Chapter VIII : La Reine en Deuil

176 20 2
                                    

Saat larut malam, dan semua orang sudah tertidur di beberapa alas tidur tambahan yang dibeli oleh Louis tadi siang di pasar, Anna diam-diam keluar dari pondok kecil mereka. Dia ingin melihat Cahaya Utara sekali lagi sebelum mereka kembali ke Schiereiland. Dia merasa akan merindukan Cahaya Utara itu.

"Rasanya aku tidak mau pergi." Kata Anna, saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Tanpa perlu menoleh, dia tahu itu Leon. Anna menghafal irama langkah kaki itu.

Leon duduk di sampingnya, menyampirkan selimut bulu tebal ke punggung Anna. "Bukan kah kau harusnya senang karena akan segera kembali ke Schiereiland? Tidakkah kau merindukan Schiereiland beserta langit cerah dan suhu hangatnya, Yang Mulia?" Tanya Leon, sambil turut memandang langit malam Nordhalbinsel.

"Aku memang merindukannya." Anna mengakui. "Rasanya sudah lama sekali. Saat ini pasti bunga mawar di tamanku sedang bermekaran. Aku bisa mencium aroma wanginya yang masuk ke kamarku lewat jendela yang terbuka. Aku benar-benar merindukan saat-saat itu. Tapi aku juga takut pada apa yang akan kulihat di sana. Taman mawarku mungkin sudah hancur dan hangus terbakar." Anna menoleh ke arah Leon yang ternyata sedang memandanginya. Leon tidak mengalihkan pandangannya. "Dan aku juga tidak mau meninggalkan rumah ini. Kau membelikannya untukku."

Leon tertawa, "Kau masih memiliki Istana di Schiereiland, Yang Mulia. Begitu pun Istana musim panas di pinggir pantai Canaria. Serta vila kerajaan di wilayah Smirnoff, Kief, dan Rantsoff Timur."

"Dan Istana Anastasia di Duchy Francis. Walaupun aku tidak pernah menggunakannya, itu tetap Istana milikku."

"Benar. Istana yang diberikan Nicholas. Jika dibandingkan dengan rumah ini—“

"Jika dibandingkan dengan rumah ini, Istana terlalu..."

"Besar? Mewah? Berkilauan?"

Anna menggeleng, "Bukan." Dia mencoba mencari kata yang tepat, "Terlalu... tidak sesuai." Katanya. Istana memang tempat tinggalnya sejak dilahirkan. Tapi Rumah ini adalah tempat tinggal yang dia impikan. Rumah yang pernah sangat ingin dia miliki untuk ditinggali bersama Leon. "Aku lebih suka tinggal di rumah ini. Bersamamu."

"Yang Mulia..."

Anna menghela napas, "Kau masih akan terus memanggilku begitu?"

"Ya."

"Baiklah."

"Aku akan menjawabnya sekarang. Lamaranmu saat itu..." Kata Leon. Kali ini dia menatap Anna dengan serius.

Anna berdebar karenanya, tapi Anna tahu apa arti tatapan itu. Anna sudah terlalu mengenal Leon untuk tidak mengharapkan jawaban yang dia inginkan keluar dari mulut pria itu.

Anna mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menatap Leon saat tahu apa yang akan dikatakannya, "Kau akan menolakku lagi kan? Apa kau tidak pernah melihatku sebagai wanita, walau cuma sesaat saja? Apa aku masih tampak seperti adik kecil yang perlu kau lindungi? Apa aku masih terlihat seperti putri manja yang hanya tahu hidup enak dan bahagia di Istana?"

"Tidak. Tidak terlalu." Jawab Leon langsung.

"Apa?"

"Aku menyukaimu. Sebagai adik perempuan. Sebagai Putri Schiereiland. Dan sebagai wanita."

Anna terdiam, tidak bisa berkata-kata. Rasanya tidak nyata. Ini tidak seperti apa yang dia bayangkan. Dia ingin berharap, tapi takut sendiri pada harapannya.

"Kalau begitu—“

"Aku minta maaf, Yang Mulia. Seharusnya aku tidak mengatakannya." Leon memotong perkataannya, berlutut di hadapannya.

Sekarang Anna bingung. Leon menyukainya. Tidak hanya sebagai adik atau Putri, tapi juga sebagai wanita. Tapi dia justru meminta maaf. "Apa maksudmu?"

"Kita tidak boleh seperti ini, Yang Mulia. Jadilah Putri Schiereiland yang kuat dan rebutlah kembali Schiereiland. Aku akan membantumu. Aku berjanji akan selalu berada di sisimu sebagai pedang dan perisaimu."

The Rose of The SouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang