Magenta
Kamis
Kepalaku membentur lantai. Keras sekali sampai detik itu juga aku sadar telah terjatuh dari bangku tempatku tertidur. Saat aku bangkit sampil mengelus kepala, mataku sedikit membeliak. Sudah sore. Bahkan dari jarak kira-kira seratus meter di depan hujan sedang bermaraton menuju ke sini. Aku buru-buru berlari menuju pintu dan meninggalkan rooftop.
Begitu sampai di kelas jelas saja sudah tak ada siapa pun di sana. Semua meja dan kursi kosong kecuali milikku. Kududukki kursiku dan lanjut tidur dengan mendaratkan wajahku ke atas meja. Namun kantukku sudah hilang seluruhnya. Lima belas menit aku hanya memelotot seperti orang tolol. Tapi aku benar-benar malas pulang. Rumah benar-benar jadi neraka sejak kedatangan dua gembel itu. Apalagi sedang hujan, siapa yang cukup bodoh pergi dari sini hujan-hujanan. Atau mungkin ada. Sosok itu baru saja melintas dalam balutan jubah hitam. Mirip malaikat maut dari serial horor. Hanya lewat dengan terburu-buru tanpa melirik ke kanan atau kiri. Aku lekas bangkit dan mengintip dari jendela. Sosok itu meninggalkan kelasku dan menelusuri lorong. Sesaat dia berbalik. Aku pun merendahkan tubuh dan bersembunyi. Meski jutaaan bulir hujan sedang menghantam bangunan sekolah ini begitu keras, samar sekali aku merasakan langkah-langkah kaki. Sangat samar hingga pasti itu hanya imajinasiku saja yang terlalu gugup dengan situasi ini. Aku menyambar tas dari atas meja dan semakin meringkuk di balik meja dan kursi saat pintu didorong perlahan. Langkah-langkah itu kembali lagi. Aku tak melihat wujudnya. Hanya dapat memperkirakan sosok itu tengah berdiri di depan kelas dari bayangannya. Bayangan hitam besar yang perlahan menuju kemari. Seketika petir menyambar. Sosok itu mengumpat pelan dan bergegas pergi.
Ketika kurasa semuanya sudah aman, aku bangkit lagi. Mengintip melalui jendela dan menemukan sosok itu berdiri di depan mading. Guna berjaga-jaga, aku bersembunyi di balik gorden. Di tempatnya sosok yang sedang menunduk itu celingukan kiri dan kanan, lalu mengeluarkan sebuah kunci guna membuka gembok salah satu mading. Dia menarik sebuah kertas besar yang tertempel di sana lalu membuangnya ke tempat sampah terdekat. Sosok itu kembali lagi dan menarik sesuatu yang tertempel di bawah mading dan kembali membuangnya. Setelah selesai dia langsung pergi begitu saja.
Aku tak tahu itu tadi apa. Tapi begitu sampai ke tong sampah tempat ia membuang sesuatu tadi aku tahu dia membuang pengumuman gila beberapa hari lalu. Aneh sekali. Kukira pengumuman itu sudah lama dibuang. Masa pihak sekolah tak bertindak dengan menyuruh anak-anak mading menyingkirkannya. Ini sudah tiga hari dan baru sekarang dibuang.
Kuambil pengumuman tersebut serta sebuah kertas yang katanya adalah tiket yang harus diambil kalau membutuhkan jasa sang pembunuh. Aku memperhatikan tiket tersebut dengan saksama. Di hari senin aku yakin tiket yang menggantung di luar mading itu ada tiga, tapi sekarang tersisa dua. Adakah orang yang iseng mengambilnya? Mungkin saja. Pasti banyak yang menganggap ini lucu-lucuan dan mengambil sebuah.
Tapi yang lebih penting... siapa orang yang membuang pengumuman ini tadi? Atau lebih tepatnya siapa gadis itu?
***
Jumat
“Oh, akhirnya pengumumannya hilang juga,” ucap sebuah suara di sekelilingku. Pagi ini begitu tiba di sekolah aku langsung pergi ke tempat ini.
“Ya, mungkin akhirnya, siapa pun yang nempel, capek sama keisengannya ini.”
“Atau jangan-jangan udah ketahuan siapa yang nempel?”
“Masa sih? Tapi gak ada gosip apa pun tuh. Kalau udah ketahuan pasti ada beritanya.”
“Atau karena mereka udah dapat klien,” ucap seorang pemuda di dekat tong sampah. Dia menarik keluar pengumuman tersebut dan menunjukkan dua buah tiket yang kupegang semalam. “Selama ini walau kita anggap pengumuman ini cuma bercanda, gak ada satu pun yang berani ngambil tiketnya. Tapi sekarang tinggal dua. Apa artinya Doctor Death udah dapat pelanggan?” Pemuda itu tersenyum miring. Tampak hanya iseng, tapi aku sama sekali tidak suka dengan senyumnya.
Akhirnya orang-orang itu mengerubungi tong sampah. seolah benda itu mendadak berubah terbuat dari emas murni.
“Lah, dibuang di sini aja? Bukannya biasanya anak-anak mading selalu bawa pengumuman ini kalau baru mereka lepas. Bahkan kita gak boleh lihat sama mereka.”
Anak-anak mading melepas pengumuman itu?
Penasaran dengan apa maksudnya, aku bertanya pada seorang gadis berambut pendek di sebelahku, “Apa sebelumnya pengumuman itu udah pernah dilepas?”
Gadis itu melihatku sejenak, merasa tak yakin aku sedang bertanya padanya. Saat dilihatnya aku memang sedang memperhatikannya ia pun menjawab, “Iya. Habis satu sekolah geger, anak mading langsung ngelepas kertas itu. Tapi besoknya pengumumannya udah ditempel lagi. Gitu terus sampai kemarin. Setiap dilepas pasti besoknya udah ada lagi. Tapi biasanya anak mading langsung bawa pergi pengumumannya, gak dibuang gitu aja. Dan semalam memang pengumumannya terus tertempel sampai jam pulang sekolah. Katanya sih kuncinya ketinggalan entah di mana. Jadi gak ada yang bisa ngelepas. Tapi pagi ini malah kayak gini.”
Aku mengangguk dan berkata oh sebagai sahutan. Lalu pergi dari kerumunan itu.
Sebenarnya siapa orang bodoh yang bermain-main dengan semua ini?
***
Aku benar-benar tak mengerti. Kakak laki-lakiku, Randall, pindah ke rumah nenek kami di Medan saat dia kelas dua SMA. Saat itu aku baru saja masuk kelas lima SD. Dia diusir dari rumahku untuk menemani nenek yang tinggal seorang diri. Namun kepergiannya benar-benar anugerah. Randall itu tukang bikin onar, rumahku jadi benar-benar damai saat dia tak ada. Mama bahkan menyuruhku untuk menempati kamarnya. Tapi aku menolak dengan tegas. Aku tahu saat dia kembali pasti akan merecoki kamar yang kugunakan itu. Makanya dengan bijak aku meminta kamar sendiri pada mama dan papa. Meski kamarku itu lebih kecil aku suka dan puas. Tempat itu milikku sendiri.
“Ge, ambilin Abang Fanta sana,” perintahnya padaku. Laki-laki itu sedang menginvasi meja belanjarku. Di depannya terdapat sebuah laptop dengan layar menyala. Berisi deretan kata-kata yang kuyakini pasti sangat norak. Sejak entah kapan Randall menjadi penulis novel detektif goblok yang membuatku hampir muntah sewaktu mencoba membacanya.
“Ambil sendiri,” tolakku.
“Udah cepat ambilin sana, Abang sibuk ini.”
“Ambilin buat gue juga. Sate taichan. Tadi Tante beli itu kan? Gue belum sempat makannya karena baru makan nasi tadi.” Itu adalah suruhan dari abang sepupuku yang tak kalah tidak tahu malunya.
Aku mendecih. Sudah kubilang kan ini tuh kamarku. Milikku sendiri. Sementara di sebrang kamar ini ada sebuah kamar yang jauh lebih luas yang kosong melompong dengan perabot lengkap. Yang hanya ditempati dua makhluk laknat ini saat malam hari saja untuk tidur. Itu pun terkadang mereka sudah tidur duluan di kamarku. Di kasurku. Sementara aku seperti makhluk terbuang yang tak punya tempat bernaung.
“Gue gak mau,” tolakku sekali lagi. “Dan bisa gak sih kalian pergi dari sini. Ini kamar gue. Kenapa hampir tiap saat kalian di sini terus?”
“Sel, Ali Spam gue ini. Masih gak terima gak diajak ke sini.”
“Woi!!!” teriakku marah. Aku sudah emosi bukan main malah dicuekin.
“Jangan berisik,” ucap Bang Hansel yang menginvasi komputer game-ku. “Udah malam.”
“Kalau gak mau gue berisik, harusnya kalian pergi.”
Hening.
Ah, sudahlah. Aku pergi saja.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBARAN KEMATIAN
Mystery / ThrillerLingkungan tempat tinggalku penuh dengan kertas-kertas fotokopi berisi kisah pembunuhan. Di minggu pertama tak satu pun orang yang peduli. Ketika minggu kedua tiba, semua orang mulai khawatir. Kertas-kertas itu memenuhi setiap sudut kembali. A dikhi...