Sumbu Pendek

26 6 0
                                    


Jam makan siang tiba. Kak Sena mengajakku untuk makan di tempat biasa ia mengisi perutnya. Sebuah tempat makan sederhana yang berada di seberang kantor. Tempatnya cukup luas dan bersih, meskipun tidak mewah.


Ternyata Kak Sena memiliki selera yang hampir sama denganku, ia lebih menyukai tempat makan yang bergaya rumahan. Lebih nyaman, katanya. Selain itu, faktor utamanya adalah harganya yang murah. Maka dari itu aku menyetujui ajakannya untuk makan di tempat ini. Lagi pula alasan bagi seorang mahasiswa seperti aku ini, apalagi kalau bukan prinsip ekonomi?


"Diapain tadi sama Yudha?" suara Kak Sena tiba-tiba mengiterupsi aksi mengunyahku, membuatku mendongak namun melihat ke arah lain.


"Enggak diapa-apain kok, Kak," jawabku.


Kak Sena justru tersenyum ke arahku dengan menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. Dia meletakkan sendoknya dan menautkan jari-jari dari kedua tangannya untuk kemudian ia jadikan topangan dagu.


"Nggak usah takut sama Yudha. Dia baik kok aslinya. Cuma yaa..." Kak Sena menjeda ucapannya hingga membuat atensi kedua mataku beralih padanya, "nggak papa. Dia emang beneran baik kok. Percaya deh".


Padahal aku sempat berpikir dia itu kejam. Tapi, mendengar penuturan Kak Sena barusan, mungkin memang dia baik, hanya saja...


Entahlah. Aku juga tidak tahu.


Aku baru saja hendak membuang prasangka-prasangka tentang si singa ketika tiba-tiba Kak Sena melanjutkan pembicaraan yang sepertinya ia ragukan tadi.


"Aku udah kenal dia bertahun-tahun. Bareng terus ke mana-mana. Dan selama kenal dia, orangnya tuh..."


Tunggu.


Kenapa Kak Sena jadi membicarakan hal ini? Apa urusannya denganku? Lagi pula kan aku hanya akan bertemu dengannya selama satu bulan dan sepertinya tidak perlu juga jika aku harus mengetahui tentang dirinya lebih dalam.


"Berubah".


"Ha? Gimana, Kak?" tanyaku bingung ketika tiba-tiba Kak Sena melontarkan sebuah kata yang tidak aku mengerti.


Pasalnya sedari tadi dia bercerita, aku tidak mendengarkan. Justru aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Lalu tiba-tiba satu kata terakhir berhasil menarikku ke tepi kesadaran.


"Apanya yang berubah?" itu bukan suaraku jika kalian menebaknya.


Aku menoleh ke belakang dan mendapati sosok yang menjadi topik pembicaraan tengah berjalan menghampiri meja kami. Langkahnya pelan namun aku seolah mampu mendengar gemertak bunyi keramik yang dipijaknya.


"Kayaknya tadi pagi cerah banget eh tiba-tiba ini jadi agak mendung," tentu saja, Kak Sena beralibi karena sedikit pun kami tidak membahas soal cuaca hari ini.


Sosok tinggi bernama Yudha itu pun duduk di meja kami. Bersebelahan dengan Kak Sena yang ada di seberangku.

Record of LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang