Ekstra Part Dua [Gus & Ning]

5.3K 341 13
                                    


Sejatinya, dua insan saling mencintai tak akan terpisahkan karena jarak.

Sang Putra Kyai ✔️


Usia pernikahan sudah genap dua tahunan, laksana berjalan mengikuti arus, sebagaimana skenario yang telah ditentukan. Menjalani takdir sebagai Istri seorang putra Kyai memang bukanlah suatu hal yang terbilang mudah, yang setiap saatnya, seakan menjadi contoh nyata bagi Santri. Tetapi dibalik itu semua, tak lupa rasa syukur selalu aku panjatkan kepada sang Ilahi, karena satu tahun silam suamiku, sudah sembuh total dari lumpuhnya.

Menurut penjelasan dari Dokter, ternyata Gus Adnan tidak mengalami lumpuh permanen, semua itu bermula karena sebuah kecelakaan yang dialaminya sewaktu pulang menurut ilmu dari Mesir. Sebenarnya, banyak sekali memakan korban jiwa tetapi, karena dengan kemurahan dari Sang Pencipta, Gus Adnan menjadi salah seorang penumpang yang selamat. Aku tau itu semua, dari Gus Adnan yang bercerita dan fakta teruniknya lagi, ternyata Gus Aad telah lebih dahulu meminangku dari Abah Yai, tiga bulan sebelum kecelakaan bus itu terjadi.

"Sayang, Abi pulang Nak." Aku menyambut kedatangan suamiku dengan gembira, dengan gagahnya beliau menaiki anak tangga sambil menenteng sebuah paper bag. Senyuman tak hentinya ia lempari selepas turun dari kendaraan roda empat tersebut. "Assalamu'alaikum Humaira, Anak abi cayang." Dengan gemasnya Pria itu menoel-kan pipi anak kami dilanjutkan pula melayangkan sebuah kecupan di kening.

"Wa'alaikumsalam My Hubby," balasku kemudian mencium tangan beliau.

"Sini Dek, Amirul biar sama aku, kamu cobain ini aja," suruhnya.

"Jangan, Mas kan baru pulang. Mendingan sekarang Mas Adnan istirahat dulu gih," tolakku.

Dia hanya mengangguk paham, lalu duduk di kursi kayu. "Abi dan Ummi dimana?" tanyanya sambil mencari-cari keberadaan kedua orang tuanya, terlihat netranya menyapu bersih seluruh ruangan.

"Abi lagi berkunjung ke pondok pesantren tetangga, Ummi juga ikut menemani kata ada acara penting," terangku yang masih menimang-nibang Putra kami.

Gus Aad kembali mengangguk. "Sudahlah sayang, biar Amirul Mas saja yang pangku, kamu siapkan saja Mas makan malam ya?" tawarnya lagi. Awalnya ingin 'ku tolak takut suamiku masih lelah, tetapi berhubung dua minggu belakangan ini kami hanya bisa bertukar kabar melalui video call, akhirnya aku memutuskan untuk memberikan Amirul padanya, bisa jadi Gus Adnan kangen karena sudah sekian minggu tak pernah lagi menggendong, memangku maupun hanya sekedar menciumnya karena ada tugas di kota, tak lain tak bukan adalah mengisi kajian.

"Aku tinggal dulu ya Mas."

Lagi, beliau hanya membalasnya dengan anggukkan. "Sekalian, cobain barang yang tadi Mas bawa."

"Memang isinya apa?"

"Boyo gimana kamu bisa tau, dibuka aja belum."

Alhasil, aku bergegas membuka isi paper bag berwarna silver tersebut. Tanpa dimintai Gus Adnan ternyata membelikanku kalung emas, sebernarnya ini bukan kali pertama ia membawakanku buah tangan, melainkan setiap kali pulang ngaos. Kadang berupa pakaian, kadang makanan kesukaan dan sekarang malah berupa perhiasan. "Sebenarnya, cukup kamu pulang dalam keadaan selamat, sehat wal 'afiat aku pun sudah bersyukur Mas, tidak perlu repot-repot setiap kali pulang ngaos malah dibawakan oleh-oleh begini," ucapku.

"Mas hanya berinisiatif agar kamu merasa senang Dek, walaupun Mas tau yang sebenarnya. Apa salah jika seorang suami ingin membahagiakan Istrinya?" tanya beliau dengan sedikit nada menggoda.

Aku yang termakan godaannya akhirnya mencium pipinya sekilas. "Aku yakin njenengan sudah pasti mengetahui hukumnya Mas. Dan sekali lagi, terimakasih."

"Sama-sama sayang, lagi pula Mas tidak akan seperti sekarang tanpa kamu, kamu adalah penyemangat terbesar hidup Mas juga Amirul. Tanpa dorongan dan bantuan juga do'a istri tercinta, boleh jadi sekarang Mas masih menjadi penghuni kursi roda yang tidak pernah bisa bergerak tanpa dibantu. Mas bersyukur dan tidak pernah salah menjadikanmu sebagai seorang Istri. Mas ... hiks."

Benar sekali tebakan kalian, Gus Adnan terisak kala mengingat masa lalunya, sebuah masa lalu yang kelam tapi juga indah karena di waktu itulah Gus Adnan resmi mempersuntingku dan sampai kapan pun tak akan pernah aku sesali.

"Wis toh Guse, nggak lucu juga kalau njenengan mewek," ucapku yang berusaha menghibur hatinya.

"Mimpi terindah Aida, yaitu bisa menikah denganmu Mas kalau mimpi terburuknya karena Aida sempat menaruh harap pada hati seorang Hambanya yang salah."

Tiba-tiba Gus Adnan terkekeh. "Kayaknya selera kamu itu emang tinggi yang Dek, incarannya rata-rata Anak Kyai semua."

Secara spontan aku memukul pundaknya. "Aduh, sakit sayang."

"Siapa suruh nyebelin."

Tetapi acara ngambek-ngambekan kami terhenti setelah mendengar tangis Amirul. "Dedek nggak suka ya liat Ummi dan Abi bertengkar? Atau kepingin segera jadi Abang biar ada temannya nanti main bola."

"Pengen tak lempar ke laut rasanya! Kok bisa sih jodohku itu panjenengan Gus?!"

"Oh jelas, karena kalau udah jodoh nggak bisa di nego lagi."

Karena Baby Amirul masih terus menangis, alhasil kami berdua turut menenangkan. Tanpa perlu waktu lama, tangis Anak kami pun terhenti. "Udah ya dek, jangan pake acara ngambek-ngambekan lagi, nanti Amirul nangis lagi."

Aku pun setuju kemudian kamipun bergegas menuju meja makan. Walaupun makanan masih belum tersedia, tetapi reaksi Gus Adnan tampak biasa saja, malah asik bermain dengan Anak kami.

"Mas Adnan makan dulu ya, Amirulnya siniin aja," perintahku setelah menyiapkan suamiku hidangan makan malam dengan lauk pauknya.

"Kamu suapin aja ya, soalnya Mas masih pengen gendong Amirul," pintanya.

Tak ingin memperpanjang masalah, aku pun kembali menurut, karena terlalu banyak menentang perintah suamipun hukumnya tak baik. "Makasih karena udah selalu ada," ucapnya disela mengunyah makanannya.

"Kalau makan jangan sambil ngomong dong Mas."

Dia hanya mengangguk paham lalu tersenyum misterius ke arahku. Bukannya dia tak tau hukumnya saat makan, tetapi kalau udah sama Istrinya ini pasti bukan kayak seorang Putra Kyai beneran, bawaannya pengen dimanja terus.

"By the way, makasih juga udah selalu setia."

Gus Adnan tampak terkekeh lalu kembali mengunyah. "Ana uhibbuki abada."

Kami saling melempari senyum sambil sesekali menatap ke arah Amirul. 'Lee, sekarang kebahagiaan Ummi sudah lengkap, tak lagi yang perlu dikhawatirkan dengan kondisi Abimu karena sekarang dia sama seperti Ayah anak lainnya, dia sempurna tapi bukan hanya sebatas fisiknya, melainkan juga hatinya. Ummi sayang kalian, tanpa ragu juga tanpa henti.'

Semoga suka❤

Maaf part-nya pendek, hitung-hitung nulis terakhir sebelum akhirnya tempur ulangan 😭 nggak tau deh ini update terakhir dicerita ini atau malah nambah lagi.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang Putra Kyai✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang