Magenta
Kuusap-usap kupingku yang panas mendengar orang-orang di sini. Bising sekali mereka. Padahal aku sengaja datang sangat pagi hari ini untuk tidur di kelas. Biasanya aku memang sering begadang dan telat bangun. Namun selalunya penyebab hal itu adalah game online, tapi sekarang lain lagi. Tak kusebut pun kalian pasti tahu.
Aku meninggalkan kursi. Ketika melewati kerumuman anak-anak di kelas, mataku membeliak.
“Ih, jijik banget.” Seorang gadis menutup matanya melihat tayangan sebuah video.
“Gila. Itu benaran Sienna.” Seorang gadis lain menggeleng tak percaya.
“Apa itu kepalanya. Berdarah-darah semua.”
“Aku mau muntah.”
“Gue juga.”
Percakapan mereka mulai bertumpang tindih.
“Apa yang kalian lihat itu?” tanyaku pada orang-orang itu. Jika kerumunan tersebut berisi cewek-cewek yang menjerit saat melihat kumpulan laki-laki ber-make-up tebal sedang menari dan bernyanyi, itu sudah biasa. Yang mereka lihat sekarang ini seperti potongan dari film thriller.
Beberapa pasang mata melihat padaku. Orang-orang yang mengerumun di meja depan dan menonton sesuatu dari sebuah smartphone tersebut tampak saling berpandangan sejenak. Mereka masih terlihat mual dan jijik. Menutup mulut dan sesekali melengos tak mau melihat video.
Salah seorang pemuda pendek menjawabku, “Kayaknya itu Sienna. Cewek yang hilang itu.”
Aku mengernyit meminta penjelasan. Sejak kapan ada anak hilang.
“Coba cari tahu di grup chat deh siapa Sienna. Sejak semalam dia heboh dibicarakan di mana-mana,” jawab seorang gadis yang kutahu sebagai tukang gosip. “Katanya dia hilang. Dan pagi ini kertas-kertas itu muncul lagi. Ceritanya kayak mendeskripsikan Sienna. Dan ini video dari tempat sampah dekat rumah dia.”
“Memangnya kenapa tempat sampahnya?”
Aku tahu suasana saat ini sedang mencekam. Namun pertanyaanku mengundang gelak tawa dari mereka. Memang aneh sih aku bertanya tentang tempat sampahnya, alih-alih ada apa di tempat sampah tersebut.
“Lo harus baca cerita itu,” jelas ketua kelas kami yang melihatku frutrasi. “Di sana ditulis Sienna dimasukkan ke dalam kantong plastik setelah dibunuh.”
Terus mereka percaya begitu?
“Heh, itu kan belum tentu Sienna,” bantah seorang gadis lagi yang entah siapa. “Jangan asal ngomong kalo itu Sienna walau kayaknya memang dia.”
“Udah jelas itu dia kan?”
“Benar. Kalo enggak siapa lagi.”
“Kalian lihat kan tadi mukanya.”
Aku mendesah sebab mereka malah berdebat sendiri. Sampai salah seorang pemuda menjawab pertanyaanku. “Mereka beranggapan orang yang di dalam video itu Sienna. Cewek hilang yang diduga dibunuh secara sadis kayak yang diceritakan di lembaran kertas-kertas itu. Videonya baru aja beredar beberapa saat lalu. Katanya yang merekam salah satu anak kelas dua belas yang penasaran sama cerita itu. Jadi mereka datang ke sekitar rumah Sienna dan meriksa tong-tong sampah. Dan yah, gitulah, bukannya lapor polisi dulu malah bikin konten.” Orang itu tersenyum sinis.
Entah apa yang terjadi padaku saat pulang sekolah. Tanpa disadari aku jadi mendatangi lokasi tempat penemuan mayat dari video yang beredar pagi tadi. Aku pun sudah memeriksa grup chat dan membaca lembaran yang beredar. Semuanya terkesan dibuat-buat. Sebuah kertas berisi kisah pembunuhan yang menjelaskan detail dan tempat mayat, lalu benar-benar ditemukan mayat di lokasi itu.
Apa maksudnya coba?
Si penulis dari cerita itu berkisah seolah bukan dia yang membunuh. Dia hanya seorang pencerita. Namun apa benar begitu? Namun kalau si Penulis yang membunuh kenapa harus memublikasikan kejahatannya? Pamer? Dasar bodoh. Di saat orang berusaha sekuat tenaga menutupi kejahatannya dia malah terang-terangan memberi petunjuk.
Lalu kalau bukan penulis yang membunuh, lantas apa motivasinya menulis hal begitu? Ya, entahlah. Siapa pun itu dia pasti bodoh. Atau tukang cari sensasi.Bisa-bisa sehabis ini mendadak ada bukti kuat yang memberatkan seseorang. Orang yang katanya terobsesi dengan Biologi itu. Seorang murid yang antusias dengan praktik membedah katak atau apalah itu.
Dari kejauhan aku melihat sebuah wajah yang familier. Gadis agresif yang mendorong-dorong orang lain untuk lebih dekat dengan garis polisi. Orang-orang di samping marah tak terima, tapi sama sekali tak dipedulikan olehnya. Lalu di sampingnya tampak seorang gadis yang pasrah saja diseret-seret di tengah kerumunan. Dari wajahnya gadis itu lemah tak bersemangat. Kalau Marigold, si gadis agresif lengah sedikit saja, tak menutup kemungkinan gadis yang ia seret malah terjatuh dan dipijak-pijak orang. Aku merasa kasihan pada gadis itu. Menjadi teman Marigold bukan hal yang mudah.
Aku berbalik dan meninggalkan lokasi.
Ngapain sih gue datang ke sini. Buang-buang waktu aja.
Ini sama sekali tak penting. Hal tak penting yang terus mengganggu pikiranku. Kini aku berdiri mengantre membeli donat favoritku. Memang agak memalukan untuk seorang laki-laki yang sudah besar suka makanan manis yang cantik itu. Namun aku tak bisa menutupinya. Aku selalu ingin makan donat. Terutama saat sedang frustrasi.
Tanpa bisa dicegah tangannya mengambil sebuah tiket. Sebuah perjanjian kematian pun tersepakati. A memilih meninggalkan semua ini dan pergi ke sisi sang iblis.
Kematian pun mengutus juru selamat.
Aku mendesah. Hal ini membuatku terus kepikiran tentang orang yang kulihat melepas pengumuman. Apa itu Sienna? Kalau iya kenapa dia membuang pengumuman. Tidak, past---
“Dik?”
“Ha?” Aku tertarik kembali ke dunia nyata.
“Mau pesan apa?” tanya pegawai di meja konter. Dari nada suaranya terdengar jelas dia berusaha sabar menghadapiku.
“Oh, iya.” Aku pun memesan setengah lusin donat.
Begitu menerima dan membayarnya aku langsung pergi. Sampai sebuah lengan menyenggol bahuku. Dengan cepat aku membentuk pertahanan. Tidak lucu kalau donatku yang berharga jatuh berceceran di lantai. Sebagai gantinya orang yang menabrakku yang terjatuh. Aku membelalak. Topi orang itu terlepas dari kepalanya. Kacamata hitamnya turun ke ujung hidung. Memperlihatkan dengan jelas kedua bola matanya yang berlainan warna. Sementara masker di mulutnya membuatku bertanya-tanya. Apa yang ia sembunyikan di sana.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBARAN KEMATIAN
Mystery / ThrillerLingkungan tempat tinggalku penuh dengan kertas-kertas fotokopi berisi kisah pembunuhan. Di minggu pertama tak satu pun orang yang peduli. Ketika minggu kedua tiba, semua orang mulai khawatir. Kertas-kertas itu memenuhi setiap sudut kembali. A dikhi...