PROLOG

349 25 0
                                    

"Yang Mulia Putra Mahkota..."

Pemuda itu tidak memedulikan suara yang memanggilnya dan terus berjalan melewati taman itu seorang diri. Matanya yang berwarna merah cerah menatap bintang-bintang di langit malam dengan tatapan sendu. Angin malam yang hangat membelai lembut wajahnya. Malam itu cuacanya jauh lebih hangat dari malam biasanya. Salju sudah mencair sejak beberapa hari yang lalu. Bunga-bunga di taman Istana juga mulai bermekaran, pertanda musim dingin sudah berakhir dan dimulainya musim semi.

"Yang Mulia Putra Mahkota Edward."

Pemuda itu menoleh ke arah datangnya suara yang memanggilnya. Dia belum terbiasa dengan sebutan itu. Baru beberapa hari yang lalu dirinya dimahkotai sebagai Putra Mahkota Schiereiland yang baru. Baru beberapa hari yang lalu dirinya kembali dari perang yang dimenanginya. Perang yang membuatnya menjadi Putra Mahkota. Perang yang merenggut nyawa kakaknya yang sangat dihormatinya, Putra Mahkota Phillip. Perang yang juga merenggut nyawa sahabat baiknya dan gadis yang dicintainya. Perang yang membuatnya tidak bisa tidur sepanjang malam selama berhari-hari karena dihantui perasaan bersalah dan menyesal.

"Ada apa?" Tanya Edward. Saat melihat pengawal pribadinya datang menghampirinya dengan membawa sesuatu yang ditutupi selimut, Edward kembali bertanya, "Apa itu yang kau bawa?"

Pengawal pribadinya itu adalah pria yang usianya sama dengan Raja Eustacius, ayahnya. Tapi pria itu membungkuk sangat rendah di hadapannya. Karena dia adalah Putra Mahkota Schiereiland, tentu saja semua orang harus bersikap seperti itu padanya.

"Apa yang kau bawa, George?" Tanya Edward sekali lagi.

George, pengawal pribadi Putra Mahkota yang baru, membuka selimut yang menutupi sesuatu yang dibawanya itu. Memperlihatkan bayi laki-laki yang tersenyum ceria saat menatap Putra Mahkota Edward dengan matanya yang berwarna Hazel. Saat melihat mata itu, Sang Putra Mahkota tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

"Apakah Kris... Tunggu... Itu tidak mungkin kan?"

"Benar, Yang Mulia. Tuan Muda Smirnoff dan Jendral Irene adalah orang tuanya. Kami menemukan bayi ini di kediaman mereka. Diperkirakan bayi ini lahir beberapa bulan lalu saat Jendral Irene masih di medan perang. Tapi karena tidak memungkinkan merawatnya di sana, Jendral mengutus salah satu ksatria Schiereiland untuk membawanya ke rumahnya."

Edward mengambil bayi itu dari tangan George dan menggendongnya. Bayi laki-laki itu tampak senang. Tapi Edward menatapnya dengan penuh kesedihan.

"Maafkan aku... Orang tuamu mati karena aku. Mereka mati demi menyelamatkanku. Maafkan aku... Aku tidak tahu kalau Irene..." Edward tidak sanggup membendung tangisannya saat melihat bayi itu. "Maafkan aku... Maafkan aku..."

"Yang Mulia... Ini bukan kesalahan Anda. Tolong berhenti menyalahkan diri Anda." Kata George.

Edward menggeleng, "Tidak. Ini salahku. Kematian Phillip, Kris, Irene dan banyak lagi yang lainnya itu karena aku bukan pemimpin yang baik. Ayahanda memberikanku kepercayaan untuk memimpin perang kali ini, tapi aku gagal melindungi mereka. Kenapa hanya aku yang bertahan hidup? Andaikan saja aku bisa mengulang waktu..."

Andaikan saja Edward bisa mengulang waktu. Ada banyak hal yang ingin Edward ubah. Dia akan lebih mendengarkan saran Phillip saat di medan perang sehingga dia tidak perlu mengambil strategi yang salah yang menyebabkan kakaknya itu mati. Dia akan meminta Kris dan Irene untuk tidak ikut dalam perang itu sehingga Irene bisa melahirkan bayinya di kediaman mereka dengan aman dan nyaman. Bayi itu juga tidak perlu kehilangan orang tuanya. Tapi lebih dari semua itu, jika Edward dapat mengulang kembali waktu, Edward akan meminta Irene untuk kembali pada keluarganya di Nordhalbinsel. Meski Irene akan bersikeras untuk tetap berada di Schiereiland karena dia mencintai Kris. Meski itu artinya Edward tidak akan bisa bertemu dengan Irene lagi selamanya. Paling tidak gadis itu akan tetap hidup di Nordhalbinsel sebagai putri dari Grand Duke Winterthur. Irene mungkin akan tetap menikah dengan Kris, atau mungkin menikah dengan bangsawan dari Nordhalbinsel, tapi Edward tidak peduli. Yang dia inginkah adalah Irene tetap hidup dan menjauhi perang yang merenggut nyawanya. Edward akan melakukan segala cara agar Irene mau menerima permohonan Grand Duke Winterthur saat itu untuk kembali ke Nordhalbinsel. Tapi itu hanya lah harapan kosong. Manusia tidak dapat mengulang waktu.

"Yang Mulia..." George menyadarkan Edward dari lamunannya. Dia tidak tega melihat Putra Mahkota yang dilayaninya tenggelam dalam kesedihan seperti itu. George menatap Edward dengan tatapan serius seolah apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang sangat penting yang mungkin dapat merubah segalanya.

"Apa Yang Mulia pernah mendengar soal Jam Pasir Grimoire?"

The Rose of The SouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang