Membuka ikatan dasi yang terlilit di leher suaminya, juga membuka dua kancing atas kemejanya.

"Dah, mandi dulu." Menepuk pundaknya.

Tak habis, ketika Iza duduk di atas ranjang yang bersenderan bantal, Reza menghampirinya dengan cepat, membantingkan tubuhnya ke atas kasur. Reza berbaring sisi Iza yang sedang duduk, memeluk Iza dengan tangan yang mengukir di atas perut besar istrinya.

"Zaa..," Iza menutup bukunya dan menatap wajah Reza yang memelas.

"Iya, sayang?" Mengusap pipi Reza dengan lembut juga mengelus rambutnya.

"Beneran gak mau ikut? Kembar mau ikut, kan?" Mengusap perut Iza yang ada sedikit gerakan dari si janin yang berada di dalam kandungan.

"Kembar.." panggilnya lagi dan mendapat tendangan kecil.

"Kembar mau ikut, Za," ucap Reza kegirangan.

Iza ikut mengelus perutnya. "Tapi, Bunanya gak mau ikut gimana?"

"Kenapa sih?" Reza memalingkan wajah dengan tangan yang di lipat, seolah marah.

"Nanti kalau tiba-tiba lahiran di sana, gimana?"

"Gak papa, bagus. Nanti anak kita identitasnya lahir di luar negeri."

"Ngaco."

"Hamzi sama Hanzel gak mungkin di tinggal. Iza bawa tubuh Iza sendiri aja dah berat, apalagi ngurus mereka berdua."

"Kita ajak juga Mbak Sari sama Mbak Samina. Sama Mbak Tani buat jagain kamu."

"Ribet, Zay. Nanti kamu gak fokus."

"Emang kamu gak bakal kangen sama aku? Bisa tidur kalau gak ada aku?"

"Bisa, kamu aja yang gak bisa tanpa aku." Ledeknya.

"Seminggukan di sana? Nanti yang semangat. Jangan kegatelan sama cewe-cewe di sana yang lebih cantik, jaga pandangan. Kalau kangen telepon aja, pasti aku angkat. Salatnya jangan lupa. Iya?"

"Hmm," deheman yang terdengar sebagai jawaban dari ucapan Iza, tangan yang mengukir di perut Iza melihatkan bahwa dirinya yang dilanda galau.

"Kalau aku gak pergi, gimana?"

"Jangan aneh-aneh."

"Udah, yuk makan malam, anak-anak pasti udah nunggu." Mengusap rambut Reza seraya turun dari ranjangnya.

DUDA ANAK DUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang