11

7 1 0
                                    

Mata itu menyorotkan tatapan tajam, rahangnya mengeras dan peluh mengucur di dahinya. Joey sudah tidak merasa heran, dalam beberapa Minggu ia dihantui mimpi yang sama setiap harinya. Ia mulai kembali tenang, mengedarkan pandangannya ke seluruh isi ruangan. Kamar sempit dan berantakan, desain yang apik dengan berbagai botol minum dan cup bekas mie instan berserakan di mana-mana. Kertas yang berhamburan dengan gambar dari pensil pun menghias ruang pribadinya itu, Joey mengambil salah satu kertas dengan gambar mawar. Lukisan yang indah dengan kelopak yang mekar di dalamnya.

Dibukanya jendela ala Cinderella, mempersilahkan hangat cahaya mentari masuk. Udara segar menyapa paru-paru, pemandangan bunga mawar warna-warni yang ditanam di balkon lantai dua apartemen mengeluarkan aroma harum yang menenangkan. Dalam bangunan apartemen yang hanya memiliki tiga lantai dengan diameter hunian yang sedang untuk masing-masing itu, hanya tempat Joey lah yang dipenuhi bunga. Tempat itu tidak terlalu ramai, dibangun dekat hutan tapi tidak jauh dari kota, tempat yang cocok untuk penikmat kedamaian yang sibuk. Untuk Joey, ia punya jalan pintas yang sangat dekat dengan tempat kerjanya.

Diangkatnya kertas yang ia pegang menutupi sinar mentari yang tertuju tepat ke wajahnya. Ditawang dan diperhatikan dengan seksama, gambar seakan berubah menjadi wajah pria yang selalu mengusik pikirannya. Joey menikmatinya, mencoba memecahkan misteri yang mengganggu selama ini dari seorang pria mungil yang senyumnya membuat Joey terpana.

Ia menyerah merasakan panas pada tubuhnya, matahari mulai meninggi melewati gunung. Balkon yang menghadap ke hutan mempersembahkan pemandangan hijau pepohonan dan gunung di seberangnya. Pria berperawakan tinggi itu masuk sebentar, membasuh wajah serta menyikat gigi, ia kembali ke balkon dengan secangkir kopi panas yang kemudian diletakkan di atas pagar balkon.

[ Pagi, Honey! ]

Pesan yang belum terbalas. Joey merasa bosan membacanya tapi ia segera menepis perasaan itu.

[ Pagi kembali, Honey! ]

Berlanjut pada chatting pagi via pesan teks yang rutin setiap harinya. Mereka bukan generasi milenial tapi ponsel tetap menyita waktunya, Joey tahu itu terlalu kekanakan tapi untuk mendapatkan wanita apa yang tidak ia lakukan? 

Pagi yang cerah di hari libur, waktu yang tepat untuk jalan-jalan santai. Ada dua pilihan, berjalan menyusuri hutan dengan keindahan alamnya atau berkeliling kota dengan berbagai tempat hiburan yang dapat dipilih serta kedai-kedai yang menyediakan berbagai olahan makanan yang menggugah selera.

[ Kita bertemu sore nanti! ]

Ah, terserah! Joey punya banyak waktu hari ini sebelum waktu kencan dengan Annete tiba. Ia akan bersepeda sebentar melewati hutan Pinus lalu setelahnya berjalan ke kota.

"Kemana sebaiknya aku pergi?"

"Oh, hai manis! Bokongmu indah!"

Aktivitas jalan-jalan orang terlalu percaya diri memang luar biasa, berbicara sendiri dengan apapun yang dilihatnya. Menggoda wanita di jalan sudah jadi rutinitas, serasa kembali ke masa remaja.

"Itu bokong kerbau lah!" Balas pejalan kaki lain.

"Hey, kenapa kerbau berjalan ke kota?"

"Mana kutahu, bukan punya nenekku!"

Orang itu berjalan terburu-buru meninggalkan Joey, jengah berjalan dengan orang aneh yang genit.

"Oh, ramah sekali ..."

"... Jadi sekarang kemana baiknya harus berjalan?" Joey kembali berbicara sendiri memandangi jalur penyeberangan yang masih dipenuhi lalu-lalang kendaraan.

Di sebrang jalan terlihat sosok yang sangat tidak asing bagi Joey yang membuatnya terperanjat dan langsung berlari saat lampu merah riba.

"Hey, tunggu!"

Ia memutuskan untuk tidak menghentikan langkah orang itu dan memilih membuntutinya diam-diam.

Sepanjang jalan pria kecil itu tersenyum dan menyapa banyak orang, senyum yang indah dan ramah. Tapi Joey masih merasa kurang, senyum yang ditebar itu tidak sama seperti sebelumnya, ia tahu betul senyum indah yang dulu membuatnya terpana. Rasanya sedikit hambar yang membuat Joey mengingat mimpi buruknya.

"Tunggu dia berhenti?" Joey bersembunyi di balik pria bertubuh gemuk yang sedang tertidur di bangku jalan alun-alun kota.

Seorang perempuan kecil berlari ke arah pria yang dibuntuti Joey. "Ayah!"

"Hah, apa katanya, ayah?" Gumam Joey. Ia hendak mendekat untuk memastikan tapi tangannya di cekal seseorang.

"Joey!"

Joey berbalik. "A-apa?"

"Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau sudah tidak sabar menemui ku? Ini bahkan belum sampai waktu janjian kita!" Katanya seraya memeluk lengan Joey.

"Ah, ya! Tentu saja, haha ...," jawabnya, tertawa hambar.

"So sweet!"

"Ibu!"

Joey dan Annete terperanjat lalu menoleh ke arah asal suara. Joey menyadarinya, ia mengingat anak tersebut, ini kali kedua anak perempuan itu memanggil kekasihnya ibu. Ia melirik Annete meminta penjelasan tapi wanita itu menggeleng kuat.

"Ayo kita pergi, Joey!"

"Ibu, Jessie ikut!" Anak itu menarik tangan Annete.

"Lepaskan!"

Jessie terkejut, Joey terkejut bahkan si pria gemuk pun terbangun. Begitupun Annete yang merasa bersalah telah menepis tangan Jessie dengan kuat hingga ia terjatuh.

"Jessie!" Grape berlari memburu putrinya, dilihatnya lengan Jessie yang berdarah karena goresan pada kerikil.

"Apa yang kau lakukan?" Grape menggendong putrinya lalu menyerahkan ia pada ibunya. "Kau melukai putrimu sendiri? Demi selingkuhanmu ini?"

"Apa selingkuhan?" Bisik Joey dalam hati. Ia sama sekali tidak mengerti alurnya, apa yang terjadi di sini? Apa hubungan pria ini dengan Annete?

"Apa yang membuatmu berpikir aku akan diam saja? Kau keterlaluan, k-kau ...." Grape tidak meneruskan ucapannya ia sibuk menekan-nekan dada yang terasa sesak.

Annete langsung menarik Joey dan pergi dengan taksi, mengabaikan teriakan Grape yang terdengar kesakitan.

_______

Bersambung.

Mr. FiremanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang