Lembaran Kelima || Suara Hati Gus Adnan

4.9K 359 19
                                    

#ParadeCakraBatch.

Kata ini Aku rangkai dengan teliti,
agar tidak melukaimu, Wahai pujaan hati.
Ya Zaujati, harta dunia yang paling berharga dalam diri,
Yang tak pernah ingin menentang walaupun cinta belum bersemi.

Terimakasih atas segala abdimu dalam jangka waktu semingguan ini,
Terimakasih atas ketulusan yang telah engkau salurkan melalui rasa iba.
Terimakasih dan maaf, bila hanya kata itu yang setia aku ucap.
Maaf, jika suamimu ini belum bisa memberimu sebuah kebahagiaan abadi.
Dan maaf, jika setiap langkahku selalu merepotkan mu, hingga harus setia mengikuti.
Tapi tenang, mungkin ini semua akan bertahan beberapa bulan bahkan hari, karena aku sendari tak tau, kapan saatnya Malaikat Izrail menghampiri.

Aida Nur Kahfi, Ana uhibbuki.

•||•

Warna kejinggaan kini mulai tampak, begitu indah dan memberi sedikitnya ketenangan. Aku mengamati ciptaan Tuhan satu itu tidaklah seorang diri, melainkan bersama Aida, Istriku. Sama halnya dengan aku, wanita itu pun menikmati sunset di sore hari.

'Ku amati sejenak wajahnya, ternyata begitu cantik, bahkan luar dan dalam. Setiap harinya tak pernah bosan ia melayaniku bahkan mengekori kemana pun aku pergi. Rasanya, aku cukup terbantu karena kehadirannya, namun dia adalah Istri yang seharusnya harus di lindungi bukan seorang babu yang selalu melayani. 'Aku nddak pernah repot Gus, justru aku bahagia karena bisa melayani panjenengan. Aku ini tengah berusaha dalam meraih surga yang Allah janjikan ... jadi, jangan pernah sesekali beranggapan bahwa njenengan itu adalah beban.'

Beberapa waktu lalu, Aida memberiku penjelasan. Bahagia tentunya, karena mendapati jawaban demikian. Tetapi apa benar? Jujur, aku sendiri merasa ragu, bahkan selalu bertanya-tanya, kapan diri ini bisa memberinya kebahagiaan. "Gus." Aku tersadar dari lamunanku ketika Aida memanggil. Entah apa alasannya, kenapa sampai sekarang masih memanggilku terus menerus dengan sebutan Gus. "Dek, saya ini suamimu, bukan Gurumu."
Aida lantas tersenyum, tak lama setelahnya membalas ucapanku. "Eh, Mas Adnan maksudnya."

"Pinter," ujarku kembali, sambil mengecup sekilas pipinya.

"Dek, Mas mau tanya. Menurutmu apa sih itu suami?" 'Ku beranikan diri untuk bertanya demikian, merasa penasaran saja dengan jawaban yang akan ia jabarkan.

Aida terlihat berpikir sejenak, lalu setelahnya menjawab pertanyaan yang barusan aku lempari. "Suami itu adalah Imam besar dalam rumah tangga, lagi seorang Nakhoda yang membawa keluarga menuju pelabuhan bernamakan surga. Penuntun terdahulu yang harus di contohi, yang akan selalu memuliakan seorang Istrinya, sampai sekat bernamakan ajal itu tiba. Kalau menurut Mas, Istri itu perannya bagaimana?" Seusai menjawab pertanyaanku, akhirnya wanita itu menanyaiku balik.
"Istri, adalah harta dunia yang paling berharga menurut saya, harus di jaga dan senantiasa dilindungi. Maka, itulah alasan mengapa mereka tercipta dari tulang rusuk yang dekat pada hati, yang artinya harus di cintai, dekat pula dengan lengan yang artinya harus dilindungi," jelasku.

Istriku tersenyum, lalu mengangguk paham. Inilah salah satu kelebihan bila menikah dengan sesama Santri, mereka sudah paham lebih dulu, sebelum tiba saatnya menerapkan. "Mas ikut Abi jama'ah ke masjid, kamu ikut Ummi ke aula ya." Dia terlihat mengangguk paham, lalu mengiyakan ucapanku. "Tapi Mas udah mendingan kan? kepalanya udah nggak pusing lagi?"
Wanita itu sepertinya khawatir, tergambar jelas dari caranya memandang. "Nggih Ning, nggih."

Aida tersipu ketika aku memanggilnya dengan sebutan Ning, tangannya begitu jail hingga mencubit lenganku. "Aduh, sakit, Sayang." Memang tidak begitu kuat, tetapi akunya saja yang ingin menjaili.
Dia yang kepanikan pun akhirnya lekas berucap maaf. "Aida cubitnya kekencangan ya Mas? Maaf."

Aku yang hanya bersandiwara pun, lantas tertawa pelan setelah mendengar penuturannya. "Nggak sakit kok Dek, cukup kamu peluk Mas sebentar aja pasti langsung sembuh," ucapku.

Tak ada penolakan, endingnya kami berdua pun berpelukan. Kenyataannya cinta itu tak menjamin sebuah pernikahan, karena menikah di niatkan untuk ibadah dan melengkapi separuh iman, rasanya begitu nikmat, bahkan tiada taranya di balik sebuah kesenangan Dunia lainnya. Aida, kenyataannya aku mencintai wanita itu lebih dulu sebelum hari perjodohan tiba. Kami sempat bertemu sebelumnya, ketika itu aku di utus untuk menjadi salah Dewan juri mewakili Abi, yakni lomba baca cepat kitab kuning. Seingatku dialah yang menjadi peserta, memang sudah lama bahkan sebelum diri ini mengalami kelumpuhan.
Masa itu aku masih di banggakan, berkaitan pula dengan prestasi yang masih berkibar. Masih sering pula mengisi kajian, tentu berbanding terbalik dengan sekarang yang sedikit saja melakukan kegiatan, pasti sudah merepotkan banyak orang.

"Mas nanti kalau lelah langsung ke rumah, jangan masih di paksa bantu ngajar Anak-anak." Istriku memperingati, sebelum kami pergi menuju masjid.
"Iya Zaujati, iya." Beberapa saat kemudian, terlihat Ummi dan Abi saling pandang, lalu tak lama setelahnya senyuman di wajah keduanya pun mengambang.

•||•

Seusai jama'ah ternyata aku tak bisa langsung pulang, masih tertahan di sana karena harus membahas tentang acara haul yang insyaallah akan di selenggarakan pekan depan. "Pripun Gus?" tanya salah seorang tenaga pengajar padaku. Aku hanya mengangguk, mengiyakan apa yang sudah disepakati tadi. Mengenai tentang transportasi kesana dan siapa yang akan mengisi acara tersebut.

Haul sendiri merupakan peringatan wafatnya seseorang, biasanya diadakan setahun sekali dengan tujuan mendoakan si Ahli kubur agar semua amal beserta ibadahnya diterima disisi Allah. Dan niatnya pekan depan kami akan pergi untuk berziarah ke makam para Ulama pendiri pondok pesantren terlebih dahulu, mengingat perjalanan yang akan di tempuh cukup jauh, akhirnya kami memutuskan agar menggunakan kendaraan roda empat.

"Dengar-dengar Gus Hamzah akan kembali dari Malaysia, lusa ya Gus?" Kang Rohman, salah satu tenaga pengajar itulah yang tengah melempariku pertanyaan tersebut.
"Nggih. Alhamdulillah, pendidikan S-2nya sudah selesai Beliau tempuh," balasku.

Muhammad Ali Hamzah Firdausi, itulah Nama lengkap Adikku dari Ummah Laras dan Abi. Ummiku memang bukanlah Istri satu-satunya, melainkan hadirnya sosok Ummah yang berada di tengah keduanya. Terkadang aku kasian pada Ibuku yang tidak diperlakukan untuk menjadi satu-satunya, namun apa boleh buat, karena pada hakikatnya seorang suami bisa memiliki Istri lebih dari satu, dua, tiga bahkan empat, di pastikan dahulu bahwa mereka bisa berlaku adil terhadap sesama, baik itu lahir maupun batinnya. Jika Abi, mungkin tak perlu di ragukan lagi, bahkan sosok Beliau selalu aku kagumi karena bisa bersikap adil pada kedua Istrinya, keduanya pun tak pernah bertengkar sekalipun berada dalam satu atap.

Ingat, Aku hanya mengagumi sosok Beliau, tidak berkeinginan untuk mengikuti jejak langkahnya. Selain tak yakin aku bisa bersikap adil atau tidak, aku juga bergantung pada umur yang entah sampai kapan bisa bertahan lamanya.
Asik berbincang hangat bersama para Asatidz, alhasil aku malah lupa dengan titah Istriku. Tetapi biarlah, toh lagi pula sebentar beberapa menit azan isya, pun berbincang hangat seperti ini tidak perlu menghabiskan banyak tenaga.

Bersambung....

Sang Putra Kyai✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang