5

8 2 0
                                    


Anila menyapu bersih debu halus pada dataran selembut kulit bayi, membersihkan wajah penat Grape dengan serayu dingin. Mata sayu itu menggeledah ujung lautan, namun kosong, pemandangan indah didepannya bak fatamorgana. Senyum ramah menggemaskan hampir tak terlihat, penampakan Grape sekarang seperti orang linglung.

Semangat yang sulit menyusut, ketetapan hati yang tak mudah roboh, tapi pada akhirnya tembok tinggi memaksanya untuk kembali. Ada banyak jalan yang dihadapi, Grape hampir mencoba semuanya, tapi tetap saja gagal.

Segala cacian yang tertahan di tenggorokan membuatnya tersedak, tatkala ukuran kecil tubuhnya kerap kali diremehkan. Mungkin pekerjaan berat tak cocok untuknya, begitu saja kisarannya. Siapapun akan menafsirkan hal yang sama, melihat tubuh yang tidak sesuai tenaganya pun mungkin hanya sebatas ukurannya.

Grape menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Haaah!"

Otak sulit berpikir bila kepala masih panas. Jawaban ada pada pikiran yang jernih. Tetap positif dan semangat, batinnya. Tapi lagi-lagi ia menengadah, mencari keadilan pada sela-sela bintang.

Indra perungu menangkap sirine yang mendekat dengan cepat, terburu-buru menuju suatu tempat. Grape segera mengakhiri lamunannya, tanpa alasan, kaki melangkah mengejar truk warna oranye tersebut.

"Lagi? Kenapa selalu ada kebakaran di manapun aku berada?"

Tidak ada lagi selain menonton, menyaksikan aksi heroik pemadam kebakaran menaklukkan api. Grape menangkap sosok yang sama seperti sebelumnya, tempat yang ia pijak memang tidak jauh dari tempat kebakaran waktu itu. Seperti si pria rambut merah yang menyita setiap pasang mata, faktanya orang itu selalu jadi bintang saat menjalankan tugas.

"Joey, keren sekali!"

Bisik-bisik gadis muda yang sibuk mengarahkan kamera pada gedung yang terbakar, atau mungkin hanya mengikuti gerak si rambut merah saja.

Manik biru Grape ikut mengekori petugas pemadam tersebut. Iya, tampan dengan tubuh yang ideal, ditambah aksi heroik yang selalu dilakukan, karena seperti itulah pekerjaannya.

Joey, Joey. Sebanyak langkah kaki ia menghitung nama itu. Joey, nama yang familiar, empat huruf yang mudah diingat. Grape memilah setiap file yang tersimpan dalam memorinya, di mana kiranya dia mendengar nama Joey sebelumnya.

"Akh!"

Nasib malang, berpasang mata menatap ke arahnya, jelas pipi merona karena malu. Grape segera bangkit sebelum orang mulai tertawa, meski lutut berdarah akibat kerasnya ia terjatuh. Harap-harap langkah bisa segera menyampaikannya pada perempatan yang sepi, kakinya terasa perih.

Pria itu menyandarkan punggungnya pada benteng di perempatan yang dimaksud. Membersihkan kotoran pada lukanya, ia tidak mau Jessie atau Annete khawatir.

"Joey, ya ...."

Grape tidak terkejut kala ia mengingat nama Joey, sebuah nama yang ia pergoki memiliki percakapan intens di ponsel istrinya. Bukan sebuah kesiapan, tapi hatinya terlalu takut untuk mengetahui. Ia mencintai Annete-nya, mendirikan Amaraloka-nya dalam rumah mereka, ia tidak ingin melepas Annete, tidak akan!

Sebisa mungkin tangis tak boleh pecah, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Istrinya masih sama, keluarganya bahagia, tidak ada nama Joey atau siapapun dalam rumah tangganya. Ia hanya perlu menghapus Joey maka semuanya masihlah sama.

"Aku pulang." Senyum merekah menatap sosok yang menyambutnya sambil pura-pura tidak melihat. Grape merangkul Annete, memberikan kecupan, bermanja-manja pada bahu istrinya. Persis seekor anjing yang tidak lama lagi akan dihempas majikannya.

Wanita itu acuh, menampakkan senyum hambar serupa tombak yang merobek hati Grape. Tapi sang suami setia tersenyum lebar menunjukkan besar cintanya. Amaraloka sebatas fatamorgana, keindahan yang hanya ada pada khayalan Grape saja.

"Sayang, aku mencintaimu!"

"Aku tahu. Bersihkan tubuhmu, lalu makan!" Katanya. Perlakuan yang mungkin terlihat ramah, tapi anjing yang kotor juga diperlakukan demikian oleh majikannya. Alasannya? Karena debu dan lumpur menempel pada furnitur kesayangan yang baru dibersihkan.

Itu saja cukup bagi Grape. Hatinya bahkan tak lagi merasakan nyeri, atau mungkin hatinya telah mati, remuk sekecil debu. Tapi mungkin saja ada secercah harapan, mungkin saja Annete akan mencintainya lagi karena ketulusan hatinya, seperti dulu.

*****

"Joey!"

"Woa!" Pria itu hampir saja terjengkang mendapati wajah mengerikan temannya. "Mengapa kau di mari?"

"Aku melihat mata keranjangmu menemukan mangsa," tuturnya dengan suara yang masih dibuat seperti suara hantu dalam film.

Joey menyipitkan matanya. "Apa maksudmu."

"Oy-oy! Aku sudah sering melihat mata itu setiap kali sebelum kau mengenalkan pacar baru. Dasar Playboy, laki-laki kecil pun ingin kau embat?"

"Hah?" Fokus Joey terpecah, ia mencari sosok yang baru saja menarik perhatiannya. Orang itu sudah tidak terlihat lagi. "Aku hanya berniat membantunya berdiri, kau lihat seragamku?"

"Kau ingin membantunya? Kau baru saja mempertaruhkan nyawa dalam pekerjaanmu, malaikat belum mengumpulkan nyawamu dan kau sudah menguntit seseorang?"

"Hey, pelankan suaramu, bodoh!"

Joey menyeret temannya pada tempat yang lebih sepi.

"Apa aku terlihat sebajingan itu?"

"Kau keparat, semua orang mengetahuinya barusan. Fans-mu pasti sudah kecewa!"

"Bicara yang benar! Aku tidak berniat seperti itu."

"Hoho? Kau ingat aku tinggal di sini?"

"Aku tidak peduli!"

"Tapi tadi kau bertanya?"

"Sekarang sudah ingat!" Teriak Joey yang sudah menjauh, kembali pada pekerjaannya.

Ia jujur, bahwa kakinya bergerak tanpa sadar mengikuti pria mungil itu. Gemas saat melihatnya terjatuh, Joey tidak tahu mengapa padahal dia tahu orang itu adalah pria sama sepertinya. Mungkin ia benar-benar seorang bajingan seperti yang dituduhkan temannya barusan.

________
Bersambung
________
Sadarlah Grape, sayang! Mempertahankannya hanya membuatmu semakin terhina. Apakah pantas cinta yang tulus dibalas penghianatan?

~~~~~~

Anila : angin
Serayu : hembusan angin
Amaraloka : dunia cinta kasih

Mr. FiremanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang