'When Gus Baha' sa'id;
"Allah akan mengganti semua luka yang pernah engkau rasakan, dengan kebahagiaan yang tak terduga."
~Sang Putra Kyai~_________~
Acara tasyakuran yang digelar tadi malam berjalan dengan lancar, berhubungan juga dengan kondisi Gus Adnan yang berangsur membaik. Tak terasa usia kandunganku sudah memasuki ketujuh bulan, padahal aku yang tengah berbadan dua, tetapi malah suamiku yang ngidamnya. "Dih, kok Mas Ad yang ngambeknya? Kan seharusnya Aida?" tanyaku sambil memalingkan wajah.
Dia hanya diam, lalu menjalankan kursi rodanya pergi begitu saja. Untuk yang kesekian kalinya kami bertengkar karena hal sepele, entah kesalahanku yang lagi-lagi tidak bisa mengontrol emosi atau dianya saja yang baperan?
Tau ah, kesimpulannya aku sedang tidak mood untuk meladani Pria itu. "Apa salahnya mengakui kesalahan yang tidak pernah kita perbuat Nduk? Tidak ada yang salah bukan. Api akan terus menyala jika dibalas dengan api, seharusnya api berhadapan dengan air agar bisa memadamkan api yang tengah menyala tersebut. Bukannya Ummah membenarkan apa yang suamimu lakukan, tetapi jangan salah Ummah juga pengalaman, singkat ceritanya waktu Ummah hamil Hamzah, Abah mertuamu yang ngidam, emosinya lebih tidak terkontrol dari pada sebelumnya. Karena itu adalah bawaan ngidamnya, jangan kira Laki-laki tidak bisa ngidam loh ya," terang Ummah mertuaku, pasca mendengar pertengkaranku dan Mas Adnan.
"Baiklah Ummah, InsyaAllah kedepannya Aida akan lebih sadar menyikapi Mas Adnan," balasku.
Ummah mertuaku hanya mengangguk lalu tersenyum menanggapi. "Suamimu ada disana," ucap Beliau, sambil menunjuk ke arah taman pesantren, matanya mengkedip sebelah, pasti niatnya ingin menggoda.
"Ummah juga pernah muda Nduk, suami istri mana yang betah jika berdiaman lama-lama? Ibaratkan satu menit berdiaman bagi seorang pengantin adalah satu tahun," kekeh Ummah Laras.
Aku pun nyaris ikut tertawa dan berlalu pergi menemui Gus Adnan ke taman. "Mas ...." panggilku, namun ada respon dari beliau.
Aku lantas duduk dibangku, dengan netra tak ingin lepas menatapnya. Satu kecupan mendarat di pipi, beliau terlihat memasang wajah datar sembari menatap ke arahku. "Jangan marah ya, Ai minta maaf," ucapku sambil memasang wajah memelas.
Ternyata jurusku ini belum mempan, terpaksa aku keluarkan sebuah gombalan untuk marayu. "Jangan ngambek dong, nanti gantengnya ilang," ucapku lagi, kali ini sambil mengerdip-ngerdipkan mataku. Sampai kali ini tangannya mendarat tepat diwajahku, sama sekali bukan menampar, sekilas seperti mengusap wajah dengan satu tangannya.
Mas Adnan nyaris tertawa ketika aku memasang wajah sebal. "Kenyataannya Mas nggak bisa marah sama kamu Ai."
Nah kan sudah 'ku duga, mana bisa sih Mas Aad marah sama Istri kecilnya ini, sudahlah tibong, imut lagi, unyu-unyu. Kemudian aku berjalan beberapa langkah dan berjongkok ketika telah sampai di depan suamiku, gunanya agar mata ini bisa lebih lama menatap netra coklat teduhnya. Dia memelukku erat, seraya berucap, "Ada tiga hal yang tidak mampu saya dustai, berdusta kepada Allah, Ummi juga Abi dan kemudian kamu, Istriku. Sebesar apapun saya marah ke kamu, tak akan pernah memudarkan rasa cinta juga kasih dan sayang ini."
Aku tersenyum penuh kemenangan, akhirnya Mas Adnan mengakui. "Sherangheo, Gus Adnan!"
"Ana Ukhibbu Ki abda."
______~
"Allahhu ... Mas sakit Mas," rintihku pada suamiku ketika jelang melahirkan. Keringat bercucuran tanpa henti dari tadi, sekaranglah saatnya anak kami dilahirkan ke Dunia. Tak memperdulikan ini adalah pembukaan yang keberapa yang 'ku tau hanya satu hal, Mas Adnan selalu berada disisiku, walaupun kondisinya sempat drop kemarin sore.
"Kamu kuat sayang, Mas tau itu."
"Tapi Aida nggak kuat lagi," rengekku.
Mas Ad menggeleng pelan. "Kalau kamunya nggak kuat, Mas juga nggak kuat sayang. Kita sama berjuang dan berdo'a, kamu berjuang untuk melahirkan anak kita dan Mas akan berjuang agar senantiasa kuat disini."
Sesekali Pria itu menyeka air mataku, dilanjutkan pula dengan mengecup keningku, bahkan Mas Adnan tak hentinya berzikir dari tadi.
Mendengar suara tangis Anak bayi, seolah menjadi obat untukku dan suami. Setelah sekian lama berada disini, menghabiskan tenaga juga mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati, akhirnya Si bayi laki-laki ini telah dilahirkan ke bumi. "Akhlan wa syahlan, kesayangannya Abi."
Dapat 'ku lihat Mas Adnan begitu sangat bahagia, bahkan dia tak henti tersenyum ke arahku. "Terimakasih sayang, terimakasih untuk semuanya, kamu dan Anak kita adalah kebahagiaan yang tidak bisa di nilai dengan apapun," ujarnya.
Aku hanya mengangguk, lalu mengenggam erat tangannya. "Sebaiknya Mas Ad istirahat ya?" tawarku namun dengan cepat Pria itu memberi jawaban berupa gelenggan. Jujur, aku sedikit khawatir dengan keadaan suamiku yang semakin memburuk, aku takut terjadi satu dua hal yang tidak di inginkan.
Suara Mas Adnan terdengar bergetar ketika mengazan kan putra kami, bahkan cairan berwarna merah telah lolos dari hidungnya, namun azan masih terus ia kumandangkan di telinga kanan Sang putra, jangan tanya apakah aku histeris? Tentu. Terlihat jelas bahwasanya Pria itu tengah menahan rasa sakit yang entah dibagian mana, Abi dan Ummi sempat ingin menghentikan aktivitas Pria itu namun urung karena takut ini adalah detik terakhir kali hidup Sang Putra.
'Ku hapus jejak di hidungnya ketika usai, tak memperdulikan betapa sakit rasanya setelah melahirkan. "Boleh Mas yang memberikannya Nama?" tanya Mas Adnan meminta persetujuan lebih dahulu dariku. Tentu aku hanya mengangguk, tak mungkin melarangnya karena bayi laki-laki mungil ini juga Putranya.
"Amirullah Mukmin, harapan Mas semoga ketika ia besar nanti, Dia bisa menjadi seorang pemimpin yang bertanggung jawab juga adil, jujur Ai Mas sekarang tenang jika ingin pergi, karena sudah ada Putra kita yang kelak bertugas menjadi penjaga kamu." Aku menggeleng kuat ketika mendengar penuturannya. "Aida juga butuh Mas!"
Tangisku semakin menjadi, ketika melihat fisik Mas Adnan semakin melemah, anehnya Pria itu dan ingin memberikan bayi Amirul kepada siapapun. "Mas Aad istirahat aja ya? Dede Amir bisa sama Ummi dan Ummah dulu, nanti kita liat."
Mas Adnan menggeleng kuat. "Mas hanya ingin disini Ai, di dekat kalian berdua."
"Hamzah."
"Nggih Mas?"
"Kesini, Mas ingin membicarakan satu dua hal padamu."
Disela tangisku, aku juga merasa bingung dengan tingkah laku suamiku. Setelah Gus Hamzah mendekat ke arah kami, barulah Mas Adnan melanjutkan ucapannya tadi. "Apakah kamu sudah punya pasangan?"
Pria yang tengah menggunakan koko putih itu menggeleng. "Menikahlah dengan Mbakmu!"
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Putra Kyai✔
عاطفيةAida, yakni seorang Mbak Santri ndalem yang terpaksa menerima perjodohan yang di ajukan oleh Kyainya. Namun, Pria yang akan menikahinya bukanlah seorang Pria yang sempurna, melainkan seorang Pria lumpuh dan tengah mengidap penyakit kanker otak stadi...