15. Para Penyelidik Baru

7 4 0
                                    

Magenta

Senin

Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat sebuah jeritan terdengar di seisi lorong.

“Magenta!!!” Kututup telingaku dan bergegas mengabaikan panggilan melengking tersebut.

“Magenta!!! Tunggu lo!” Mari menghadang jalanku setelah berhasil mengejar. “Lo parah banget ya. Udah jelas lo dengar gue panggil-panggil, tetap aja pergi.”

Lavender baru menyusul temannya dengan berjalan santai. Pandangan kami bertabrakan lalu sama-sama saling melengos.

“Lo mau apa?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Ih..." Dia mencibir. "Lo pasti udah baca lembaran kertas-kertas itu kan?”

Aku diam saja.

“Lo jangan bersikap nyebelin gini dong. Kenapa sih lo tuh susah banget buat dideketin. Ayo, kita ke kantin.” Mari menarik lenganku dengan paksa.

“Ngapain?” Aku tetap bertahan, membuatnya berhenti menarikku.

“Kita harus diskusi. Ini rapat pertama kita.”

“Ha?”

“Udah, pokoknya ayo.”

Dia kembali menarik tanganku lalu menarik tangan sahabatnya yang tampak tak kalah menderita dariku. Aku langsung membeli sepiring gorengan begitu sampai di kantin dan memakannya tanpa menawari dua gadis yang duduk di sisi yang berlainan denganku. Mari tampak jengkel bukan main sementara temannya bersikap acuh tak acuh. Bahkan tak mau melihat ke arahku.

“Kita harus nyelidikin kasus ini,” putus Mari bertingkah seolah komandan militer.

“Lo ngomong apa?”

Dia mendecih sambil memutar mata. “Kita harus nyelidikin kasus ini.”

Aku tak tahan lagi untuk tidak tertawa. Aku tahu Mari itu memang pemimpi dan agak halu. “Kita bukan anggota kepolisian. Ngapain nyelidikin kasus ini.” Aku menggeleng seolah baru saja bicara pada orang bodoh dan kembali memakan gorenganku. Mataku melirik sedikit pada Lavender yang melihatku penuh arti. Aksi mengunyahku sontak saja berhenti. “Mau?” tawarku sembari menyodorkan sepotong tempe yang sudah digigit.

Dia mengernyit jijik melihat benda di tanganku. “Bukan yang udah gue gigit,” jelasku sembari menarik sodoran tanganku. “Kalau mau ambil aja. Jangan ngeliatin gue sambil ileran gitu.”

“Gue gak ileran,” bantah Lavender. “Gue juga gak pengin gorengan lo.”

“Terus kenapa ngeliatin?” tantangku.

“Jadi gue harus liat ke mana. Gue dipaksa ikut pembicaraan ini. Dan Marigold lagi bicara sama elo. Otomatis gue ngeliat elo dong, yang kebetulan juga duduk di depan gue.”

Benar juga. Aku merasa bodoh harus bereaksi begitu hanya karena diperhatikan seorang gadis.

“Ya terserah elo deh,” jawabku tak ingin memperpanjang masalah.

“Kalian malah debat gak penting padahal kondisi lagi genting.” Mari memelototi kami berdua.

“Gue gak tertarik sama pembahasan apa pun yang bakal kalian bicarakan.” Aku bangkit berdiri.

“Tunggu.” Mari memegang tanganku. “Lo yakin gak penasaran sama kasus ini? Lo sendiri juga sadar dong ada yang salah dari cerita yang tersebar pagi ini.”

Sejenak aku tercenung. Memikirkan kembali cerita yang kubaca di lembaran fotokopi yang kembali tersebar di mana-mana.

“Mungkin orang-orang pada gak sadar,” Lavender menambahi. “Karena mungkin satu-satunya orang yang denger pembicaraan mereka berdua di kafe itu lo.”
Jadi gadis berwajah cuek dan masam ini telah setuju untuk bergabung dengan apa pun rencana Mari. Katanya tadi dipaksa.

Mau tak mau aku duduk kembali. “Dari mana kalian yakin orang yang diceritakan kali ini adalah orang yang gue liat di depan kafe?”

“Karena hampir semua orang yang ada di sini berpikir A adalah cewek itu,” jawab Lavender. “Dia satu-satunya orang yang paling mencolok di sini yang selalu pake masker, kacamata, dan topi hitam. Dan elo sendiri kan yang bilang waktu itu, mata gadis itu berlainan warna. Satu mata hitam normal. Satu putih buta. Orang yang terkena air keras kayak gadis yang di cerita ini juga kayak gitu.”

“Belum pasti.”

“Memang tapi anggap aja dulu begitu. Dan kalau benar gadis itu yang jadi pembunuh, bukannya kisahnya agak berbeda dari yang lo dengar.”

Aku bersedekap dan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Jadi sekarang lo mau jadi detektif?”

Dia mengalihkan pandangan sejenak. “Semua orang yang dengar cerita lo waktu itu pasti berpikiran sama.”

Dia benar. Aku pun berpikiran serupa. Gadis bermasker yang bertengkar dengan seorang laki-laki di depan kafe waktu itu tak tampak seperti orang yang takut ditinggalkan. Malah dia yang minta putus dari pacarnya. Sang laki-lakilah yang tak terima diputuskan. Gadis itu pun tampak seperti gadis lemah yang penuh kesedihan---itulah kesan yang kutangkap saat melihat matanya sewaktu kami bertabrakan. Walau demikian aku tak bisa langsung berasumsi dia tak bersalah hanya karena dia tampak tak bisa melakukan kejahatan. Bukannya penjahat terhebat dan sulit ditemukan adalah orang yang tak tampak seperti penjahat. Orang-orang tak percaya dia bisa melakukan hal buruk sehingga tak pernah mencurigainya. Namun kalau gadis ini memang benar penjahat, jelas dia tak pintar menutupi aksinya. Sebab semua dosanya tertulis jelas di lembaran-lembaran kertas dan dinikmati puluhan orang. Mungkin ratusan atau jutaan. Sebab banyak orang yang telah menyebarkan cerita-cerita itu di media sosial.

“Nah, jadi gimana? Lo mau gak gabung sama kami?”

“Ini bukan permainan kali. Memangnya apa yang bisa didapat sama anak-anak kayak kita?”

Mari memulai menghasut dengan kemampuan mulut sales-nya. “Hei, kita ini punya kelebihan dibanding aparat. Karena kita anak-anak yang gak diperhitungkan, orang-orang jadi lebih gampang buat cerita semuanya secara terang-terangan. Kita nih bisa mirip agen rahasia yang lagi nyamar tahu. Lo tahu kan agen-agen rahasia tuh biasanya nyamar jadi orang biasa buat dapat banyak informasi. Kita jelas punya kelebihan itu. Karena kita memang orang biasa.” Adik kembarku ini bicara apa sih. “Dan yang paling penting dari semua itu, kita bisa memuaskan rasa penasaran kita sendiri. Lagian kalian pasti udah tahu, ada kebenaran lain di balik semua kejadian ini.” Mari mengatakan hal tersebut dengan dibuat sedramatis mungkin.
Yang paling menyebalkan dari kata-kata Mari adalah aku mulai tertarik dengan tawarannya.

“Terus kalau kita dapat sesuatu gimana? Lapor polisi?”

“Enggak. Kita laporin semua yang kita lakuin dan kita dapat ke Bos dulu. Biar Bos bisa mengolah semua informasi dan menarik kesimpulan.” Mari tersenyum bangga. Jelas membuatku penasaran siapakah si Bos ini.

“Bos siapa?”

Senyum Mari semakin melebar sementara Lavender berdeham kecil. “Bang Hansel bakal jadi Bos kita. Kemarin malam aku datangin Bang Hansel dan dis-ku-si sama dia tentang hal ini. Dia juga tertarik sama semua kejadian ini. Dan terjadilah kesepakatan ini. Hahaha...”

Sepertinya aku bisa menebak kenapa gadis bermuka jutek itu mau ikut dalam hal konyol ini.

“Jadi gimana?” tanya Magi lagi, penuh harap.

“Ya...” Aku tak melihat padanya sama sekali. “Ya udah deh.”

"GUYS!!!" Sebuah suara nyaring membuat Mari tak jadi merespons kata-kataku. Dia tampak geram. Namun pemuda bongsor yang baru masuk ke kantin itu menyedot semua perhatian di sini. Dia berlari lalu berdiri di dekat stan penjual, menghadap kami semua. "Pembunuh di kisah kedua udah ditemukan. Dia..."

***

Dia siapa?

Sincerely,
Dark Peppermint

LEMBARAN KEMATIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang