2

17 2 0
                                    

Grape mengerjap. Matanya mengelilingi ruangan dengan pernak-pernik berwarna biru muda dengan gambar karakter kucing yang lucu dan ceria. Sepasang mata itu menemukan Jessie tertidur dipangkuan dengan selimut yang menutupi keduanya.

Dengan penuh kelembutan Grape memindahkan putrinya untuk berbaring di ranjang. Anaknya pasti menemukan ia tertidur sambil duduk bersandar, itulah mengapa posisi tidurnya berubah.

Sinar mentari menyapa kulit yang lembab, menghangatkan sisa dinginnya malam. Cahayanya terpantul oleh bening embun dihijaunya daun dan rerumputan. Sejuknya udara pagi hari, menyusup masuk membersihkan paru-paru.

Sulung Annete masihlah berupa bayang, seluruh ruangan dijelajah Grape terasa dingin. Kamar cinta kasih mereka yang manis, sudut ruangan yang ceria, bahkan dapur yang paling lekat dengan sosok Annete. Tidak ditemukan satupun dari tempat itu seorang Annete, selain kenangan yang sepertinya mulai pudar.

Grape mempercepat langkah menuju ruang tamu saat mendengar suara knop pintu. Ia menemukan Annete yang mematung menatapnya.

"Ada apa?"

Grape mendekat, mencari sesuatu yang salah dengan istrinya.

"Syukurlah kau baik-baik saja!"

Dipeluknya tubuh sang istri yang lebih tinggi darinya. Samar tercium bau alkohol dan apek, tapi Grape berusaha untuk tidak menanyakannya. Setidaknya tidak sekarang, ia harus memastikan Annete benar-benar aman.

"Apa yang terjadi? Apakah pekerjaanmu begitu banyak?"

"Kau tahu aku hanya model kecil, pekerjaanku tidak mudah. Selain itu sekarang aku harus jadi tulang punggung."

Baru kemarin Grape dipecat dan hari ini Annete merasa begitu miskin. Grape hanya mengusap dadanya, ia sudah tahu tabiat Annete dari empat belas tahun sebelumnya.

"Kau sudah dapat pekerjaan?"

"Baru kemarin ...."

"Kau akan betah menganggur jika terus menunda."

"Aku akan mencarinya nanti."

"Kenapa tidak pergi sekarang? Lebih pagi lebih baik!"

"Bersabarlah, kita akan baik-baik saja."

Annete mendelik. "Pengecut!" Lalu melenggang ke kamarnya.

Kenangan saat mereka bertemu begitu indah, Annete tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dalam ingatannya Annete begitu ramah, Annete jatuh cinta pada Grape karena kebaikan hatinya dan rupa'nya yang imut.

Lagi-lagi Grape mengusap dada, ia sungguh ingin menangis tapi ini bukan saatnya. Grape yakin istrinya bersikap demikian karena kelelahan, ia harus mengerti.

Pria itu memasak sendiri meski kesulitan, canggung dengan berbagai perabotan yang mulai asing. Ia juga segera merapikan ruangan dan membersihkannya, mengabaikan istrinya yang juga tidak peduli dan sibuk cekikikan dengan ponsel di tangan.

"Ayah, apa kau tidak jadi mengantarku sekolah? Kau sudah berjanji."

"Tentu saja ayah akan mengantarmu, kita bisa pergi bersama?"

"Sungguh?"

"Tentu!"

Mereka pergi tanpa diantar Annete seperti biasanya, bahkan pamitnya pun tidak dijawab. Keduanya berjalan bersama dengan ceria dan menyanyi dengan riang.

"Terimakasih sudah mengantar, I love you!" Jessie mencium Grape lalu berlari memasuki sekolah.

Grape bersedia berteriak, "ayah juga mencintaimu, sayang!"

Sekarang apa yang harus dilakukan? Kemana ia harus berjalan? Dari mana sebaiknya ia memulai? Grape menyusuri jalanan, ia sudah mengantar surat lamaran pada sebuah kantor, tapi sambil menunggu ia mencoba mencari pekerjaan paruh waktu.

Hari sudah tengah hari, ia belum mendapatkan apapun.

Satu Minggu sudah Grape belum dihubungi perusahaan, ia mulai kembali mengirim surat lamaran lainnya pada perusahaan lain, tapi hasilnya tetap sama.

Terik mentari membakar kulit, peluh bercucuran menuruni tubuh, memburu tanah seakan mencari kehidupan. Kepalanya sangat pusing, tapi lebih baik baginya daripada di rumah dengan cacian Annete.

Ia sudah menghubungi teman untuk meminta bantuan, sebagian ada yang mengatakan akan membantu sedang yang lainnya menghindar. Ia sudah menanyakan teman sekantor yang juga terkena PHK oleh perusahaan tempat kerja dulu yang hampir gulung tikar. Tapi banyak dari mereka yang bilang belum bekerja, mereka menganggapnya sebagai liburan.

Beberapa pekerjaan yang berat menolak Grape, menilai wajahnya yang imut Grape terlihat lemah dan tidak cocok diperkerjakan sebagai kuli. Grape sudah meminta bantuan pada istrinya untuk dicarikan pekerjaan di tempat ia bekerja, tapi wanita itu menolaknya mentah-mentah tanpa alasan yang jelas.

"Cutie! Mari minum kopi bersama!" Seorang pria berpenampilan sesukanya mengenali Grape. Seperti anak punk tapi dengan kaos pantai, apa maksudnya?

"Berhenti memanggilku seperti itu!"

"Oh, ayolah! Apa yang kau lakukan duduk bersila ditengah panas, kultivasi menjadi dewa api? Mari mampir ke kedai kopi sana!" Ujarnya menunjuk sebuah kedai kopi di sebrang jalan.

Namanya Samuel, lebih senang dipanggil Sam adalah sahabat Grape sejak masa kuliah. Mereka sesekali bertemu untuk sekedar ngopi atau untuk menonton pertunjukan band rock Sam. Meskipun orangnya sedikit unik, Sam merupakan satu-satunya teman yang selalu ada untuk Grape.

"Mencari pekerjaan memang cukup sulit sekarang, kau ingin menerima tawaranku?"

"Lupakan! Kau tahu Annete tidak suka musik cadas."

"Ah, benar juga! Tidak elegan konon? Kau dikekang oleh fashionnya yang perfect itu, kenapa tidak kau ting-"

"Cukup! Annete hanya ingin yang terbaik untukku."

"Jadi maksudmu selera musikku tidak baik?"

"Bukannya memang begitu?"

"A- betul juga ... Tapi bukan berarti tidak baik untuk hidupmu, musik keras meneriakan kemarahan untuk ketidakadilan!"

Tegas dan menggebu-gebu, Sam sampai menaiki meja untuk mengantar kepalan tangannya lebih tinggi.

"Stttt! Turun cepat, dilihat orang!"

"Oh. Hehe!"

"Yang pasti, kau seharusnya lebih tegas menindak sesuatu. Kau ini terlalu baik pada semua orang, mereka akan menindasmu, Cutie!"

"Tapi kau tidak?"

"Itu karena aku orang baik."

"Begitulah, orang baik tidak akan menindasku."

"Tapi ...."

Sam menelan kembali kalimat yang hampir diucapkannya. Dalam hati keduanya sama-sama bertanya, apakah Annete orang baik? Yang mana selama ini telah mengekang Grape dengan segala cara pandangnya.

Petang menjelang, hari sudah diujung senja. Grape berjalan lunglai menyusuri jalanan kota, seharian ia tidak mendapatkan apapun. Kepalanya seakan mau pecah, ia terus mempersiapkan diri untuk cacian di rumah indahnya.

Ninuninuninu!

Terdengar suara sirine membelah jalan, truk berwarna Oren melintas dengan cepat. Di persimpangan tidak jauh dari tempat Grape berdiri mengepul asap tebal. Mulai terdengar suara ledakan mengiringi kobaran api yang semakin besar. Grape ikut berlari seperti beberapa orang lainnya, kemungkinan ada yang bisa dibantu.

Pria mungil itu menutup mulutnya melihat si jago merah yang melahap bangunan dengan cepat. Menyaksikan aksi heroik para petugas pemadam kebakaran membuatnya gemas. Sekelebat timbul perasaan iri melihat para penakluk api yang bertubuh tinggi dan atletis, Grape kembali mengusap dada, berusaha ikhlas menerima ciptaan-Nya.

______

Bersambung.

Mr. FiremanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang