Walk You Home

19 3 2
                                    

"La?"

Suara itu menguncang kesadaranku. Aku menoleh ke belakang.

Nihil, tidak ada siapa-siapa.

"La." Lagi.

Aku melihat ke samping, kuedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri.

Tidak ada siapa pun di sana.

"Ila." Aku mulai kesal.

Namun aku tidak bisa marah. Aku hanya diam, mencoba menunggu. Mana tau suara itu muncul lagi.

"Ila, ini ayah."

Aku mematung. Mencoba untuk mengabaikan tipuan itu lagi.

"Ila nggak mau lihat ayah, Nak?" Kali ini kalimatnya lebih panjang. Hati kecilku bergetar. Aku tentu ingin melihat sosoknya. Sosok yang sangat kurindukan, namun hampir saja melupakanku.

"Ayah rindu sama Ila," lirihnya.

Aku memberanikan diri menoleh. Tak sanggup rasanya jika harus menatap sosok yang paling kurindukan. Sampai akhirnya tubuhku benar-benar menghadap ke arahnya. Itu benar ayahku.

"Sini," ucapnya sembari tersenyum kepadaku. Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Aku pun sama. Bahkan kini tangan dan kakiku gemetar bukan main. Seolah mimpi ketika ia membentangkan kedua tangannya.

"Ila kangen dipeluk sama ayah," lirihku. Lidah ini bahkan terasa begitu kelu. Entah ayah dapat mendengarku dengan jelas atau tidak. Namun yang jelas, sedetik setelah sebuah cairan bening lolos ke pipi tirusnya, aku segera berlari. Berusaha meraih tangan yang terbuka lebar itu. Aku ingin menghambur di pelukannya. Pelukan paling hangat yang pernah kurasakan di dunia.

Aku berlari dengan sekuat tenaga. Mencoba mengerahkan seluruh energi yang kupunya. Namun entah mengapa, langkahku tak kunjung sampai padanya. Entah mengapa jarak di antara kami terasa begitu jauh. Semakin kukerahkan tenagaku, semakin jauh jarak pandangku padanya. Bayangnya semakin samar. Namun masih dapat kulihat rentangan tangannya yang terbuka. Ayah masih di sana, menungguku. Aku tidak boleh menyerah!

"Ayah di sini, Nak."

Suaranya samar-samar masih dapat kudengar, membuatku semakin mempercepat laju lariku. Namun sama seperti sebelumnya, jarak kami tak juga terkikis. Dari sinilah aku mulai menyadari sesuatu. Aku tidak bisa menggapainya.

Perlahan aku pun berhenti. Aku tidak lagi berlari atau pun berjalan. Benar-benar diam di tempat sembari memandangi sosok ayahku dengan senyum yang tak pernah berubah. Memandangi sosoknya yang perlahan memudar, hilang ditepis jarak. Sebuah jarak yang semakin lama semakin jauh, terbentang di antara tempat kami berdiri. Tanpa kutahu bagaimana cara mengikisnya.

"Ila?"

Ada suara lagi. Namun kali ini terdengar berbeda. Tanpa berpikir panjang, aku pun menoleh hingga kudapati sosok yang tengah berdiri tegap menghadapku.

"Kak..." lirihku parau.

Dia tersenyum. Membuatku lupa dengan rasa letihku. Membuatku lupa dengan rasa sedihku, kecewaku. Senyum itu mampu meredam segala emosi yang tengah berkecamuk dalam benakku. Aku... menyukai senyum itu.

Aku tidak tahu sejak kapan ia berdiri di sana. Ia menatapku dengan cara yang berbeda. Lalu entah nyali dari mana, aku berani menatapnya kali ini. Ia diam saja, seolah kedua netra itu yang tengah berbicara. Aku pun bergeming hingga ia membuka tangannya, lalu direntangkan kedua lengannya ke samping.

Tanpa banyak berpikir, aku segera berlari padanya, menerima tangan yang tengah terbuka itu. Seolah mengerti apa yang tengah kurasakan, ia membalas pelukanku. Dari sini aku akhirnya mengetahui satu hal. Bahwa rengkuhannya begitu hangat, membuatku semakin lama semakin hanyut. Aku tenggelam dalam rasa nyaman yang sudah lama tak kurasakan.

Record of LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang