Chapter XI : L'amour est un Sacrifice

202 19 0
                                    

Tengah malam saat semua orang sudah tertidur, saat gilirannya untuk berjaga tiba, Xavier berjalan agak jauh dari tenda mereka. Mereka masih berada di wilayah Nordhalbinsel. Angin dingin nan membekukan malam itu berhembus kencang. Angin itu membekukan ranting-ranting pohon yang dilewatinya, membekukan sisa-sisa kayu bakar di depan tenda mereka, dan tanah yang dipijaknya. Tapi Xavier tidak pernah merasa kedinginan sejak dulu seolah sudah sangat bersahabat dengan suhu dingin itu sendiri. Atau mungkin karena dirinya adalah Naga Api Agung.

Setelah cukup jauh dari tenda dan memastikan tidak ada yang mengikutinya, dia bicara pada udara dingin kosong di hadapannya.

"Elias." Panggilnya sepelan mungkin.

Dalam satu hembusan napas, Elias Winterthur sudah muncul di hadapannya. Tidak terlihat seperti biasanya, dia tampak lelah seolah belum tidur berhari-hari. Dia jelas belum tidur malam itu karena masih mengenakan seragam lengkap padahal sudah tengah malam. Rambut pirangnya terlihat berantakan. Kantung matanya tebal dan gelap. Dan kulitnya yang memang sudah seputih salju kini tampak sangat pucat. "Pulang lah, Xavier." Pintanya dengan suara yang terdengar letih, bahkan tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. "Elle membutuhkanmu. Kami semua membutuhkanmu."

"Laporan." Pinta Xavier. Tapi nada suaranya lebih terdengar seperti sebuah perintah.

"Sampai kapan kami harus menunggumu? Apakah Jendral Leon bahkan akan bersedia membantumu? Membantu kita semua?"

"Laporan, Elias." Suaranya menuntut.

Elias menghela napas, lalu melaporkan hal yang genting terlebih dahulu, "Kapal milik Orient terlihat tidak jauh dari perbatasan. Mereka mungkin akan segera tiba di wilayah perairan kita dua atau tiga hari lagi."

Pupil mata Xavier melebar. Saat dia meminta laporan, dia hanya bermaksud mendengar kejadian-kejadian yang masih bisa dia tangani melalui perintah-perintah kecil pada Elias. Tapi kemunculan kapal milik Orient berarti hal yang besar yang tidak bisa diatasi dengan perintah-perintah kecil. Meskipun sebenarnya Xavier sudah menduga hal itu akan terjadi, tapi dia tidak menyangka Orient akan bergerak secepat itu. "Berapa banyak?" Tanyanya, sebisa mungkin menjaga nada suaranya tetap tenang.

"Pulang lah. Kita cari cara lain untuk menyelamatkan Ibumu dan membinasakan Selena." Nada suara Elias kini jauh lebih memohon. "Kau bahkan boleh membawa Putri Anastasia bersamamu ke Istana kalau kau tidak mau meninggalkannya."

Xavier menggeleng. "Putri Anastasia sedang terluka."

"Dylan mati." Kata Elias. "Selena membunuhnya tepat di hadapan Elle."

Kali ini Xavier tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Xavier tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan Eleanor waktu hal itu terjadi di hadapan gadis itu. "Bagaimana keadaannya?" Tanya Xavier. Meski dia tahu itu pertanyaan bodoh. Tentu saja Eleanor tidak baik-baik saja.

"Kau baru menanyakannya sekarang?" Elias tertawa sinis. "Dia sibuk, tentu saja. Dia persis mayat hidup bergaun hitam dan bermahkota emas. Masih tetap cantik tak diragukan lagi, namun kurus dan pucat. Seolah menangani trimester awal kehamilan dan kematian kekasihnya belum cukup berat untuknya, dia kebetulan sekarang menjabat sebagai Ratu tunggal sekaligus pemimpin Menara Sihir, memimpin sebuah kerajaan yang dipenuhi orang-orang yang menatapnya dengan sinis seorang diri dan bersiap menghadapi entah apa yang Orient inginkan dari kerajaan kita padahal kondisi keuangan kita belum siap untuk perang. Dia berusaha keras untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang kau tinggalkan di Istana sementara kau main mata dengan Putri dari kerajaan lain."

"Aku tidak-"

"Teruslah menyanggah!" Nada suara Elias meninggi. Tatapannya tajam seolah sedang memarahi adik laki-lakinya yang suka membantah. "Sementara kau di luar sini entah mengerjakan apa, Orient sedang menajamkan anak panah mereka dan membidik kerajaanmu. Posisi Eleanor masih sangat rentan. Pendukung putra-putra Selena masih ada meski Sang Permaisuri sudah diasingkan. Beberapa selir ayahmu serta saudara-saudara tirimu mungkin bersiap menjatuhkannya. Tidak ada hari yang dia lalui tanpa ancaman pembunuhan. Dia tidak berani makan apa pun karena semua yang disajikan untuknya mungkin mengandung racun jadi dia memasak makanannya sendiri, padahal kita semua juga tahu Elle tidak bisa masak. Belum lagi masalah pangeran Ludwig dan adik-adiknya yang menghilang entah ke mana. Kondisi kesehatan ayahmu juga semakin parah. Beliau tidak akan bisa bertahan lama."

The Rose of The SouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang