#ParadeCakraBatch
"Mana mungkin aku abaikan ketika surga telah berada di depan mata. Mana mungkin aku tantang, jika perkataannya mengarah kepada kebaikan."
Ning~
•|||•
Serpihan kenangan bersama Gus Hafidz tergiang kembali di pikiranku, bersamaan pula dengan alunan musik rabana yang dimainkan oleh Para santri. Tanpa sengaja mereka membawakan sholawat favoritku, begitu juga Gus Hafidz. Yakni sholawat Rabbi kholaq versi 'Lamar aku. Bukan tertuju pada ekspresi Mbak-mbak santri yang tengah berbunga-bunga ketika Kang Habib, selaku vokalis hadroh membawakan lagu itu, tetapi bayang Gus Hafidz sekarang seolah berada di dekatku.
Sebuah kata manis yang seolah baru Pria pemilik suara bariton itu, ucapan kemarin. "Aida, jika takdirku adalah kamu. Saya berjanji, akan melamarmu segera, sepulang saya dari Timur tengah. Bersabarlah terhadap waktu, tunggu saya, fahimtum?"
Aku yang terlena dengan ucapannya lantas mengangguk paham. Tetapi, bukan karena wajah tampan beliau bahkan status Beliau yang merupakan pangeran dari Pondok Pesantren Nurul Hikmah, melainkan ... aku mencintai Pria itu tanpa sebab, karena prinsipku mencintai itu tak perlu alasan. Namun, Allah malah menimpakan kepadaku tentang pedihnya sebuah pengharapan kepada sesama makhluk, mengingatkan kembali padaku bagaimana itu sabar. Siapa sangka, pintu hati Abah Yai malah terketuk, lalu memilihku untuk dinikahi dengan Gus Adnan, suamiku sekarang.
Jika membahas waktu lalu, aku malah teringat dengan kata-kata Imam As-Syafi'i. 'Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah akan timpakan tentang pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain pada-Nya. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut, agar kamu kembali berharap pada-Nya.'
Lucu sekali memang, pantas saja ilmu yang telah di beri seakan tak masuk hingga hati. Ternyata penyebab utamanya, malah 'ku buat-buat sendiri. Bagaimana aku bisa sampai berharap kepada selain penciptanya? Padahal makhluk tak bisa menjamin apa-apa.
Menerawang ke masa lalu memang sangat melelahkan, bahkan bukan hanya itu, di masa sekarang ini hanya membuahkan penyesalan. Andai, mempunyai mesin waktu seperti dalam kartun Doraemon, pasti sekarang ini sudah 'ku pinjam agar bisa kembali ke masa lalu, mengubah itu semua dan belajar mencintai suamiku sekarang. Astagfirullah ....
"Ning, monggo di minum toh kopinya, nanti keburu dingin." Aku tersadar dari alam pikiranku, ketika Kartika menepuk pundakku pelan.
"Piye, piye?" Aku yang tak mendengar jelas ucapannya pun, akhirnya menanyakan pada gadis berhijab ungu muda itu kembali.
"Lah, itu kopinya ... buat Ning Aida 'kan?"
Segera aku melirik ke arah gelas kaca yang telah berikan air berwarna hitam tersebut, menepuk jidad karena lupa mengantarkan ini pada Ummi mertuaku. "Maaf Ummi, kopinya sudah dingin. Aida lupa kalau tadi Ummi suruh mengantarkan kopi kemari."
Tak berani 'ku tatap wanita itu, karena takut di pecat jadi menantu, eh! Padahal sudah hampir seminggu aku berada disini tetapi, masih saja tidak hafal jika Ummi mertuaku memang mempunyai kebiasaan, menyeruput kopi panas di pagi hari. "Nggih, nddak papa Ndduk. Lagi pula belum terlalu dingin kok," balas beliau sebelum menyeruput minuman berwarna hitam pekat tersebut.
Tiba-tiba Ummi Khadijah menepuk-nepuk sofa, memintaku agar duduk di sampingnya. "Kemari, duduklah."
Aku hanya menurut, tak berani menolak permintaan beliau. "Bagaimana pernikahanmu dan Adnan?" Setelah mendengar pertanyaan yang dilemparinya, sontak membuatku langsung menatap heran. "Maksudnya Ummi? Maaf, Aida tidak paham." Kembali 'ku tundukkan kepala, agar terkesan lebih menghargai Wanita itu, karena bagaimana pun beliau adalah seorang penyebar ilmu sekaligus Ibu dari Suamiku.
"Ummi tau Ndduk, bukan suatu hal yang mudah menerima Adnan dengan kondisinya yang sekarang. Bahkan mungkin, kamu akan merasa ragu apakah Pria itu bisa menjagamu sepenuhnya." Tebakanku, pasti raut wajah Ummi mertua tengah murung, mengingat perjuangan bahkan penderitaan yang harus Sang putra beliau tanggung.
"Boleh jadi, Gus Adnan tidak bisa melindungi Aida sepenuhnya, tetapi Aida yakin Gus Adnan bisa membimbing Aida dalam mengapai surga yang telah Allah janjikan, membersamainya menuju perjalanan panjang, hingga kekal abadi di dalamnya." Aku hanya menjawab sebisa pun seadanya, tidak sedang beralibi karena 'ku yakin Gus Adnan pasti juga tengah mengusahakan itu semua.
"Tetapi, bagaimana dengan cintamu padanya? Atau ... apa kamu sekarang bahagia, Ndduk?"
"Kenapa Ummi bertanya begitu? Apa Ummi merasa ragu dengan Putra Ummi sendiri?" Bukannya menjawab, aku malah memberanikan diri untuk menanyakan itu semua.
Ummi Khadijah terlihat mengangguk. "Ummi takut kamu tidak bahagia ... bak seekor burung merpati yang selalu di sangkar dan tidak bisa terbang bebas kemana-mana." Setelah mendapati jawaban dari Beliau, akhirnya aku kembali memberanikan diri untuk menatap.
"Aida bahagia Ummi, Aida bahagia karena bisa di satukan dengan Gus Adnan. Karena bagaimana mungkin Aida membiarkan surga di depan mata terabaikan? Tapi kalau soal perkara cinta, pasti akan tumbuh dengan sendirinya."
Perbincangan kami terpaksa terhenti, ketika salah seorang Kang santri menghampiri. Salam tak lupa ia ucapkan sebelum di persilahkan masuk, tetapi dia tidak sendiri melainkan bersama Suamiku. Melihat Gus Adnan yang berwajah pucat, membuatku lekas menghampiri. "Gus."
Tanpa aba Pria itu langsung memeluk, berhubungan sendari tadi tengah membantu mengajar di kelas sebelas. "Kenapa?" Ketika aku bertanya Gus Adnan belum mau menjawab, alhasil Kang Santri bernama Syafi'i itu pun menjelaskan bagaimana kronologi yang telah terjadi.
"Tadi Gus Aad tiba-tiba pusing bahkan hampir tak sadarkan diri, sebelumnya sudah kami tawarkan agar dibawa rumah sakit, tetapi Beliau malah menolak. Katanya ingin bertemu dengan Ning Aida dan minta tolong di antarkan kemari."
"Tu 'kan apa Aida bilang, ada baiknya Gus Istirahat," ucapku.
"Mas sayang, bukan Gus. Ish!"
Aku terkekeh pelan mendengar pernyataan Gus Adnan, ternyata Beliau marah karena sampai detik ini aku belum terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mas. "Iya Mas, iya."
Pelukan itu Beliau longgarkan dan pada saat itu pula, aku mensejajarkan posisiku dengan dirinya. "Mas takut jika di saat malaikat maut ingin menarik kembali nyawa ini, kamu sedang tidak ada disisi, Dek. Karena Mas sangat berharap di detik terakhir kali Mas menghembuskan napas, kamu selalu ada disini." Pria itu kemudian menangis lalu menatap ke arah lain, sepertinya dia tidak ingin aku melihat, ketika ia tengah menitikkan air mata.
MasyaAllah ... sebegitu cintanya kah dirinya padaku? Sebegitu berharganya kah aku baginya?
Kembali 'ku peluk Pria itu, sedikit timbul penyesalan kenapa sampai detik ini aku belum bisa mencintai Suamiku. Gus Adnan tak ingin diam, hingga mengecup ubun-ubunku lama. "Mas nggak akan pergi kemana-mana, begitu pula dengan aku. Aku akan selalu disini, di samping Mas dan merawat Mas Adnan sampai sembuh," ujarku.
Pria itu mengangguk, lalu kembali melonggarkan pelukan. "Janji ya."
"Insyaallah ... ya udah, kalau gitu mendingan sekarang Aida antarin Mas ke kamar, supaya Mas bisa Istirahat. Nanti Aida buatin bubur ayam," balasku sambil menghapus air mata yang masih menjejak di pipinya.
Dengan cepat Gus Adnan menggeleng. "Kalau gitu Mas ikut kamu ke dapur ya Dek, kita masak bareng-bareng," sarannya.
"Nggak perlu, Mas itu perlu istirahat, nggak boleh capek-capek. Bukan begitu Ummi?" tanyaku sambil menatap ke arah Ibu mertuaku yang ternyata, tak kalah sedih dengan ucapan Gus Adnan tadi.
Ummi mengangguk dan tak lama kemudian berucap, "Betul apa kata Istrimu lee ...."
"Tapi Aad benar-benar nggak mau ditinggal Istri Adnan Ummi. Adnan mau hari ini Aida selalu ada bersama Adnan." Ternyata dugaanku salah, 'ku pikir Pria itu akan menurut pada ucapan Ibunya, tetapi kenyataannya tidak. Karena untuk hari ini, dia masih kekeh pada pendiriannya. Alhasil, 'ku mintai tolong pada Mbak santri akan membuatkan bubur untuk Gusnya.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Putra Kyai✔
RomansaAida, yakni seorang Mbak Santri ndalem yang terpaksa menerima perjodohan yang di ajukan oleh Kyainya. Namun, Pria yang akan menikahinya bukanlah seorang Pria yang sempurna, melainkan seorang Pria lumpuh dan tengah mengidap penyakit kanker otak stadi...