Lembaran Ketujuh || Kemoterapi

4.6K 333 10
                                    

#ParadeCakraBatch.

'Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan berbagai macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman, "Bilakah (kapankah) datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah bahwasanya pertolongan Allah itu amat dekat.'

[Q.S. Al-Baqarah, ayat 214]

•||•

Minggu ini adalah hari pertama aku mengantarkan suamiku, untuk melangsungkan kemoterapi di rumah sakit, tentunya setelah melalui perdebatan panjang. Berulangkali Pria itu menolak untuk melakukan kemoterapi, tetapi aku tetap bersikeras terhadap pendirianku. Katanya, jika memang sudah waktunya kembali pada Ilahi, maka tak ada seorang pun Hamba yang bisa berlari dari takdirnya, karena itu mutlak ketetapan Tuhan. Namun, prinsip Beliau bertentangan denganku, yang tentunya kita sebagai manusia di tuntut untuk berikhtiar terlebih dahulu, sebelum berserah diri.

"Aida tau Mas, Aida tau itu. Takdir seorang Hamba memang mutlak ketetapan Tuhan, tapi apa Mas lupa bahwasanya kita masih di tuntut untuk berusaha sebelum menyerahkannya kembali kepada Sang pencipta. Aku yakin, kamu bisa melewati ini semua dan aku mohon, kamu lawan penyakit kamu sayang, lawan! Kamu harus yakin sama Allah dan juga pada diri kamu sendiri."

Suamiku tak bergeming, netranya menatap lurus ke arah jendela. Astagfirullah ... apakah aku terlalu kasar padanya. Sekian lama menunggu Pria itu mengucapkan sepatah dua patah kata, akhirnya aku mendekat ke arahnya dan menatap penuh penyesalan. "Maaf, maafkan Aida Mas .... jika tutur kataku tanpa sadar melukai hatimu, Aku--"

Ucapanku terhenti ketika Mas Adnan meletakkan jari telunjuknya dibibir. Beliau tersenyum tulus, lalu menggelengkan kepalanya ke kiri dan kanan. "Kamu nddak salah Dek, Masnya saja yang mungkin kurang sabar menghadapi cobaan ini semua. Mas siap terapi, apapun itu Mas siap."

Setelahnya, kami berdua pun saling melempari senyum. Tak lama setelahnya Mas Aad menepuk-nepukki kasur disebelahnya, seolah memberiku kode agar duduk di samping Beliau. "Selama kamu yang meminta Mas untuk menjalani itu semua, Mas nddak bisa nolak, sayang."

"Hm, benarkah? Kalau begitu jatuhkan Aida talak." Sontak, pelukan itu ia longgarkan dan menatapku heran. Aku yang tak mampu menahan tawa pun alhasil terbahak melihat ekspresi Beliau.

"Bercanda Mas, bercanda." Tak lama setelah aku berucap demikian, Mas Adnan terlihat menghela napas lega.

"Ish, bercanda kamu keterlaluan Ai. Untung suamimu ini nddak terkena serangan jantung."

"Na'uzubillah ... eh, ingat loh ucapan adalah do'a. Lagi pula aku itu pengen liat kamu segera sehat," balasku. 'Ku sandarkan kepala dibahunya, lalu menggenggam erat tangan Pria itu. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Mas Adnan pun kembali mendaratkan kecupan di pipiku.

"Do'akan selalu untuk kesehatan Mas ya, Dek."

Aku mengangguk cepat. "Tentu. Karena atas izin Allah, kamu pasti sembuh."

•||•

Setelah menjalani rumah tangga bersama Mas Adnan, rasanya takut kehilangan sosok Beliau, terus menghantuiku hampir setiap waktu. Melihat perubahan-perubahan besar yang sering di alaminya beberapa hari lalu. Tak sengaja, aku berniat menyisiri rambut suamiku yang sedikit terlihat kusut, namun entah berapa banyak helaian rambut yang rontok dengan sendirinya. Bahkan bukan hanya itu, napsu makan yang kian hari semakin menurun membuat tubuhnya berangsur kurus. Padahal obat hentinya di minum dengan teratur, tetapi mungkin benar apa kata orang. 'Seorang dokter tidak berjanji pada Pasiennya, jika setelah minum obat langsung sembuh. Guru, tidak pernah berjanji pada Muridnya jika dengan kuliah, langsung kaya. Tetapi Allah, Dia tidak akan pernah mengecewakan seorang Hamba, jika menggantungkan segala harap kepada-Nya.'

Betapa besar cintanya Allah kepada makhluknya, padahal sejatinya kita yang butuh Allah. Bukan Allah yang butuh kita.

"Monggo, dihabiskan dulu tehnya Mas," perintahku, ketika kami hendak berangkat ke rumah sakit. Terlihat Mas Adnan hanya menurut, lalu meneguk tehnya hingga tandas. "Teh buatanmu emang paling enak Ning, pasti buatnya pake cinta ya," rayunya sambil memainkan sebelah alisnya. Aku pun terkekeh lalu beralih menaruh cangkir ke dapur. "Yo nddak toh, wong buatnya masih pake gula kok biar manis."

Tak 'ku dengar lagi balasan dari suamiku, karena sekarang aku tengah mencuci gelas di wastafel. Bukannya tak ada Mbak ndalem yang bertugas untuk membersihkannya, tetapi aku tak ingin merepotkan mereka, biar keperluanku dan Mas Adnan aku saja yang mengurusnya. "Udah Ning, jangan di cuci semua, nanti biar kita aja yang melanjutkan. Ada baiknya kalian pergi saja." Arumi, Gadis berjilbab orange tersebut langsung mengambil alih perkerjaanku.

"Yakin?"

"Nggih, ini 'kan sudah menjadi tugas kami Ning, lagipula Gus Aad-nya kasian kalau terlalu lama menunggu." Aku hanya mengiyakan ucapannya, lalu bergegas mengganti baju.

Kini aku dan Suami sudah meninggalkan pekarangan ndalem, mobil yang kami tumpangi berjalan dengan kecepatan maksimum yang di kemudikan oleh Kang ndalem yang bernama Syafi'i. Sepanjang perjalanan tak banyak yang kami bincangkan, bahkan terkadang nyaris sunyi karena habisnya topik pembicaraan.

"Kang, nanti singgah sebentar di supermarket, nggih." Kang Syafi'i terlihat mengangguk pelan setelah mendapati titah dari suamiku. "Nggih Gus."

"Mas Aad mau cari apa memangnya?" tanyaku sedikit penasaran. "Sedikit camilan. Kamu mau titip apa?"

"Apa aja asal ikhlas," jawabku asal.

•||•

"Untukmu." Aku yang sendari tadi hanya diperintahkan menunggu di mobil, malah dikagetkan dengan kehadiran Mas Adnan dan juga Kang Syafi'i yang sendari tadi ikut serta bersamanya. Entah apa penyebab Pria itu tak ingin aku temani, ketika tadi aku menawarkan diri. Beberapa hari lalu, tak ingin jauh-jauh dariku, sekarang malah tak ingin dekat.

Aku yang penasaran dengan isi kresek pemberiannya ketika sampai Ia berikan, akhirnya bergegas membuka kantong kresek tersebut. Namun, terlebih dahulu aku mengucapkan terimakasih pada Kang Syafi'i yang telah membantu Mas Adnan mendudukkan diri kembali di kursi penumpang. "Nggih, sami-sami Ning."

Aku menatap ke arah suami yang tengah melempariku dengan senyuman yang terlihat sangat manis. Ternyata setelah dibuka, Pria itu membelikanku es krim dan coklat silverquen. "Dengar-dengar, kebanyakan perempuan menyukai es krim dan coklat, maka dari itu saya membelikannya."

Aku kembali tersenyum menanggapi, lalu mengangguk dua kali. Padahal sebenarnya aku tidak terlalu menyukai suatu hal yang rasanya manis, tetapi tak apa setidaknya suamiku sudah berusaha agar aku merasa senang. "Panjenengan juga suka es dan coklat, Mas?" tanyaku sambil membuka coklat yang masih terbungkus rapi. "Nddak terlalu sih. Tapi kamu suka 'kan?" tanyanya yang melempariku pertanyaan balik. "Hm, suka. Tapi kulo lebih suka panjenengan, Mas."

Setelah membuang jauh-jauh rasa lalu, endingnya aku kumpulkan keberanian untuk menggombali Pria itu. Lagi pula kalau dipikir-pikir boyo nddak dosa 'kan?

Detik berikutnya, Mas Adnan termakan rayuanku, wajah tampannya terlihat memerah dan secepat kilat mengusap wajah seraya beristigfar. Walah dalah, kok respotnya kayak lihat makhluk astral yo? Tak ingin kehilangan kesempatan emas, aku mendekatkan diri ke arahnya kemudian berbisik. "Menggombali suami sendiri, nddak dosa 'kan?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.

Barulah, Mas Adnan mengangguk setelahnya menanggapi ucapanku barusan. "Mbonten Ning, mbonten," balasnya dan kemudian mencubit pipiku gemas.

Bersambung....

Sang Putra Kyai✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang