9. Kesaksian Ibu Korban

11 4 0
                                    

Magenta

“Eh, udah selesai? Ayo makan dulu.” Aku menghentikan kegiatan mengambil beberapa piring di rak dan melihat Mari dan temannya masuk ke dapur.

“Gak usah, Tante. Udah malam.”

“Udahlah makan dulu aja. Gak laper apa. Hari ini mama gue masak banyak. Nanti pulang lo diantar abang gue aja.”

“Oke deh,” jawab gadis itu agak terlalu cepat.

Selama makan malam berlangsung mamaku mulai mengocah tentang kasus pembunuhan yang sedang hangat saat ini.

“Memangnya benar itu teman sekelas kamu, Mari?” tanya mama.

“Belum tahu, Ma. Kan belum jelas juga. Masih dugaan.”

“Aduh, kalau sampai iya bagaimana?”

“Ya gak gimana-gimana, Ma,” jawab Mari sekenanya. Terlalu tenang untuk orang yang teman sekelasnya terbunuh.

“Memang ada apa sih?” tanya Bang Hansel. Yang anehnya menarik perhatian yang teramat besar dari seseorang. Temannya Mari itu sejak duduk, menunduk terus, hanya fokus ke piringnya. Namun saat Bang Hansel bersuara punggungnya langsung tegak.

Mama pun menjelaskan sedikit tentang kertas-kertas itu dan penemuan mayat di kantong plastik, bergantian dengan Mari. Tampak jelas bahwa teman Mari juga ingin ikut menjelaskan. Namun dia kalah cepat dari mamaku dan Mari jika ingin mengoceh.

“Gak pernah-pernahnya ada pembunuhan di sini. Sekalinya ada kenapa seram sekali ya.” Mamaku tampak khawatir. “Di sekolah kamu juga pernah begitu kan, Sel?”

Bang Hansel mengangguk sebagai jawaban.

“Memangnya pernah ada apa?” Lagi-lagi kata-kata gadis itu terdengar terlalu cepat. Seperti takut diterobos. Namun tak seperti harapannya, yang menjawab pertanyaannya dengan menggebu adalah mama dan Mari (lagi).

“Lo kenapa?”

Aku mendongak merasa pertanyaan Bang Randall itu ditujukan untukku. “Gue kenapa?”

“Lo senyum-senyum ngeliatin piring.”

“Gak ada,” bantahku. Tanpa sadar aku mendengus geli melihat reaksi teman Mari yang kecewa pertanyaannya dijawab oleh orang lain.

“Btw kalau kisah pembunuhannya makin seru sering cerita ke gue ya. Bagus tuh buat referensi novel gue yang baru.” Kata-kata cari kesempatan ini keluar dari mulut Randall.

“Abang gue penulis novel thriller, Lav,” bisik Mari ke temannya yang tampak tak berminat ke Randall.

“Dan abang sepupu gue itu sejenis detektif gadungan,” sahutku tiba-tiba. Saking tiba-tibanya tak hanya gadis itu yang menoleh. Semua orang di meja melihat padaku.

“Detektif?” Lihatlah mata gadis itu yang seketika berbinar.

“Iya. Kayak yang diceritain mama sama Mari tadi. Pernah ada kumpulan psikopat gila yang membunuh anak-anak di sekolah Bang Hansel buat balas dendam. Semua kasus itu dia yang mecahin,” jelasku melebih-lebihkan. Seperti dugaanku gadis itu terpana mendengarnya.

“Lo berlebihan kalo bilang gue yang mecahin semuanya.”

“Lo merendah, Bang? Najis banget,” jawabku. “Bukannya lo sama teman lo yang siapa itu namanya? Gue lupa, tapi orangnya gak bisa diem, ngoceh terus. Katanya kalian sempat bertarung melawan psikopat. Terus menang. Ter---“

“Udah, Ge, atau gue lempar lo pake duri ikan.” Kami tertawa kecil. Wajah Bang Hansel memerah karena malu. Kuyakini dia geli sendiri mendengar aku bercerita. Namun semua yang kukatakan itu benar. Masa SMA abang sepupuku itu penuh drama. Drama pembunuhan sayangnya. Kalau cuma satu dua orang yang bercerita mungkin aku sendiri tak akan percaya. Nyatanya keikutsertaan dia dan temannya dalam mengusut kasus pembunuhan tersebar luas di surat-surat kabar beberapa tahun yang lalu. Belum lagi Bang Randall menulis novel berdasarkan kisah itu. Semakin terlihat kerenlah abang sepupuku itu.

LEMBARAN KEMATIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang