[52] Burning Out (1)

990 139 19
                                    

Lelah.

Mungkin kata itu yang tepat untuk menggambarkan kondisi Tasha saat ini yang tengah terduduk di kursi penumpang taksi warna biru. Wanita itu hanya bisa menatap kosong melalui kaca jendela dimana jalanan ibukota yang tampak lenggang di sisa seperempat sinar sang surya di atas sana. Ia sudah tak mampu lagi berpikir atau merasakan apapun. Tenaganya sudah terkuras habis setelah beberapa waktu lalu bergelut dengan logika-logikanya. 

Memutuskan untuk menyerahkan 10 tahun keuntungan finansial, bukan hal yang mudah bagi Tasha. Tapi tentunya keputusan itu ia anggap merupakan keputusan rasional yang pernuh dengan perhitungan-perhitungan, walaupun mungkin sedikitnya tetap melibatkan perasaan. Dan Tasha tak ingin memiliki hutang budi yang berlebihan, pada Ray apalagi pada Angga. Walaupun Tasha tahu alasan Angga melakukan itu semua karena perasaan lelaki itu yang tampaknya sampai detik ini tak berubah sedikitpun. Namun lagi-lagi Tasha akan menampik semua hal yang berkaitan dengan hati. Ia tak ingin terluka lagi.

Apa ceritanya akan berbeda jika kenyataan ini diketahuinya lima tahun lalu? Ketika Tasha belum mengetahui kondisinya yang tak sempurna sebagai wanita? Ketika ia masih mengira keganjilan-keganjilan di siklus bulanannya hanya hal wajar? Bisa jadi ceritanya akan berbeda. Ia mungkin akan membuka hatinya lagi. Namun sekarang terlambat, ia tak ingin merugikan siapapun.

Saat ini Tasha hanya ingin bersandar di kursi jok itu tanpa memikirkan apapun, kalau perlu ia tertidur di jok itu saja. Sampai suara sang supir membuyarkan lamunan kosong Tasha, ia sudah tiba di tempat tujuannya. 

Dengan sisa-sisa tenaga, Tasha melangkahkan kakinya memasuki sebuah cafe di kawasan mall, dimana seorang lelaki berkacamata yang ia kenal tengah menunggu di sana. Tasha berusaha menyapa ramah sosok Rama di salah satu meja dalam interior ruang serba kayu itu.

"Kamu baik-baik aja, Sha?" tanya Rama, disambut senyuman simpul oleh wanita berambut pendek itu.

"Hanya sedikit kelelahan, Mas."

Tasha mengambil tempat duduk di sebelah Rama, dilihatnya segelas jus melon sudah tersaji di sana. Gelas yang mengembun karena es di dalamnya itu terlihat segar di mata Tasha. Tanpa banyak bertanya, ia segera menyecap jus melon itu. Itu memang jus miliknya, sebelumnya Rama sudah memesankan minuman tersebut.

"Padahal kita bisa mengatur janji temu lagi dengan Kirana jika hari ini jadwalmu padat. Gak perlu memaksakan." 

"Aku baik-baik saja, Mas. Hanya perlu minuman segar." Tasha mencairkan suasana, setelah dirasakan minuman segar itu setidaknya sudah mendinginkan tubuhnya yang mungkin beberapa waktu tadi dirasa memanas.

"Jadi, apa Kirana bercerita alasannya mundur dari studinya?"

Sejujurnya itu hanya pertanyaan retoris bagi Tasha, tentunya wanita itu bisa menebak alasan Kirana berhenti dari studinya tentunya karena Tasha.

"Tidak, dia hanya bilang ada sedikit masalah pribadi. Makanya aku mengajakmu untuk membujuknya agar tetap lanjut. Sayang sekali harus berhenti di saat akhir. Progres tesisnya melesat lebih baik daripada sebelumnya-sebelumnya." Tutur Rama.

Dari penuturan rekan kerjanya itu, Tasha bisa menebak jika Rama tak tahu menahu urusan pribadi antara ia dengan mahasiswa bimbingannya itu. Awalnya Tasha ingin menolak pertemuan sore ini. Namun tentunya ia juga merasa bertanggung jawab dengan keputusan tak logis Kirana, pikirnya. Ia berharap pertemuan saat ini dimana Rama ada di antara mereka, bisa menjadi penengah untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Untuk menjelaskan kesalahpahaman Kirana pada hubungan Tasha dan Angga. 

Namun beberapa menit kemudian, sepertinya harapan Tasha untuk berkonsoliasi dengan Kirana tak akan pernah terjadi. Saat dilihatnya sosok wanita berperawakan tinggi dengan badan cukup berisi mendatangi meja mereka, tentunya itu bukan Kirana, namun tampak tak asing di mata Tasha.

30 Days DinnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang