"Aku menikah, semata-mata hanya ingin mencari berkah, agar setiap langkah terasa lebih indah."
Napasku naik turun, seusai mendengar Gus Adnan mengqobulkan ijab yang diucapkan oleh Abah Yai. Akad hari ini hanya berjarak satu minggu setelah khitbah minggu lalu, bukan aku yang menginginkannya melainkan dia, katanya jika ingin berniat baik, jangan lagi ditunda-tunda. Sedih sekali rasanya, karena di hari yang sakral bagiku ini tak dapat kedua orang tuaku menyaksikannya karena mereka telah berada di alam berbeda, meninggalkanku seorang diri tanpa sanak keluarga. Sejak kecil, hanya kebaikan dari orang lainlah yang membuatku bisa bertahan hidup sampai sekarang, termasuk juga nyantri ....
Air mataku menitik ketika Gus Adnan, membacakan do'a tepatnya di ubun-ubunku. Jarak kami begitu dekat hingga embusan napasnya bisa aku rasakan. Seusai membacakan do'a, Pria yang tengah mengenakan baju pengantin itu sadar, bahwasanya aku tengah menangis, hingga di hapusnya jejak yang sendari tadi membasahi pipi. Dengan takzimnya 'ku cium tangan Beliau, lalu di balasnya dengan mengecupkan keningku hangat. "Ana Uhibbuki Abada." Tak berniat untuk membalas, akhirnya hanya 'ku layangkan senyuman sebisanya.
Para Tamu berdatangan dan memberikan do'a restunya, sehingga tiba giliran Gus Hafidz dan Adiknya. Aku tak bisa berbohong pada diriku sendiri, sakit sekali rasanya ketika netra ini tak sengaja menangkap netra teduh miliknya. "Selamat ya Gus, Ning, semoga kalian berdua menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah, dan di pertemukan pula sampai ke Jannah-Nya, aamiin." Sakit namun tak berdarah, mungkin kata-kata ini cocok untukku sekarang. Bagaimana bisa Pria berjubah maroon tersebut, mendoakanku demikian? Ya Robb ... Ampuni Hamba karena sempat menaruh harap kepada sesama makhluk.
Aku menatap ke arah suamiku ketika tangannya menggenggam erat tanganku. Sepertinya dia peka, pada netraku yang selalu menatap ke arah Pria itu lama. Tangannya kemudian mengelus lembut pipiku, hingga menghapus cairan bening yang sendari tadi berusaha ‘ku bendungi di sudut mata. Entah apa yang merasukinya, mendadak Pria itu mengecupkan keningku hangat. "Gu—s."
Gus Adnan lantas menunduk, sambil berucap kata maaf. Kemudian, aku hanya mengangguk dan berniat untuk mengambilkannya air. "Diminum dulu Gus," ucapku ketika sampai.
Pria itu hanya mengangguk, lalu meneguk segelas air itu pelan. Sesekali melirik ke arah jam yang ternyata sudah hampir larut malam, tetapi untunglah para Tamu yang datang pun sudah merenggang. "Kita langsung pulang aja ya Dek, nddak enak juga kalau harus menginap disini." Aku tercengang setelah mendengar penuturan Gus Aad. Secepat itukah aku boyongan?
"Ummi selalu mendoakan yang terbaik untuk pernikahan kalian, semoga senantiasa mendapati berkah dari Tuhan. Ndduk, taatlah kepada suamimu, karena surgamu sekarang telah beralih padanya, Ummi yakin Gus Adnan pasti bisa membimbingmu dalam meraih surganya Allah, pun jangan lupa amalkan ilmu yang sudah di pelajari, karena sekarang sudah tibalah saatnya," tutur Bu Nyai lemah lembut.
"Fathul Qorib, Qurotul Uyyun, Fathul ...." Terlihat Gus Hafiz menyenggol bahu Adiknya, setelah gadis itu menyebutkan nama-nama kitab yang berisikan ... ah sudahlah, 'ku yakini saat ini pasti pipiku sudah merona.
"Nggeh Bu Nyai, insyaallah akan saya amalkan. Maturnuwun atas ilmu yang telah diberi, semoga Allah senantiasa membalasnya dengan beribu ganjaran pahala untuk kalian.”
"Abah, maturnuwun yo, Aida nggak tau bagaimana cara membalas kebaikan kalian ... hiks, Aida juga minta maaf jika ada salah kata, mungkin selama Ai mengabdikan diri disini, Ai banyak melakukan kesalahan yang secara tak langsung menyakiti hati kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Putra Kyai✔
RomanceAida, yakni seorang Mbak Santri ndalem yang terpaksa menerima perjodohan yang di ajukan oleh Kyainya. Namun, Pria yang akan menikahinya bukanlah seorang Pria yang sempurna, melainkan seorang Pria lumpuh dan tengah mengidap penyakit kanker otak stadi...