Kutub Utara

8 4 0
                                    


Di masa lalu, ayahku pernah berpesan, sekali waktu ketika kami tengah menikmati Minggu sore di halaman belakang rumah, "Kita hidup di dunia. Pasti akan bertemu dengan banyak hal yang nggak pernah kita duga. Entah itu menyenangkan atau tidak, semua pasti ada maknanya."

Aku masih kelas 8 kala itu, sedangkan Nanaz dan Chandra masih duduk di sekolah dasar. Sebagai anak pertama perempuan, akulah yang paling dekat dengan sosok ayah. Bahkan sifat dan karakterku hampir semuanya sama dengannya.

Aku yang kala itu tidak terlalu paham maksudnya pun hanya mendengarkan. Beliau memang sangat sering berada di luar kota, maka sekalinya ada di rumah, aku akan selalu berusaha untuk berada di dekatnya. Duduk manis mendengarkan cerita-ceritanya yang selalu baru.

"Ayah ini udah bepergian kemana-mana, ketemu berbagai macam karakter orang, dari yang perannya sebagai korban sampai terdakwa, semuanya membawa pelajarannya masing-masing. Selalu ada cerita yang menarik dari mereka," ayah berhenti sejenak untuk menyeruput kopi hitam seduhan ibu, "dari mereka semua, ayah belajar tentang sudut pandang. Tentang alasan-alasan manusia melangkah dan bertindak. Ayah mulai paham bahwa ternyata semua manusia pada dasarnya adalah orang baik, hanya sudut pandangnya saja yang berbeda."

Aku tidak pernah benar-benar paham dengan apa yang ayah bicarakan hingga aku mengalami semuanya sendiri. Ketika waktu yang mengajarkanku untuk menjadi dewasa. Ketika pada akhirnya, waktulah yang membuktikan bahwa pesan dari cerita yang ia tuturkan benar adanya.

"Apa yang mendasari seseorang untuk melakukan suatu hal, yang terkadang nampak buruk di mata kita, padahal kita nggak tahu kan? Selama ini mereka ngapain? Apa yang udah mereka hadapin sampai bisa jadi orang yang seperti itu? Di sinilah pentingnya untuk saling memahami dan memberi kesempatan kedua," beliau tampak menerawang langit yang perlahan memerah, "karena setiap orang berhak untuk dimaafkan."

Sudah 3 tahun aku tidak pernah mendengar lisan bijak itu bercerita dengan secangkir kopi hitam di sampingnya. Tepatnya sejak beliau memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Bukan sebab ayahku kehabisan bahan cerita, tapi, entahlah.

Kejadian beberapa hari yang lalu bahkan membuat harapanku semakin pupus. Meskipun ada setitik kebahagiaan ketika sosok pria yang paling kusayangi itu akhirnya memanggilku lagi. Namun dari sini pun aku belajar, bahwa ada hal yang tak kalah menyakitkan dari ditinggalkan orang yang kita sayangi. Yaitu ketika kita dilupakan.

"A Doy," panggilku lirih kepada lelaki yang tengah duduk di seberang mejaku.

"Hmm?" ia berdeham tanpa membalikkan badan.

"A Doy udah lama kerja di sini?" tanyaku padanya yang masih tampak sibuk mengetik.

"Emm...," ia nampak berpikir sejenak, "belum lama-lama banget, baru 3 tahun sih. Kenapa, Ay?" tanyanya dengan posisi yang sama.

"Enggak apa-apa sih. Cuma penasaran aja, A Doy udah 3 tahun kenal Kak Yudha sama Kak Sena dong berarti?" aku bertanya kembali pada sosok lelaki yang duduk membelakangiku itu.

"Enggak juga, Ay. Kalo sama mereka malah udah lama. Kita udah saling kenal sejak masih kuliah dulu," jawabnya santai tanpa beralih dari layar monitor yang ia tatap.

"Loh? Jadi tim ini ternyata udah saling kenal dari sebelum kerja di sini?" tanyaku memastikan.

"Yup! Betul banget," serunya, "jadi dulu itu kita satu UKM, Ay."

"UKM Jurnalistik pasti ya?" tebakku.

"Bukan," sahutnya.

"Terus?" tanyaku heran sekaligus penasaran.

"UKM Seni Musik," ujarnya.

"Hah?" heranku.

"Kita dulu punya band, Ay," imbuhnya.

Record of LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang