A Man Never Lies

12 4 8
                                    

Aku bukan tipe orang yang suka menyalahkan orang lain atas apa yang menimpaku. Pun aku tidak menyalahkan diriku sendiri ketika sesuatu yang tidak baik datang padaku. Namun, kali ini berbeda. Aku ingin menyalahkan kedua adikku atas apa yang mereka lakukan semalam hingga membuatku sulit, ah mungkin tepatnya, aku tidak bisa tidur sama sekali. Apa yang mereka katakan semalam benar-benar mengganggu akal sehat, pikiran, serta alam bawah sadarku.

"Kamu baik-baik aja, Ay?" tanya Kak Sena seraya menyodorkan sebuah map kepadaku.

Aku mengangguk sebagai jawaban, kutambah dengan senyum untuk meyakinkannya bahwa aku benar-benar dalam keadaan baik.

"Ya udah kalo gitu aku nitip ini ya. Kamu bisa handle kan?" sambung Kak Sena.

"Siap, Komandan!" sahutku dengan ujung telapak tangan menempel ke pelipis mata, sebagai isyarat bahwa aku menerima tugas yang diberikannya.

Setelah menepuk pelan bahuku, Kak Sena pun berlalu dengan senyuman penuh arti. Aku masih memperhatikan langkahnya menjauh hingga bayangannya menghilang dari balik pintu. Bertepatan dengan suara pintu yang tertutup kembali, sebuah suara dari sosok yang berada di seberang mejaku berhasil membuat ruangan ini membeku.

"Gimana kabar ayah lo?" tanyanya.

"Kenapa Kak Yudha tiba-tiba nanya kayak gini?"

Isi kepalaku yang bersuara. Namun, tentu saja lisanku menolak untuk mengeluarkannya.

"Em... baik kok, Kak," sahutku.

Kak Yudha hanya mengangguk pelan. Ia lantas kembali dengan aktivitasnya di depan computer. Sedangkan aku masih menatap lurus ke arah punggungnya. Kalau boleh jujur, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan pada sosok dingin itu. Sejak insiden kecelakaan kecil yang menimpaku tempo hari, berakhir dengan sosoknya yang mengantarku pulang, bahkan menginap semalam di tempatku, banyak sekali tanda tanya bermunculan di kepalaku.

"...katanya rumah Kak Yudha deket-deket sini kok,"

Suara Chandra kembali terngiang di pikiranku. Baik, Ayla, mari kita coba.

"Kak Yudha," panggilku lirih.

Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Hanya ada kami berdua di ruangan ini. Jadi, aku yakin cukup aman untuk berterus terang. Sementara aku mengatur napas setelah memanggilnya, Kak Yudha menoleh sekilas.

"Aku mau minta maaf," lanjutku.

Atensinya teralihkan. Kak Yudha kini memutar kursinya hingga berhadapan denganku. Alis sebelah kanannya sedikit terangkat. Lisannya mengatup, namun seolah dapat kutangkap maksud dari ekspresi wajahnya yang mengatakan, "untuk apa?"

"Soal ayah." Aku kembali melanjutkan dan sepertinya ia mulai paham ke mana arah pembicaraanku kali ini. Terbukti dari anggukan kecilnya.

Sebelum membuka suara, Kak Yudha lebih dulu mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. Ia meletakkan kedua telapak tangan di atas pahanya. Tampaknya ia tengah berpikir. Mungkin ia akan menebak sesuatu. Namun, sebelum ia berbicara, aku kembali melanjutkan kalimatku.

"Pasti posisi Kak Yudha kemarin nggak nyaman banget ya? Apalagi sama sikap ayah yang tiba-tiba kayak gitu," tuturku lirih, "sekali lagi maaf ya, Kak."

Kak Yudha kembali memberi anggukan kecil. Ia sempat mengulum bibirnya sebelum akhirnya benar-benar membuka suara.

"Nggak apa-apa."

Record of LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang