"Berjuanglah Gus, untukku, kedua orang tuamu, serta buah hati yang nantinya pasti akan merindukan sosok-mu."
~Ning
•||•
Aku bingung harus bersikap bagaimana, antara bahagia atau berduka, karena kedua rasa telah menyatu dengan sendirinya. Aku bahagia, karena Allah telah menitipkan nyawa seorang Hambanya padaku, berduka pula karena Mas Adnan harus terbaring lemas di rumah sakit. "Allah uji kamu, karena kamu itu sanggup. Allah uji kamu, karena Ia mengasihimu. Dan Allah uji kamu untuk melatih kesabaranmu, dengan begitu kamu harus kuat Ndduk, serahkan semuanya kembali kepada Sang Rabbi, karena hanya kepadanya kita bisa menguntungkan segala harap yang mustahil bagi Mahluknya." Ummah Laras sendari tadi berusaha menguatkanku, memelukku penuh kehangatan seolah menyalurkan tenaga agar kembali kuat menopang segala beban.
Ketika pelukan ia longgarkan, tangannya mengusap lembut pipiku, menghapus jejak air mata yang luruh tanpa dimintai. "Suamimu itu kuat Ndduk, buktinya dia tak kunjung mengeluh saat Allah mengujinya di hari lalu, bahkan dia selalu berprasangka baik terhadap Tuhannya. Ummah harap kamu pun begitu, karena yang tengah berbahagia detik ini tidak menjamin mereka berbahagia esok hari, begitu pula sebaiknya. Percayalah, do'a seorang Istri sholihah pasti lekas diijabah."
Ku coba menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Aku percaya Mas, kamu pasti kuat, berjuanglah sejenak karena aku yakin suatu saat nanti pasti kebahagiaan menyertai.
Jarum pendek jam dinding telah mengarah pada pukul sepuluh malam, tetapi Mas Adnan masih tak kunjung sadarkan diri. "Sayang bangun ... Aku rindu."
Aku masih tersedu, sambil menggenggam erat tangan Suamiku, hingga akhirnya terlelap karena terlalu lelah, sendari pagi terus berjaga.
"Sayangnya Ummi, do'akan Abimu selalu ya. Semoga Ia lekas sadar dari komanya dan segera mengetahui, bahwa Allah telah menitipkan anugrah terindah-Nya pada kami, yaitu kamu." Aku terbangun dari tidur, ketika terdengar suara Azan dari Musola. Segera aku bangun dan memohon pertolongan kepada Sang Ilahi, karena katanya berdo'a ketika Azan dilantunkan, maka do'anya begitu mustajab.
"Sayang, aku sholat dulu ya. Kamu jangan nakal, terus berjuang dan lawan semua rasa sakitnya." Sengaja 'ku layangkan kecupan yang mendarat, tepat di pipinya. Berharap Pria itu segera bangun dari tidurnya.
Ketika seusai melaksanakan sholat subuh berjamaah di Musola, aku kembali terpukul oleh pahitnya sebuah kenyataan, setelah mendengar penuturan Dokter bahwasanya kondisi Gus Adnan kian berangsur menurun. Bahkan saat 'ku tinggal tadi, Pria itu sempat kejang dan hampir saja detak jantungnya menghilang. Maha suci Allah, sekarang kondisinya sudah seperti semula walaupun masih tak kunjung sadarkan diri.
Aku masih terus bersabar, menunggu kapan tiba saatnya keajaiban dari Sang Kuasa. Sebagaimana yang diketahui dalam surah Al-Baqarah ayat seratus lima puluh tiga. 'Hai Orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta Orang-orang yang sabar.'
"Assalamu'alaikum .... " Aku menatap ke ambang pintu yang ternyata sudah ada kedua Ummi dan Ummah mertuaku. Ummi Asiah lebih dahulu menghamburkan pelukannya padaku. "Sabar Ai, Ummi yakin kamu sanggup melewati ini semua." Aku hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata lagi.
Begitu pula Ummah Laras. "Adnan pasti sedih liat kamu kayak gini Ai, ayo lebih semangat dong!"
Ingin terkekeh, tetapi sudah tak sanggup, lantas hanya bisa menggapi Beliau dengan senyuman paksa.
Berbulan lamanya, aku menanti kesadaran suamiku, namun sebanyak itu pula harapan untuk kesembuhannya semakin menipis. Bahkan Gus Aad sudah di bawa pulang ke Ndalem, karena kata Ummi lebih baik di rawat saja di rumah agar tak harus pulang pergi setiap saat ke rumah sakit. Tentu masih dalam pengawasan Tim medis dan ini pun sudah menjadi pertimbangan matang dari pihak kami dan Dokter.
Tak terasa, usia kandunganku sudah menginjak usia tiga bulan, sudah lebih berisi dari sebelumnya. Tetapi, sampai detik itu Gus Adnan masih tak kunjung melihatnya. "Ndduk."
"Da--dalem, Ummi." Aku menjawab panggilan dari wanita mulia itu sambil terbenta, karena telat menyadari kehadirannya.
Ummi mertua terlihat menarik napas panjang nan dalam, sebelum akhirnya menyusulku duduk di ranjang Sang putra. "Sekarang Ummi bebaskan kamu Ndduk, Ummi tidak menuntut kamu untuk setia pada Suamimu, karena Ummi yakin Adnan pun pasti berpikir demikian. Kamu bebas untuk mencari kebahagiaan di tempat lain, tak harus setia menunggu Putra Ummi yang tak pasti kapan sadarnya ... itupun jika sadar, bagaimana kalau tidak Ai?"
Aku masih tak percaya setelah mendengar penuturan Ummi Asiah, bagaimana bisa kalimat itu terangkai di benaknya?
"Tentu, Aida lebih memilih setia Ummi, Aida akan terus bersabar menunggu sampai Gus Adnan sadar, karena Gus Adnan sudah janji akan terus setia menemani Aida sampai akhir hayatnya nanti." Aku meraih tangan suamiku lalu menggenggamnya erat. "Bangun Gus, panjenengan sudah janji sama kulo, bahwasanya akan bersama sampai akhir hayat kita berdua."
Kembali 'ku peluk tubuh ringkihnya, berharap Pria itu lekas sadar dari komanya. Andai Gus, andai jika kamu dengar ini semua apa kamu akan marah pada Ibumu? Atau malah sebaliknya, melepasku pergi dengan ikhlas dan berlabuh ke lain hati. Tetapi, apa sebegitu tidak yakinnya keluargamu terhadap takdir Sang Ilahi? Jika Dokter memang tak mampu menyembuhkanmu, lalu bagaimana dengan Allah? Aku yakin Gus, kamu pasti kuat.
•||•
Ini di next lagi kayak ya? 🙂 potek hatiku gagal nyelesain parade kemarin
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Putra Kyai✔
RomansaAida, yakni seorang Mbak Santri ndalem yang terpaksa menerima perjodohan yang di ajukan oleh Kyainya. Namun, Pria yang akan menikahinya bukanlah seorang Pria yang sempurna, melainkan seorang Pria lumpuh dan tengah mengidap penyakit kanker otak stadi...