Yang Terlewatkan

16 2 3
                                    

"Untung kamu pro ya, Ay." Kak Sena berucap saat kami berada di ruangannya.

Ah iya, aku melupakan satu hal. Kak Sena sudah naik jabatan, jadi sekarang dia memiliki ruangan sendiri. Untung saja aku masih berada di kantor yang sama dengannya. Kalau tidak, mungkin aku akan sangat kesepian. Sebab, satu anggota timku yang dulu sudah dipindahtugaskan ke Manado. Jauh sekali sampai-sampai aku menangis sembari memeluk kakinya saat perpisahan kami di bandara dulu.

Memalukan jika diingat, memilukan jika dirasakan. Tapi, aku memang melakukannya dengan tulus. Bayangkan saja, aku ini anak sulung perempuan di keluargaku yang sangat mendambakan kehadiran sosok kakak. Lalu ketika dipertemukan dengan A Doy, aku merasa mimpiku itu terwujud. Namun takdir berkata lain, aku harus jauh darinya lagi. Tapi setidaknya aku masih punya Kak Sena yang menjadi pegawai tetap di sini.

Untuk sisanya, tak perlu ditanyakan. Aku belum ingin membahasnya sekarang. Dan kejadian malam kemarin harusnya sudah bisa menjelaskan kenapa aku tidak ingin menceritakan lebih lanjut tentangnya.

"Aku ketemu dia lagi, Kak," ucapku yang membuatnya berhenti mengunyah. Kami sedang makan siang berdua di ruangannya. Terlalu malas untuk pergi ke luar. Matahari sedang terik-teriknya.

Kak Sena sedikit memajukan tubuhnya ke arahku. Sontak aku mengangguk sembari menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulut.

"Di mana?" tanyanya setelah kembali pada posisi duduk semula.

"Di kafe yang waktu itu aku certain ke kakak," jawabku ringan.

Ia tampak berpikir sejenak, mungkin sedang mengingat.

"Ooh yang ada reading space-nya itu?" tebaknya. Aku mengangguk sembari mengunyah.

"Aku ke sana pas malam Minggu. Niatnya sih mau quality time sama mas pacar," desisku lirih. Mungkin lebih terdengar seperti menggerutu.

Kak Sena menaikkan sudut bibirnya. Melempar senyum kecil kepadaku. Kemudian ia kembali fokus pada makanannya.

"Terus pacar kamu tahu soal ini?" tanyanya lagi. Aku menggeleng kali ini. Dibalas Kak Sena dengan anggukan. Mungkin ia paham dengan pemikiranku.

Lalu kami kembali fokus pada kegiatan semula, makan siang. Jika tidak segera dituntaskan, bisa-bisa kami kelaparan saat tengah bekerja. Sebab waktu istirahat makan siang sebentar lagi akan habis.

Namun, entah mengapa keheningan ini justru memecah belah kesadaranku. Ingatanku kembali berlayar pada kejadian di malam itu. Tepat saat ia bernyanyi dengan begitu merdu. Tapi, justru suara merdunya itulah yang membuat hatiku sakit.

Ingatanku kembali berputar, menampilkan kejadian lain di waktu yang jauh berbeda. Sebuah momen yang membuat hatiku merasa tak kalah sakitnya. Tepat saat aku tak sengaja memergokinya tengah bernyanyi dengan nada yang sarat akan kepiluan. Di malam yang sepi, ia bersenandung pilu sendirian di kursi kerjanya. Satu hal yang membuat air mataku mengalir dengan mudahnya.

"Ay?"

Bahkan hingga saat ini, nada pilu itu masih mampu kudengar jelas di telinga. Seperti kaset lama yang diputar secara otomatis. Lagunya terus-menerus berputar tanpa bisa dihentikan oleh siapa pun.

"Ayla, kamu nggak apa-apa?"

Sebuah memori lama berhasil menyayat luka yang kupikir sudah kering dan menghilang. Rentetan adegan memilukan itu kembali terngiang, terus-menerus terputar seperti dalam film dokumenter. Alur yang tak tuntas dan hanya menampilkan bagian-bagian paling mengerikannya saja.

"Ayla, kamu kenapa?"

Hidup ini memang lucu. Saat kita merindukan seseorang dengan begitu dalam, ketika pertemuan sangat kita harapkan, justru yang datang hanyalah perpisahan. Harapan itu hanya menyisakan kekosongan berkepanjangan.

Sampai tiba masanya ketika kita perlahan mampu berdamai dengan kenyataan, saat kita sudah berjuang keras untuk merelakan, takdir yang lucu itu justru mengabulkan permintaan yang sudah kita kubur dalam-dalam. Memaksa masuk menembus benteng pertahanan yang susah payah kita bangun dengan begitu tinggi. Hanya untuk menghancurkan semuanya, sekali lagi.

"Ayla..."

Untuk ke sekian kalinya Kak Sena memanggilku. Ia tak banyak bicara dan hanya menggenggam erat tanganku yang masih berada di atas mejanya. Saat aku sudah berani mengangkat wajah, ia berjalan mengitari meja untuk menghampiriku.

Seperti biasa, tanpa perlu diminta, Kak Sena memberikan pelukannya untuknya. Hangat, namun masih belum bisa menggapai sudut dalam diriku yang masih menggigil.

"It's been so hard, I knew," lirihnya. Kurasakan dagunya berada tepat di atas kepalaku. Ia mengusap punggungku dengan sangat lembut. Satu hal yang justru membuat benteng pertahananku yang telah runtuh, menjadi remuk tak berbentuk.

"Kenapa dia baru datang sekarang, Kak? Kenapa?" Aku meracau, membuat Kak Sena semakin merekatkan rengkuhannya.

"Untuk apa dia datang lagi dengan cara seperti itu?" Suaraku beradu dengan air mata yang terus mengalir.

Kak Sena hanya diam, hanya usapan tangannya yang terus ia berikan padaku. Aku juga tahu kalau dia pun tak memiliki jawaban untuk pertanyaanku.

"Kenapa dia harus datang lagi disaat aku udah mau menikah..." Persendianku terasa begitu lemas.

Sejak malam itu, aku berjuang keras untuk terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Tak kusangka hal itu akan membuat energiku terkuras begitu banyak. Bahkan saat ini, aku sudah kehabisan tenaga sekadar untuk menjaga tubuhku tetap tegap. Jika saja Kak Sena tidak membantuku menopangnya. Mungkin aku akan jatuh ke lantai yang dingin.

Kak Sena melepaskan pelukannya perlahan. Ia beralih menangkup wajahku yang kuyakin sudah berubah sembab. Bahkan pandanganku kini menjadi buram sekadar untuk menatapnya. Wajah Kak Sena tak mampu kulihat dengan jelas.

"Apa pun yang akan dia lakukan, apa pun yang akan terjadi nanti, Kakak akan selalu ada di pihak kamu," ucapnya lirih. Setelah air mataku turun kembali, pandanganku mulai membaik. Dari sini pula baru kuketahui bahwa perempuan yang selama ini menemani masa-masa kelamku hingga membantuku bangkit juga ikut menangis.

Kak Sena, maaf. Maafkan aku karena membuat semua ini menjadi sia-sia kembali. Maaf karena aku kembali jatuh dalam jurang tak berdasar itu lagi. Maaf karena selama ini aku selalu membohongi perasaanku. Maaf karena ternyata, aku tidak pernah mampu untuk melepaskannya.

***



















"It's been so hard, I knew."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Record of LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang