57. Lima Puluh Tujuh

8.8K 734 7
                                    

Semuanya akan pulang, kecuali Iza dan Reza. Anak-anak tentunya sangat sulit untuk di lepas, merengek memaksa agar orang tuanya juga ikut pulang.

“Buna enggak sayang kita lagi?”

Iza terkekeh. “Enggak gitu, sayang. Buna sama Ayah nanti pulang. Nyusul.”

“Kita enggak bareng sama Buna?”

Iza melirik pada Reza yang sedang menggendong dan membujuk Hanzel. Dirinya jadi bingung untuk melepaskan anak-anak yang merengek. Hamzi memeluk tubuh Iza.

Bu Nining duduk di samping Iza. “Hamzi pulang dulu nanti Ayah sama Bunda nyusul.”

“Hamzi sayang Buna?” Hamzi mengangguk.

“Hamzi ikut apa kata orang tua, tidak boleh bantah selagi tidak ada yang salah. Buna minta Hamzi sama Hanzel pulang, ikut Nini Aki sama Nenek. Buna nanti juga pulang.” Hamzi mengangguk.

“Hamzi boleh telepon Buna dan Ayah pagi-pagi, malam, atau kapan pun.”

“Sini lihat Buna.” Hamzi melepas pelukan dan menatap mata Iza.

“Hapus air matanya.” Hamzi menghapus air mata yang masih membasah di pipinya.

“I love you.”

“Me too.”

Iza mencium pipi juga hidung mungil Hamzi. Terakhir Hamzi mengecup bibir Bunda.

Setelah perbincangan yang panjang. Akhirnya anak-anak luluh dan menurut untuk pulang.

“Akhirnya..” seru Reza setelah melepas anak-anaknya pergi.

“Yes!”

“Cuma sama kamu untuk satu pekan ke depan.” Reza memeluk Iza dari belakang. Mengecup pipi Iza berkali-kali karena sangat senang.

“I love you, i miss you, i with you.”

Duduk di sofa berdua menyenderkan tubuh mereka pada kepala sofa.

“Udah ini kita ngapain?”

Iza membuang napas dalam. Lalu melirik Reza yang juga meliriknya.
Telepon berdering. Iza menepuk jidatnya karena yang menelepon adalah Hamzi yang baru saja berangkat, mungkin sekarang dia baru sampai jalan.

“Buna.. kangen.”

“Buna kangen, enggak?”

“Hmm, Hamzi , kan, baru beberapa menit lalu berangkat. Buna sama Ayah juga baru duduk di sofa. Kenapa udah nelepon lagi?”

“Kangenlah Buna.”

“Iya deh Iya. Hati-hati di jalannya. Selama enggak sama Buna, Hamzi harus baik dan nurut sama Nenek sama Mbak Samina, Mbak Sari dan lainnya.”

“Siap!”

“Okey, matiin ya.”

“Tunggu ada yang ketinggalan.”

“Apa?”

“Love you,” kata Hamzi yang membuat Iza dan Reza menepuk jidat bersamaan.

“Love you too, mmuah.”

“Dadah, Buna.” Hamzi tersenyum, lantas mematikan teleponnya.

Iza terdiam sejenak, lalu melirik dan menatap Reza yang ada di sisinya.

“Authornya susah update. Lama banget updatenya. Capek nungguin. Kamu juga capek kan Za gak lahiran-lahiran.” Reza terkekeh, sedangkan Iza mengangguk.

“Sehat-sehat deh ya authornya, biar lancar updatenya. Yang penting semangat.”

“Amiin.”

“Iza udah mulai beser. Sebentar mau ke air.”

.....

Reza membuka matanya, melihat seorang wanita yang masih tertidur lelap di pelukannya. Tak lama, Iza membuka matanya dan pandangan tertuju pada Reza sebagai awal hari.

“Morning.”

“Morning.”

“Morning kembar.”

Lalu, mereka menjalankan salat subuh bersama. Reza sebagai imam dengan melantunkan ayat suci ynag sangat indah di dengar.

Duduk berdua dengan secangkir teh hangat, udara yang segar di pagi hari juga suasana alam yang begitu menenangkan. Mereka tak banyak bicara, sama-sama menikmati hari pertama mereka berdua dan ter sibukkan dengan pikiran mereka masing-masing.

Iza memikirkan bagaimana dengan hari-harinya yang akan semakin berat. Dua orang anak dan di tambah dua orang anak lagi. Memandangi dirinya sendiri. Apa sanggup? Apa bisa? Bagaimana dengan waktunya? Ia akan ter sibukkan dengan anak-anak. Untuk kali ini, ia masih bisa memaksa untuk menikmati waktu berdua dan melakukan yang dirinya inginkan. Tapi, apa nanti masih bisa?

Tatapan Reza pun sama dengan tatapan Iza, lurus dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa dirinya masih bisa membahagiakan Iza saat nanti anak mereka lahir? Iza tentunya akan ter sibukkan oleh anak-anak. Nama yang pantas untuk anak-anaknya. Reza merasa sedikit terlepas ketika ia bisa menikmati waktu tanpa terikat dengan anak-anak.

“Nanti kita bisa enggak ya curi-curi waktu kaya gini?” tanya Iza.

“Semoga saja.” Reza melentikkan bahunya.

Kembali melamunkan beban hidup lagi.

“Setelah lahir, kayaknya rumah bakal lebih rame lagi deh. 24 jam rumah enggak bakal hening.”

“Di meja makan tambah rame,” tambah Reza.

“Apalagi kalau nanti nganterin sekolah.”

“Terus.. semua maunya sama Bunda. Ayahnya bakal lebih sering tidur di sofa.” Iza tertawa membayangkan masa yang akan datang nanti.

Mereka benar-benar menenangkan diri dan berdamai dengan yang lalu dan yang akan datang.  

Melakukan yoga sekaligus merilekskan diri di dekat kolam renang, sedangkna Reza ia sedang membuka laptopnya tak jauh dari Iza.

“Nanti kalau lahiran gimana ya, Zay? Pasti sakit.”

“Iza bisa ngelewatin enggak ya, Zay?"

“Kalau nanti tiba-tiba Iza ...”

“Shuut! Makin ngaco! Pasti bisa, kita kan berjuang sama-sama.”

Mereka benar-benar menikmati dan menghabiskan waktu berharga mereka dengan sebaik mungkin. Dinner romatis, menonton film, dan melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan. Walaupun, Hamzi terus menelpon kedua orang tuanya.

"Selama pernikahan baru ngerasain berduaan ya."
 

DUDA ANAK DUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang