#ParadeCakraBatch.
'Carilah orang yang mau menerima kekuranganmu, jatuh cinta dengan keanehanmu, memahami emosimu, tetapi tidak membiarkanmu memelihara sifat-sifat burukmu.' -Andikaprayoga-
•||•
"Mari Gus, biar tak bantu." 'Ku coba membuka topik pembicaraan ketika Lelaki itu perlahan ingin bangkit dari kasur, bersamaan kami terbangun ketika gema azan berkumandang. Dia terlihat tersenyum, lalu mengangguk. "Maaf, selalu merepotkanmu Dek."
Aku hanya menanggapinya dengan kata tak apa, lalu beralih membantunya memindahkan diri di kursi roda. Tak sempat melangkah menuju masjid, karena iqomah lebih dahulu dikumandangkan. Namun sholat subuh masih kami laksanakan secara berjama'ah walaupun hanya berduaan, berhubungan Ummi yang bertindak selaku imam bagi Santri putri di aula.
"Tadarus subuh dulu ya, nanti dilanjutkan dengan tanya jawab sekilas hukum tajwid." Lagi-lagi aku hanya manut ketika suamiku berujar, selagi itu baik tak mungkin bila diri ini menentang. Ayat suci yang Beliau lantunkan terdengar merdu di indra pendengaran, hukum bacaannya yang pas membuatku sedikit terkagum kepadanya. Mengenai info yang beredar, Gus Adnan adalah seorang Ahli kitab kuning sekaligus Hafiz Qur'an tiga puluh juz. MasyaAllah ... ternyata dibalik kekurangannya, Lelaki itu menyandang gelar multitalenta. Ku akui itu, bahkan sejak prosesi khitbah waktu lalu.
"Sekarang apa hukum bacaan ketika nun mati bertemu Kaf?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.
"Gampang itu mah, ikhfa 'kan?" tanyaku memastikan.
Beliau kemudian mengangguk. "Kemudian apa keterangan dari hukum bacaan ikhfa sendiri? Sertai juga dengan contoh."
Tentunya, dengan antusias aku menjawab pertanyaan yang barusan diajukan oleh Suamiku. Yakni seputar pelajaran tajwid yang mengenai hukum bacaan ikhfa.
"Ikhfa sendiri berartikan samar, terjadinya hukum bacaan ikhfa yakni ketika adanya nun mati atau tanwin berhadapan dengan huruf lima belas diantaranya, ta, tsa, jim, dha, dza, zaa, saa, sya, sho, dho, tho, dzo, faa, qof, kaf. Contohnya, 'Ing kung tum."
"Seratus. Sekarang giliran kamu yang bertanya."
"Gus, jika njenengan disuruh pilih antara hukum bacaan izhar atau ikhfa, njenengan pilih yang mana?" Sengaja, aku melempari Beliau dengan pertanyaan demikian. Terlihat Lelaki itu mengerutkan dahi, lalu tersenyum sinis. "Izhar."
"Kenapa gitu? Bukankah baik itu hukum bacaan izhar dan ikhfa itu sama-sama penting dalam membaca kalam Allah?" Pertanyaan yang dilempari memang di luar naluri, biarkan saja Gus Aad berpikir keras terlebih dahulu, sedang aku hendak menata buku ke dalam raknya. Pergelangan tanganku tiba-tiba di cekal, ketika hendak bangkit dari kasur.
"Karena sekarang saya tengah mencintaimu secara jelas, bukannya secara samar."
Prett. Bukannya hanyut ke dalam gombalannya, aku malah terkekeh, bukan tanpa alasan melainkan melihat Gus Aad yang sendari tadi kesulitan berujar demikian. "Lah, jangan diketawain toh Dek."
Dia terlihat ingin protes, tetapi aku belum berhenti menertawainya. "Njenengan lucu ya Gus, kalau lagi gugupnya."
Sontak Gus Adnan mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, lalu tak lama kemudian beralih aktivitas dengan menarik hidung pesekku. "Aduh, sakit Gus ...." Bukannya membuat Suami baruku itu iba, malahan ia tertawa lepas saat menyaksikan itu semua.
"Makannya jangan jail kamu."
Tertawa lepas bersamanya seperti ini, seolah membuatku melupakan sejenak segala tragedi yang telah terjadi. Namun tawa kami harus terhenti ketika terdengarnya suara ketukan dari luar kamar. "Aida, Adnan ... mari sarapan bersama."
Gus Adnan langsung menanggapi, sedang aku hanya mengangguk. Eyalah kampret, bagaimana bisa Ummi mertuaku melihat anggukanku ini. "Iya, kami segera menyusul," balas Gus Adnan sedikit berteriak.
"Biar Aida bantu Gus." Tak mau melihatnya kembali kesulitan, akhirnya aku pun membantu Pria itu menjalankan kursi rodanya agar tidak keteteran.
Ketika sampai, ternyata hampir seluruh keluarga besar sudah berkumpul di sana. Tetapi tunggu, kenapa sepertinya wajah seorang wanita yang duduk di tak jauh Ummi mertuaku nampak tidak asing lagi. "Neng Aida ya." Sepertinya Wanita tua itu sama halnya mengenaliku. Aku hanya mengangguk, lalu tersenyum ke arah beliau. "Bude Laras bukan?" tanyaku, sekedar memastikan takutnya aku salah orang.
Beliau nampak mengangguk, lalu membalas senyuman yang sempat aku layangkan tadi. Setelahnya membantuku untuk mengambil wadah nasi. "Maturnuwun."
Acara sarapan untuk pertama kalinya aku berada di keluarga ini, berlangsung dengan sangat khitmad. Tak ada yang menggunakan alat makan seperti sendok, karena semuanya hampir membudidayakan sunnah yang di ajarkan Rasulullah yakni makan dengan menggunakan tangan. Sesekali melihat ke arah Gus Adnan, sepertinya Lelaki itu terlihat tidak selera makan, buktinya nasi di dalam wadah yang digunakan masih tersisa banyak.
"Aad, boyo dihabiskan nasinya." Ummi mertuaku terlihat menasihati, namun Suamiku hanya membalasnya dengan sebuah gelengan. "Aad sudah kenyang Ummi."
Aku yang telah selesai menyantap sarapan pun akhirnya ikut mencoba membujuk rayu Lelaki itu. "Di habiskan ya Gus, biar Aida suapin," bujukku mengambil alih piring yang masih berisikan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Dia terlihat tak menolak, hanya bisa memakan beberapa suap nasi yang aku berikan.
"Pengantin baru ya Gini, romantis-romantisannya nddak tau tempat." Lelaki yang tengah mengenakan baju koko berwarna napi tersebut lantas mencibiri.
Ketika itu Gus Adnan berkata sudah. "Lagi Gus, tanggung nasinya. Ingat, kita itu tidak boleh mubazir, karena masih banyak-"
Ucapanku terhenti, ketika Gus Adnan menyuapkan aku dengan nasi. "Kalau begitu bantu saya habiskan, 'kan kamu tadi yang ambilkan." Seisi ruangan itu tertawa melihat aksi konyol kami berdua. Untunglah tak ada yang menyadari tentang panggilanku yang masih sama pada Suamiku, Gus.
"Ayo di bantu habiskan ya Ndduk." Abah mertua terlihat memberi semangat, begitu juga dengan Istrinya bahkan Bude Laras. "Selalu ingat keistimewaan ketika kita memuliakan Suami ya Ndduk. Surga seolah berjarak begitu dekat dengan dirimu."
Aku hanya manut, lalu kembali menyuapkan Suamiku, kali ini ia terbatuk membuatku kepanikan. "Sudah mendingan?" tanyaku yang kemudian dibalasnya berupa anggukan.
"Sudah ya, saya benar-benar sudah kenyang." Kali ini aku hanya bisa mengikuti kemauannya, jika kembali di paksa pun ya percuma.
Belum cukup sampai disitu, bahkan sebelum membantu mencuci piring kotor, terlebih dahulu aku harus membantunya meminum obat. Bukannya merasa terbebani, tetapi aku harus terbiasa dengan situasi semacam ini, karena 'ku yakin semua ini terjadi bukan atas keinginan Gus Adnan, suami. Melainkan atas izin Allah yang selalu di luar naluri.
"Nama saya Kartika Ning, kalau yang ini Vira." Sesekali 'ku ajak Para mbak ndalem itu mengobrol ketika membantu mereka menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, awalnya mereka menolak tetapi 'ku paksa karena jika tidak, pastinya sekarang aku dan Gus Aad pasti akan perbincangkan, terlebih lagi oleh Pak De Sofian.
"Sudah Ning, yang ini biar kita aja yang mengerjakan, njenengan pasti udah di tunggu sama Gus Adnan." Mbak Vika kembali mencegahku ketika hendak membantunya menata piring ke rak.
"Serius ini?" tanyaku meyakinkan namun hanya dibalas mereka berupa anggukan.
"Nggih, Ning. Sebelumnya terimakasih karena sudah mau membantu kami."
Aku hanya mampu mengangguk dua kali ketika salah seorang Mbak santri yang tak 'ku ketahui Namanya berucap demikian.
"Ya sudah, kalau begitu tak tinggal dulu ya, takutnya Gus Adnan perlu sesuatu. Assalamu'alaikum."
Ternyata begini rasanya menjadi seorang Ning, begitu disegani dan sangat dimanjakan. Hampir setiap pekerjaan rumah jarang dilakukan, karena setiap waktunya ada saja Para santri yang bergantian berdatangan.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Putra Kyai✔
RomanceAida, yakni seorang Mbak Santri ndalem yang terpaksa menerima perjodohan yang di ajukan oleh Kyainya. Namun, Pria yang akan menikahinya bukanlah seorang Pria yang sempurna, melainkan seorang Pria lumpuh dan tengah mengidap penyakit kanker otak stadi...