[1] Hot Ramen in Cold Winter

3.3K 325 3
                                    

Burung besi raksasa berwarna putih dengan polet merah di ekornya, telah lepas landas beberapa jam lalu dari sarangnya. Saat ini ia menapaki gumpalan awan tebal di angkasa, menghiraukan goyangan pada tubuhnya akibat gesekan dengan awan itu.

Tak lama pengeras suara dalam tubuh pesawat mengumukan jika pesawat akan mendarat satu jam lagi. Seorang lelaki berusia 37 tahun bergeming mendengar suara itu, mengalihkan pandanganya yang dari tadi menatap sendu gumpalan awan dari balik kaca jendela.

"Permisi, apa saya bisa minta jus jeruk?" pintanya dengan bahasa Jepang yang fasih pada pramugari yang melintas di koridor tempat duduk.

Dengan ramah sang pramugari menjawab, "Mohon ditunggu. Apa ada pesanan lain?" tawarnya lagi pada penumpang di kelas bisnis tersebut.

"Tidak ada. Terima kasih."

Tak perlu waktu lama sang pramugari kemudian membawakan pesanan penumpang itu. Si lelaki mendapati sang pramugari masih dengan senyuman ramahnya, menyodorkan minuman pesanannya. Sekilas ia dapat membaca tanda pengenal yang terbingkai di seragam kerjanya.

"Terima kasih, Haruka chan," ujar si lelaki tampan di hadapannya dengan senyuman lebar yang disambut senyuman ramah lagi oleh si pramugari, kali ini dengan pipi yang merona. 

Bukan pertama kali si pramugari mendapat perlakukan ramah, yang sedikit menggoda, dari penumpang di pesawatnya. Namun tetap saja berhadapan dengan sosok tampan itu membuatnya tersenyum tersipu juga. Setelah memberikan pesanan, sang pramugari dengan iseng mengecek nama penumpang di nomor kursi kelas bisnis tersebut. Di tablet layar sentuh itu tertera sebuah nama, Praditya Dwipangga.

Tiga puluh menit sebelum pesawat benar-benar mendarat, kembali pengeras suara di dalamnya meminta penumpang untuk bersiap-siap dengan berbagai instruksi lain selama proses pendaratan. Tak lupa informasi tentang kondisi cuaca dan temperatur udara saat ini yang hampir menyentuh angka nol derajat selsius. 

Angga kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela pesawat, mendapati pemandangan di luar sana yang serba putih. Setelah pesawat mendarat dengan sempurna, ia kemudian menurunkan tas berukuran 15 inci yang terbuat dari kulit berwarna hitam dari rak kabin di atas tempat duduknya. Tak lupa ia mengenakan baju tebal yang sudah disiapkan sebelumnya.

"Biar saya yang bawa, Pak," ujar seorang pemuda berkacamata tebal yang sebelumnya duduk di sebrang kursinya, menawarkan untuk membawa tas itu.

"Ah, ide bagus. Terima kasih, Dev."

Tanpa ragu, Angga menyerahkan tas miliknya pada Deva Athaya, sekretarisnya. Mereka kemudian secara beriringan keluar dari perut pesawat itu, disambut udara dingin yang menusuk. 

Sebelum keluar dari pesawat, tak lupa Angga kembali menyapa pramugari tadi. Masih dengan senyuman lebarnya, ia berkata, "Sampai jumpa di penerbangan pulang."

***

"Pramugari tadi, apa kamu memperhatikannya?" tanya Angga pada pemuda yang tengah berjalan di sampingnya sambil mendorong troli berisi koper mereka.

"Yang mana?" Deva balik bertanya.

"Ah, yang tubuhnya paling kecil di antara semua pramugari," ujar Angga santai.

Si pemuda berkacamata itu mengernyit, berusaha mengingat. Namun memang ia tak memperhatikan dengan seksama para pramugari yang berseliweran di lorong-lorong kursi pesawat. Lagipula untuk apa juga diperhatikan, pikirnya. "Saya gak begitu memperhatikan," jawabnya kemudian. 

"Apa bapak menggoda pramugari itu?" tebak Deva, disambut tawa oleh Angga.

Sudah jadi kebiasaan atasannya itu sering 'mengedipkan' mata pada gadis-gadis muda. Apalagi gadis yang memiliki tubuh kecil, seperti pramugari yang tadi digodanya. Walaupun ia tahu, itu hanya perbuatan iseng saja. Tak pernah ada satu gadis pun yang benar-benar melekat di pikiran atasannya, bahkan nama calon tunangannya sendiri.

30 Days DinnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang