8. Pemuda Itu Sang Doctor Death

12 4 0
                                    

Lavender Blush

Senin

“Jangan lupa besok langsung dikumpul tugasnya. Kalau begitu sampai sini saja kelas hari ini.” Guru Bahasa Inggris segera meninggalkan kelas.

“Lagi genting gini malah banyak tugas,” keluh Marigold. “Lo emang bisa fokus nih sekarang?” Dia melihatku dalam. Aku tahu dia khawatir. Sejak video penemuan mayat di kantong plastik itu Marigold berkali-kali menoleh padaku saat jam mata pelajaran.
Kususun barang-barangku dengan tenang. Sementara kelas mulai ribut dengan anak-anak yang bersiap pulang. “Entahlah. Mau gimana lagi. Tugasnya kan dikumpul besok. Lagian belum jelas juga siapa yang ada di dalam video itu.” Belum jelas. Tapi aku tahu dengan baik kalau itu memang lingkungan rumah Sienna. Tempat sampah di samping depan rumahnya.

“Ya... mau ngerjain di mana nih?” Marigold sudah siap dengan tas di punggungnya.

“Di rumah lo aja,” jawabku tanpa pikir panjang. Aku tak mau ada yang datang ke rumahku. Aku tak ingin ada yang melihatnya.

“Oke,” jawabnya dan kami keluar kelas.

“Kayaknya gue mau ke kamar mandi dulu deh,” ucapnya. “Lo mau ikut apa gimana?”

“Enggak deh.” Perempuan memang biasa ke toilet ramai-ramai. Namun aku dan Marigold agak berbeda. Aku sendiri sering malas untuk mengajak orang lain. Sebab kalau orang itu menolak aku akan kecewa. Kalau Marigold sendiri dia cewek yang memang sering ke mana pun seorang diri. Bukan karena tak punya kawan. Namun dia adalah jenis cewek mandiri yang bisa pergi ke mana pun dengan rasa percaya diri dan dagu terangkat.

“Ya udah. Tungguin.” Gadis itu langsung pergi sambil berlari. Aku menunggu Marigold di samping tangga sambil bersandar di ralling.

“Lo liat Sienna di McD pas malam minggu kemarin sama cowok?”

“Iya. Cowoknya ganteng banget, tapi bukan Kak Jade.”

“Jangan-jangan...” Kata-kata gadis itu tak dilanjutkan lagi begitu ia melihatku. Dua gadis yang sedang menaiki tangga itu melengos dan melewatiku seperti aku tak kasat mata.

“Itu temannya kan?”

“Iya. Padahal temannya udah kayak gitu tapi dia biasa aja dan tetap masuk sekolah.”

Jantungku seperti tertusuk benda tajam mendengar komentar gadis tersebut. Sejujurnya sejak tadi pagi aku sangat terguncang. Walau tak ingin mengakuinya aku berharap semua baik-baik saja dan Sienna sedang berada di suatu tempat, bersenang-senang, dan tertawa bahagia melihat kami semua kebingungan. Aku pun membuka block kontaknya dan mengiriminya pesan. Namun sampai siang ini belum mendapat jawaban sama sekali. Aku berbalik saat kudengar dari lantai bawah berisik akan orang-orang. Aku menatap seorang pemuda. Sebab deskripsi pelaku yang berada di lembaran kertas tersebut seisi sekolah agaknya mencurigai seseorang. Pemuda berkulit putih itu sedang melintasi lapangan basket dengan kepala tertunduk ke bawah. Di beberapa tempat orang-orang jelas sedang memperhatikannya.

“Dia memang aneh kan?” Aku tersentak. Di sampingku berdiri seorang gadis cantik berambut sangat hitam sebahu. Rambut yang benar-benar cantik.

“Kalau dia benar-benar pelakunya semoga dia cepat tertangkap.” Dari raut wajahnya jelas sekali dia teramat kesal.

“Lo gak takut sama dia kalau dia emang beneran pelaku?"

Gadis itu bimbang sejenak. “Iya, ya.” Dia tertawa kecil. “Dari ceritanya dia kan gila banget. Seram sih, tapi gue masih agak kesal sama dia.”

“Kunci mading?” tebakku.

Dia mengangguk. “Kalau memang dia pelakunya kemungkinan dia juga yang nempelin pengumuman itu. Anak-anak mading kena marah terus gara-gara itu,” jelas Ivory. “Salah satu yang paling sering kena semprot, ya gue. Kuncinya cuma ada sama gue. Jadi satu-satunya yang bisa nempelin pengumuman itu cuma gue. Bodoh banget.”

LEMBARAN KEMATIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang