Pulang

13 5 0
                                    


Malam ini juga, seperti yang Kak Sena ucapkan sebelum jam pulang kantor tadi sore, kami sepakat untuk merayakan keselamatan tim kami. Bukan sebuah pesta pora, hanya acara makan malam bersama di sebuah café yang menjadi langganan mereka. Letaknya tidak begitu jauh dari kantor sehingga kami bisa menghemat waktu perjalanannya.

"Pesen apa aja bebas. Bos kita yang traktir," ujar Adoy yang kemudian dihadiahi sebuah jitakan di kepalanya oleh Kak Sena.

Hanya kami bertiga di sini. Siapa yang absen? Tentu sudah jelas.

"Sakit, Tehh," rengek Adoy.

"Ya elo bayar sendiri. Gue mah kesini mau nraktir Ayla. Lagian katanya lo mau ngasih imbalan sebagai rasa terima kasih juga kan?" tagih Kak Sena.

"Ya iya. Tapi nggak sekarang. Adoy kan belum gajian, hhehe," ujarnya membela diri.

"Yeuu dasar," ucap Kak Sena hendak meninju Adoy, namun laki-laki itu berhasil menghindar.

"Teh Sena galak! Adoy mau pindah di sebelah Ayla aja," Adoy berujar lantas bangkit untuk duduk di sebelahku.

"Petroooosssss!" Kak Sena sedikit berteriak bersamaan dengan Adoy yang tengah menarik kursi untuk didekatkan dengan tempat dudukku.

Lucu sekali mereka ini. Persis seperti pasangan kakak beradik yang sering berkelahi. Kakaknya yang usil dan galak, sedangkan adiknya yang manja dan suka ngambek. Aku jadi teringat dengan kedua adikku di rumah. Kira-kira sedang apa ya mereka. Biasanya setiba di kosan, aku langsung menghubungi mereka.

"Mikirin apa sih, Ay? Kok diem aja dari tadi," tanya Kak Sena.

Aku hendak menjawab, tapi saat itu juga pesanan kami tiba. Membuatku harus sedikit mengulur waktu menanggapinya. Baru hendak membuka suara, ponselku tiba-tiba berdering. Ternyata dari si bungsu. Aku pun meminta izin kepada Kak Sena dan Adoy untuk menerima telepon dari salah satu orang yang kupikirkan sedari tadi.

"Halo, Dek," sapaku setelah berdiri agak menjauh dari dua orang yang tengah lahap dengan makanan masing-masing.

"Ila..." seketika napasku tercekat.

"A...yah?" mendengarnya membuat air mata mulai terbendung di pelupuk mataku.

"Kok jam segini belum pulang? Ke mana?" suara beratnya membuat tanganku bergetar.

"Ila pulang sekarang. Ayah tunggu Ila, ya?" lirihku dengan bibir yang susah payah menahan isakan.

"Ayah jemput ya? Ila di mana?" pertanyaan yang ia lontarkan membuat tubuhku ikut bergetar.

Ayla, tenanglah. Jangan menangis di sini.

"Enggak usah, Yah. Ila pulang sendiri aja. Ayah tunggu di rumah aja. Jangan ke mana-mana ya?" pintaku lirih, berharap ia menurutinya.

Entah bagaimana keadaan wajahku saat ini. Seluruh tubuhku rasanya panas dan dingin menjadi satu. Bahkan kedua mataku terasa begitu buram. Air mata yang tertahan di sana buru-buru kutepis sebelum berhasil luruh. Berganti dengan rasa pedih yang tertinggal. Di dalam hati, di dalam tubuh, bahkan saat mengambil napas pun terasa begitu menyakitkan.

"Iya, Yah. Kita tunggu di rumah aja. Kak Ay bisa pulang sendiri kok," suara lembut Nanaz terdengar dari seberang turut membujuk ayah untuk tetap di rumah.

"Ya udah kalau gitu. Ayla hati-hati ya pulangnya. Ayah tunggu di rumah," ucap ayahku setelah sebelumnya terdengar helaan napasnya, menyerah dengan bujukan anak-anaknya untuk tetap tinggal.

Record of LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang