4

8 2 0
                                    


"Ibu!"
Dua orang dewasa yang hendak menaiki taksi tersebut menoleh bersamaan.

"Hey, dia memanggilmu ibu?"

"Dia salah orang, ayo masuk!"

Mereka segera masuk lalu pergi meninggalkan Jessie yang berdiri mematung.

"Jessie, apa kau mendengarku? Bahaya berlarian  di tempat ramai!" Grape tergopoh-gopoh mencoba melewati pejalan kaki lainnya yang memenuhi jalanan.

Itu adalah pertama kalinya Grape memarahi Jessie, gadis kecil itu hanya bisa menunduk. "Maafkan aku. Tadi aku melihat ibu!"

"Ibu? Dia sedang bekerja, ayo lanjutkan perjalanan! Ini acara ayah dan anak!"

"Apa sungguh ada hari seperti itu?" Ujarnya sambil meraih lengan sang ayah.

"Tentu saja!"

"Kenapa tidak ada setiap tahun?"

"Maafkan ayah, tahun sebelumnya ayah sibuk."

Mudah untuk membohongi seorang anak dengan alasan sibuk, memangnya ada hari ayah dan anak? Sebaiknya orang tua menyisihkan waktu khusus untuk anak-anaknya, tidak perlu menunggu hari spesial.

Dua orang ayah-anak itu terus menyusuri jalanan, mampir ke tempat yang ingin dikunjungi Jessie. Bagi Grape itu adalah waktu yang tepat untuk memberikan waktu penuh pada putrinya sambil mencari lowongan pekerjaan, siapa tahu ada yang butuh karyawan imut, bukan?

Sepanjang jalan dirinya menjadi perhatian, diperbincangkan wanita muda yang nongkrong di cafetaria. Wajah yang bersih, tampan dan mungil, membuat mata wanita gemas ingin mencoba mendekap boneka kelinci itu. Sayangnya sedikit orang yang berpikir ingin menidurinya. Stttt! Ini rahasia!

"Ayah, apa mereka membicarakan kita?"

"Tidak, mereka hanya mengobrol."

"Tapi mereka melihat kita?"

"Semua orang akan melirik yang menarik, sayang!"

"Itu pasti karena ayah yang tampan!"

"Itu karena putri ayah yang sangat cantik!"

Manis sekali! Itulah keharmonisan dalam keluarga, selalu akur dan saling mendukung. Grape dan Jessie melanjutkan perjalanan ke taman kota.

"Ayah, apa aku sudah jadi gadis yang baik?"

Pujian sang ayah melekat di hati Jessie, membuatnya penasaran dengan berbagai hal yang akan membawa lebih banyak pujian lainnya.

"Tentu! Putriku sangat baik!"

"Apa aku boleh menikah?"

"Anak ayah akan menikah dengan pria terbaik di dunia, tapi kau harus lebih tinggi dari ayah dulu!"

"Hehe. Aku tidak mau menikah dengan paman yang bersama ibu tadi, dia menyeramkan!"

"Bersama ibu?"

"Iya!"

Grape berpikir sejenak, siapa kira-kira teman kerja Annete yang bertampang seram? Seharusnya tidak ada, karena ia sudah bertemu semua rekan kerja istrinya yang biasa. Mungkinkah orang baru? Atau ia memang melewatkan sesuatu? Grape tetap memilih berpikir positif, tidak mencurigai istrinya.

Tapi ia ingat pesan teks istrinya dengan seseorang, mungkin ini ada hubungannya? Grape segera menghubungi nomor Annete, dua panggilan ditolak, yang berikutnya nomor sedang tidak aktif. Grape kembali meng-klik nomor lain.

"Hallo?" Suara dari seberang telepon.

"Hallo, Amie? Kau sudah baikkan?"

"Ow, Grape. Kabarku baik, sudah sehat!"

"Syukurlah, aku turut senang. Maaf karena tidak menjengukmu."

"Ayolah, bukan masalah besar! Ada apa?"

"Apa kau tahu ada pria dengan wajah ‘seram' bekerja dengan Annete?"

"Pria dengan wajah seram, ya ..." Amie berpikir sejenak. "Aku tidak tahu, maafkan aku! Aku sungguh tidak tahu apapun!"

Tut! Panggilan terputus.

"Amie? Hallo?"

"Terputus? Kenapa dengannya, ia bersikap aneh?"

Grape mulai mencurigai sesuatu, mungkinkah Amie menyembunyikan sesuatu? Mungkin dia tahu sesuatu tentang Annete.

Jantungnya berdetak kencang hanya dengan memikirkannya, mencoba mengatur nafas agar kembali teratur. Peluh mulai bercucuran, entah karena sorot cahaya matahari sore yang tepat mengenai wajah atau Agni yang berkobar dalam dadanya.

"Aw!"

Grape terperanjat mendengar jeritan Jessie, ia segera memburu gadis kecilnya yang tersungkur di tanah. Melihat darah pada goresan yang memenuhi kaki serta telapak tangan Jessie, amarahnya memuncak.

"Hey, lihat yang kau lakukan! Kau anak nakal!" Hardiknya. Setelah berteriak pada seorang anak laki-laki yang diduga pelaku yang melukai Jessie, pria itu terkesiap. Iya tidak pernah berteriak seperti itu sebelumnya.

"M-maaf, kakak!" Anak itu terlihat gemetaran, air mata sudah memenuhi kelopak matanya. "Aku swungguh t-tidak senghaja," tuturnya tidak terlalu jelas, tangannya sibuk mengusap air mata dan ingus.

Melihatnya Grape merasa menyesal, ia terlalu berekspresi berlebihan pada anak kecil. Padahal ia punya prinsip untuk mendidik anak dengan baik dan mengarahkan dengan bimbingan, bukan menghardik dan memaksa anak untuk mengerti.

Grape segera merengkuh pria kecil itu. "Maafkan paman, aku sudah berlebihan."

"A-ayah, dia tidak mendorongku. Aku tidak mendengarkannya agar hati-hati jadi aku terjatuh, itu salahku, tolong jangan memarahinya!"

"Benarkah, ayah sungguh telah salah. Nak, maafkan paman, ya?"

Anak itu segera berhenti menangis. "Ayah? Jessie apa ini sungguh ayahmu?"

Jessie mengangguk berkali-kali.

"Aku berpikir dia kakakmu."

"Fffft ...." Grape dan Jessie tertawa bersamaan.

"Kau sungguh anak yang kuat. Baiklah, sebagai permintaan maaf aku akan mentraktir kalian es krim. Mau?"

"Mau!" Jessie dan pria kecil bernama Dave tersebut menjawab serentak.

*****
"Kenapa tidak menjawab teleponnya?"

"Tidak penting!"

"Tapi ponselmu berdering berkali-kali."

"Joey, ini hari kita! Satu tahun hubungan kita, aku ingin hanya kau dan aku saja." Annete mengeratkan pelukannya pada lengan Joey.

"Tentu, Honey!"

Dari kaca spion terpantul raut wajah malas supir taksi, jengah dengan kegiatan 'lovey-dovey' penumpangnya yang telah berlangsung dari dua puluh menit yang lalu.  Berharap segera sampai ke tujuan, tidak tahan dengan rasa iri dihati.

________
Bersambung.
________

Mr. FiremanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang