Kesempatan Kedua

13 4 0
                                    

Jika kalian diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki apa pun, apa yang kalian lakukan? Kembali ke masa lalu untuk mengubah takdir yang terjadi di masa depan? Bertemu dengan seseorang yang pernah kalian kecewakan untuk meminta maaf? Atau menolak dengan tetap menerima takdir dan memaafkan diri sendiri?

Kalau aku tahu semua ini akan terjadi, mungkin dulu aku tidak akan menyia-nyiakan waktu yang kumiliki bersamanya. Sebelum semua ini terjadi, aku akan memberikan kenangan yang indah padanya. Aku akan berusaha menciptakan ingatan-ingatan yang indah untuknya. Tapi, sayangnya kesempatan itu tidak pernah ada. Sekali pun dunia ini berakhir, keadaan ini tidak akan berubah.

Lantas, apakah kalian percaya bahwa setiap kisah memiliki akhir yang bahagia? Jika iya, itu artinya kita berbeda. Karena aku bukanlah orang yang percaya dengan kisah yang diakhiri dengan kalimat "and they lived happily ever after". Bukannya pesimis dan putus asa, aku hanya mencoba menerima semuanya dengan menjadi realistis. Itu saja.

"Kalo masih sakit izin aja, Ay. Nggak apa-apa kok," Kak Sena menghampiriku dengan secangkir kopi yang ia letakkan di atas meja.

"Kok bisa jatoh gimana ceritanya?" Adoy menimpali sembari berusaha meraih cangkir kopi yang tadi dibawa Kak Sena. Sontak tangannya langsung dipukul pelan oleh wanita cantik nan garang itu.

"Enak aja. Itu buat Ayla. Bikin sendiri sana," titah Kak Sena yang berhasil membuat Adoy mengerucutkan bibirnya.

"Ini udah nggak apa-apa kok, Kak. Kemarin pas sampe rumah langsung diurut jadi sekarang udah mendingan. Luka lecetnya juga udah agak kering," ucapku menjawab pertanyaan Kak Sena lebih dulu.

"Kering gimana? Orang masih merah gitu," bantahnya yang kusambut dengan cengiran tipis.

"Pasti lo ngebut kan bawa motornya?" tuduh Adoy padaku.

"Enggak kok. Aku mah nggak pernah bawa motor ngebut. Jalannya aja yang salah. Kenapa coba harus ada lobang di tengahnya gitu?" candaku berkilah.

"Bisa aja kamu, Ay," Kak Sena sedikit tertawa.

Aku ikut tertawa menimpalinya, begitu juga dengan Adoy. Berlanjut dengan obrolan-obrolan santai untuk mengawali hari, sembari sesekali Adoy membuat lelucon yang sebenarnya tidak lucu, serta Kak Sena yang berkali-kali menepuk jidat karena tingkah rekan timnya yang agak aneh ini.

Terhanyut dengan suasana, aku sekilas melirik ke arah meja dari orang yang kemarin sempat membantuku. Dia tidak ada di sana. Mejanya bersih dari kertas yang biasanya berserakan. Tas dan jaketnya pun tidak ada. Padahal ini sudah jam 9 lebih. Terakhir bertemu kemarin, dia tampak sehat-sehat saja. Mungkinkah dia sedang sakit?

Tunggu, kenapa aku jadi mengkhawatirkannya seperti ini?

"Kak Yudha nggak masuk ya, Kak?" tanyaku pada Kak Sena untuk menjawab rasa penasaranku.

Raut wajah Kak Sena yang semula cerah karena tertawa bersama Adoy tiba-tiba berubah suram. Ia mengecek ponselnya. Entah apa yang ia periksa. Kemudian kulihat Adoy melakukan hal yang sama. Ekspresi wajah yang mereka tampilkan terlihat sama.

Sepertinya aku bertanya di waktu yang tidak tepat.

"Tanggal 31," Kak Sena bergumam lirih yang membuat atensiku beralih padanya.

Adoy tampak menghela napas jengah. Aku semakin bingung dengan situasi ini. Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? Bukankah wajar jika menanyakan rekan kerja yang tidak masuk? Ataukah ada yang tidak beres dengan alasan Kak Yudha tidak masuk hari ini?

Record of LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang