"Bahagia menurutku itu sederhana, karena cukup dengan melihat Suamiku masih menghembuskan bernapas, itu merupakan sebuah kebahagiaan yang tiada duanya ketimbang perkara duniawi lainnya.”
~Ning
"Lebih baik, sekarang kamu istirahat aja ya." Mas Adnan hanya mengangguk setelah mendengar titahku. Sejak tadi pagi, Beliau terus muntah-muntah bahkan sampai tubuhnya kehabisan tenaga. Setelah diperiksa, ternyata hal tersebut adalah pengaruh obat yang di minum, agar membuatnya bisa bertahan entah sampai kapan.
Tak bisa beralibi lagi, melihat kondisinya seperti tadi, seolah membuat badan ini terasa lemas tak mampu menopang diri. Sama halnya, aku pun merasa sakit, tetapi mengapa harus Mas Adnan, suamiku? Tuhan, kenapa cobaan harus bertubi-tubi menghampiri Beliau? Setelah Engkau uji dirinya dengan kelumpuhan, lalu Engkau titipkan pula penyakit ganas itu di kepalanya.
'Karena Allah sayang pada saya, makanya saya yang di uji Ai. Ingat, Dia (Allah) tidak akan pernah menguji seorang Hamba di luar batas kemampuannya.'
Satu kata untuk Suamiku, hebat. Dia begitu hebat karena begitu tabah dalam menghadapi cobaan dari Ilahi. Ku rasa, Abah Yai tak pernah salah dalam hal memilihkan jodoh untuk Santrinya, memang tanpa di dasari cinta, tetapi rasa itu malah tumbuh dengan seiringnya waktu. Sekarang definisi bahagia menurutku itu sederhana, cukup dengan melihat Pria pemilik kursi roda itu masih bernapas, sudah menciptakan sebuah kebahagiaan yang sulit untuk di jabarkan melalui kata.
"Aida pamit ke pasar dulu ya Mas. Oh ya, njenengan mau titip apa?" tanyaku, setelah mencium tangan beliau dengan takzim. Pria itu masih dalam posisi berbaring mengingat kondisinya yang masih belum stabil.
"Ingat, jangan lama-lama. Di temani sama Mbak Kartika 'kan?" Ini lah yang aku sukai dari sosok suamiku, walaupun sekiranya dia tidak bisa menemaniku pergi, dia pasti mengkhawatirkan diri ini. "Nggih, Mas." Setelah menjawab pertanyaannya, sesekali 'ku lempari senyuman.
"Yo wis, kalau gitu hati-hati. Hm, apapun yang kamu bawa, pasti Mas makan kok," terangnya sambil terkekeh pelan.
Aku hanya mengangguk sebagai balasan, lalu mengelus pelan rambut beliau. Ternyata sama, rontok. Ini pasti efek kemo yang dialaminya, rambut yang tadinya tebal, kian hari semakin menipis dengan sendirinya.
Aku dan Tika, memutuskan untuk naik kendaraan umum, sesekali dari pada terus menerus memakai mobil ndalem, lagi pun Kang Syafi'i yang setia menjadi sopir tengah membantu mengajar para Santri di madrasah. Kali ini bukan aku tak mau mengajar, tetapi aku masih belum siap jika harus benar-benar menyandang posisi Ning. Karena bagiku itu semua bukanlah suatu hal yang mudah, aku harus kembali beradaptasi dan lebih banyak lagi mendalami moral-moral agama yang dahulu pernah di beri.
•||•
"Aida, apa sekarang kamu bahagia?"
'Deg'
Bagai sambar petir di siang hari, takdir malah mempertemukan aku kembali dengan Pria itu. Pria masa lalu yang sempat memintaku untuk menunggu sampai ia mengajukan khitbah, tetapi kalah cepat dengan Sang ayah yang lebih dahulu, menjodohkan aku dengan Gus Adnan.
"Tentu Gus, saya bahagia."
Perih, luka yang tadinya telah mengering, malah tak sengaja terkena percikan air. Bodohnya lagi, aku malah terbawa suasana, tetapi untunglah Mbak Tika masih belum kembali dari toilet.
"Bohong!" Nada bicara Gus Hafiz mulai meninggi. Dia berdecak lalu kembali menatapku. "Kamu terlalu sempurna untuk Adnan yang penuh kekurangan itu, Aida. Seharusnya, sekarang kamu sudah menjadi Istriku, menjadi seorang Ning dari Pondok pesantren Nurul Hidayah, bukannya malah menjadi perawat pribadi Adnan."
Napasku naik turun, begitu kesal dengan tutur katanya barusan. Tak pernah di terlintas dibenakku, ternyata Gus Hafiz bisa sesadis itu. Tega menghina suamiku, bahkan di hadapan Istrinya sekalipun. "Jaga ucapan Gus, bagi saya itu sudah melampaui batas, sama sekali tidak mencerminkan bahwa sampean itu adalah seorang Putra Kyai. Dan lagi, jangan pernah hina Suamiku." Air mataku lolos begitu saja, tanpa diminta, sedikit tak terima jika suamiku di hina.
"Kenapa Aida, kenapa? Apa hebatnya Pria itu? Bukankah dia itu selalu merepotkankanmu? Menjadi beban karena melakukan apapun tidak bisa sendirian? Oh ya, saya harap dia lekas berjumpa dengan malaikat pencabut nyawa."
Aku yang telah habis kesabaran bahkan hilang kendali, rasanya begitu ringan ketika menampar wajah Pria itu. "Maaf Gus, saya tidak bermaksud. Tetapi saya benar-benar tidak terima jika Mas Adnan disepelekan. Mungkin bagi sampean dia tidak berharga bahkan tak ada gunanya, tetapi perlu anda ketahui melihat Pria itu masih bernapas, merupakan sebuah kebahagiaan yang tiada taranya jika berbanding dengan harta. Saya tidak pernah merasa terbebani dengan sosoknya, bahkan tak pernah merasa lelah jika setiap detik harus mengurusinya. Karena Mas Adnan tau bagaimana cara memuliakan Istrinya dan selalu berusaha membahagiakan saya."
Aku menyesal karena telah berani menampar Pria di hadapanku ini, tetapi aku lebih menyesal karena pernah mencintai Beliau. "Ning Aida." Segera aku memutar tumit setelah mendengar seseorang memanggil. Tak lain tak bukan itu adalah Kartika, kini gadis itu telah di beratkan dengan barang belanjaan yang seolah menjadi penghias di tangan kanan dan kirinya.
"Saya cariin kemana-mana taunya ada disini," timbalnya lagi.
"Owalah maaf, tadi saya sedang berbincang dengan Gus Hafiz, Putra Kyai dari Pondok pesantren Nurul Hidayah, tempat saya Nyantri dulu," terangku sambil memperkenalkan sosok Gus Hafiz yang juga masih berada disini. Entah apa yang sedang di buatnya, aku pun tak tau. Tetapi tadi tak sengaja aku melihat sosok Ning Maza yang juga berada tempat ini.
Sekedar mempersingkat waktu dan memadamkan amarah, akhirnya aku dan Kartika lebih dahulu pamit undur diri. Lagi pula ini sudah menjelang sore, mengingat kembali titah Suamiku yang tidak boleh terlalu lama.
"Ning, ternyata panjenengan dari dulu ketemunya sama Laki-laki yang ganteng-ganteng ya. Buktinya tadi Gus Hafiz aja ganteng-ganteng sampai ke tulang, nggak kebayang kalau saya bisa jadi Istrinya, udahlah sholeh, ganteng, Anak Kyai lagi," puji Kartika, ketika kami masih berada di dalam angkot.
"Hati-hati zina pikiran Mbak," peringatku.
"Eh, astagfirullah ... untung segera diingatkan Ning."
"Ummi, Adnan mau nyusulin Istri Adnan Ummi .... Adnan takut dia kenapa-napa, masa dari tadi belum pulang-pulang dari pasarnya. Ck, aku memang tidak becus jadi suami, jangankan menjaga Istri, memindahkan diri ke kursi roda saja hampir mati." Bisa 'ku dengar suara Mas Adnan dari dalam, ketika sampai di ndalem kami langsung di kagetkan dengan sosok Pria paruh baya yang tengah mengenakan jas putih, ternyata Suamiku terjatuh dari tempat tidur saat ingin memindahkan dari ke kursi roda, hingga berujung tak sadarkan diri dan meminta dokter Habibie yang biasa memeriksanya, agar datang kemari.
"Mas, kamu kenapa?" tanyaku, setelah masuk ke kamar dan lupa mengucapkan salam terlebih dahulu.
"Wa'alaikumsalam ... sayang." Mas Adnan sama sekali tak menggubris pertanyaan yang baru saja aku lempari, dia malah bersusah payah bangun dari posisinya yang sendari tadi berbaring.
Belum sempat 'ku cium tangan kedua Ibu mertuaku, Mas Adnan lebih dahulu menghamburkan pelukan. "Tadinya Mas mau nyusulin kamu ke sana sayang, eh malah jatuh dari kasur," jelasnya yang masih tak mau melanggarkan pelukan kami. Kedua mertuaku lantas pergi meninggalkan kami, aku tak bisa menahannya karena Suamiku sedang menceritakan kronologi permasalahannya.
"Kenapa harus ke sana? 'Kan Aida sudah bilang lebih baik Mas Adnan banyaki istirahat."
"Tapi Mas khawatir Ai, kalian di ganggu sama Preman disana."
Sudah 'ku duga, Mas Adnan pasti sangat mengkhawatirkan keadaanku, walaupun secara fisik dia serba kekurangan, tak pernah sekalipun dia memikirkan kesehatannya terlebih dahulu.
"Mas nggak mau makan, kalau kamu nggak makan." Dia langsung merajuk ketika diri ini sempat menolak, untuk menyantap semangkuk bakso ayam bersamanya.
Aku terkekeh dahulu sebelum akhirnya mengiyakan ucapannya. "Yo wis, kalau gitu Aida mau, tapi Mas Aad suapin, nggih?" tanyaku dengan nada sedikit menggoda.
Dia terlihat mengangguk antusias di lanjutkan dengan menyuapiku. Jika Gus Hafiz mengira aku tidak bahagia, Beliau salah besar karena kekurangan yang dimiliki oleh Suamiku, sama sekali tak mempengaruhi kasih sayang yang di beri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Putra Kyai✔
RomanceAida, yakni seorang Mbak Santri ndalem yang terpaksa menerima perjodohan yang di ajukan oleh Kyainya. Namun, Pria yang akan menikahinya bukanlah seorang Pria yang sempurna, melainkan seorang Pria lumpuh dan tengah mengidap penyakit kanker otak stadi...