Lavender Blush
Senin
Sepanjang perjalanan aku berusaha tidak peduli. Aku mengabaikan semua hal tidak biasa yang terjadi hari ini. Tapi apa ini, ternyata di sekolahku pun penuh sampah. Aku bukannya gadis yang terlalu higienis atau apa, tapi sampah kertas ini sepertinya sudah keterlaluan. Keterlauan banyaknya. Aku berjalan memasuki sekolah dan menginjak semua kertas putih yang berserakan. Di perjalanan ke sekolah tadi hampir semua orang yang bersisian denganku memegang benda tersebut. Sibuk membaca seorang diri, atau sambil berkomentar dengan orang lain. Lalu setelah bosan mereka membuangnya begitu saja setelah diremas-remas menjadi bola. Hanya saja mereka tak membuang bola kertas itu ke tempat sampah yang seharusnya. Mereka membuangnya begitu saja ke jalanan, trotoar, lantai bis, halte, dan sekarang halaman sekolah. Lalu di ujung sana kulihat Pak Mardi, penjaga sekolah kami yang sudah tua dan penuh uban, menyapu semua sampah itu dengan gerakan lambat.
Aku bukannya gadis yang terlalu baik hati atau bagaimana, tapi melihat tubuh renta itu harus membersihkan ketidakpedulian orang-orang di sekolah ini dari sampah membuatku cukup kesal. Tapi aku cukup dengan perasaan kesal saja, aku tak ada niatan untuk mencari sapu dan pengki lalu membantunya. Sudah kubilang, aku bukan gadis baik hati."Lav!" Dari kejauhan aku melihat seorang gadis melambaikan tangan padaku. "Sini, ada kehebohan nih."
Jelas gadis itu bukan teman baikku. Orang yang berteman baik denganku pasti tahu aku tak suka kehebohan. Dan memang benar kalau aku baru dekat dengan Marigold baru-baru ini. Sebab tanpa punya pilihan aku berbagi meja yang sama dengannya di semester baru.
Saat hampir mendekati Marigold dan kerumunan yang ada di belakangnya aku berkata, "Gue gak tertarik, gue mau ke kelas aja." Namun harus kuingat bahwa gadis itu tak menerima kata "gak tertarik". Bagi Marigold semua hal yang dia rasa menarik harus dibagi ke semua orang. Mau orang itu suka atau tidak. Jadi sekarang aku sudah ditarik paksa olehnya, dan dengan menyedihkan diseret-seret melewati sekerumunan orang yang berkumpul di depan mading.
"Liat! Liat nih!" Marigold menunjuk mading dengan bersemangat. Aku melirik sekilas lalu mengangguk. "Iya, udah gue liat. Ternyata mading kita dicat warna biru ya."
"Bukan itu Markonah," kesal Marigold. "Dari dulu mading kita udah warna biru. Bukan cat kayunya, tapi pengumuman segede gaban ini." Sekali lagi dia menunjuk mading.
Dengan malas aku melirik kertas pengumuman yang memang besar banget itu. Hampir separuh mading diinvasi oleh kertas itu.
Di sana tertulis:
**GRIMM REAPER YANG MENYELAMATKAN HIDUPMUSANGAT MENDERITA DENGAN HIDUP DAN INGIN MENGAKHIRI SEMUA INI DENGAN MUDAH? KALAU BEGITU KAU MUNGKIN MEMERLUKANKU, DOCTOR DEATH, YANG AKAN MEMBUNUHMU TANPA RASA SAKIT. AMBIL TIKET DI BAWAH INI DAN UNDANGAN AKAN SEGERA DIKIRIM.
UNTUKMU, YANG TERLALU BERHARGA UNTUK TERUS ADA DI DUNIA INI**.
Lalu di bawah pengumuman tersebut tertempel tiga buah tiket yang dapat ditarik bagi siapa saja yang berminat. Namun berada di luar kaca mading. Mungkin agar siapa saja bisa mengambilnya.
"Gila kan? Berani banget nih orang buat nulis pengumuman kayak gini dan dipasang di mading. Menurut lo kira-kira siapa orangnya?"
Aku menjawab dengan mengedikkan bahu. "Mungkin salah satu anak mading yang lagi bosan."
"Ya," sahut Marigold. "Aku juga berpikir ini ulah anak mading. Soalnya lo liat aja sendiri. Ini mading yang dikunci. Gak sembarangan orang bisa nempel pengumuman di sini. Cuma anak mading yang punya kuncinya."
"Lebih tepatnya cuma ketua mading yang punya kuncinya."
Marigold menatapku dalam. Setelah aku sadar, ternyata bukan cuma Marigold yang sedang menatapku. Orang-orang yang berkerumun di sini mendadak sepi dan tengah memperhatikanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBARAN KEMATIAN
Mystery / ThrillerLingkungan tempat tinggalku penuh dengan kertas-kertas fotokopi berisi kisah pembunuhan. Di minggu pertama tak satu pun orang yang peduli. Ketika minggu kedua tiba, semua orang mulai khawatir. Kertas-kertas itu memenuhi setiap sudut kembali. A dikhi...