Chapter 12 : Another Pain

817 132 24
                                    

"Harry, kau kenapa? Makanannya tidak enak, ya?" tanya Hermione yang duduk di hadapannya. Mereka sedang berada di sebuah pub garden di wilayah pinggiran London.

"It's your birthday, Mate! Cheer up!" sambung Ron yang duduk di sebelahnya.

"Tidak ada. Makanannya enak, kok," elak Harry yang tentu saja tidak diterima oleh teman-temannya. Ia memperhatikan ke arah kelompok orkes yang memainkan musik jazz untuk menghibur pelanggan.

"Makanannya memang enak, tapi aku tahu kau berbohong, Harry," ucap satu-satunya wanita di meja itu. Ia meraih tangan kiri Harry yang tidak memegang apa-apa. "Tell us, Harry."

Harry menatap secara bergantian dua wajah di hadapannya. Wajah-wajah yang menemaninya dalam petualangan fantastis selama masih di sekolah.  Harry menarik nafas panjang, menahannya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Mempersiapkan diri untuk memberitahu kedua sahabatnya mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

"Ron, Mione," panggilnya pada dua orang yang duduk di hadapannya. Secara perlahan ia menarik tangannya agar terlepas dari genggaman sahabat perempuannya. "Apa yang akan kalian lakukan, jika, aku selama ini berbohong pada kalian?"

Ron memiringkan kepalanya sambil memancarkan tatapan bingung di kedua matanya. "Entah lah, aku tidak tahu. Tergantung dengan apa yang selama ini kau sembunyikan dari kami," ucap pria berwajah berbintik itu. Ia menenggak botol bir yang sedang ia genggam.

Harry memejamkan kedua matanya. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini. Ia tidak siap. Dan sepertinya tidak akan pernah siap. Mungkin sebaiknya ia menyembunyikan ini sampai embusan nafas terakhirnya. Tapi itu terdengar seperti sesuatu yang salah, dan menyedihkan.

"Apa kau selama ini punya pekerjaan namun tidak pernah memberitahunya pada kami?" Ron berusaha menebak apa yang Harry sembunyikan, namun Harry menggeleng dengan pelan. Menolak untuk mengonfirmasi dugaan Ron.

"Kau yang diam-diam mengirimkan buket bunga setiap Ginny bertanding?" terka pria berambut merah sebahu itu lagi. Lagi-lagi tebakannya itu tidak dibenarkan oleh Harry.

"Sebentar, apa ini sesuatu yang mengerikan?" tanya pria itu berusaha meminta petunjuk.

Harry mengedikkan bahunya. "Mungkin? Entah lah ... bisa jadi ... ini hal yang mengerikan."

Kedua bola mata Ron membelalak seakan-akan dua benda itu ingin mencuat keluar dari tempatnya. Ia terlihat menahan napas. "Jangan bilang kau merasakan kalau Kau-Tahu-Siapa bangkit lagi?" tanya pria itu dengan wajah penuh horor.

Harry menggeleng kencang, lagi-lagi menolak membenarkan dugaan sahabatnya itu. Lagi pula, itu adalah hal yang mustahil. Seluruh horcrux milik Voldemort sudah dihancurkan. Sudah tidak ada lagi jalan untuknya bangkit. Ia telah mati. Dan juga dua sahabatnya itu sudah pasti menjadi yang pertama Harry beri tahu jika Voldemort memang benar-benar kembali.

"Baiklah, aku menyerah," ucap Ron kemudian.

Harry menghela napas sejenak sebelum kembali bersuara. "Tidakkah kalian memperhatikannya selama ini?"

Hermione menganggukkan kepalanya sambil memejamkan sepasang almon miliknya. "Ya, aku memperhatikannya. Dan aku tahu apa yang kau sembunyikan selama ini, Harry," ujar Hermione yang akhirnya angkat bicara.

Harry sedikit terkejut saat tahu kalau sahabatnya itu sudah tahu, tapi tidak terlalu terkejut karena, yah, dia adalah Hermione. "Aku telah mencurigai ini sejak tahun terakhir dan setelah kelulusan. Tapi aku baru dapat memastikannya setelah makan siang terakhir kita."

Harry mengalihkan tatapannya ke langit sore yang sedang cerah. Ia tidak berani menatap ke teman-temannya. Entah apa yang ia rasakan, tapi yang jelas ia kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri yang telah menyembunyikan ini dari teman-temannya.

The Day We PromisedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang