Chapter 2

1.2K 38 0
                                    

Seattle, Washington.

2 June 2014

Aku tidak terlalu bersemangat hari ini. Aku mandi terlalu lama, dan tidak sarapan sama sekali. Biasanya aku menumpang Aaron untuk ke sekolah, tapi sepertinya dia tidak menjemputku kali ini, karena aku tidak mendengar klakson mobilnya.

Aku berniat berjalan kaki ke sekolah, lagipula sekolah hanya berjarak 2 blok dari rumahku.

Aku membuka pintu rumahku. Kemudian berjongkok mengikat tali sepatuku. Aku mendengar suara mobil berlalu-lalang, tanpa melihat pemandangan di depanku.

"Lama sekali kau, Chloe! Harusnya kau bersemangat pagi ini!"

Aku menengadah. "Aaron! Yo dude, kukira kau tidak akan menjemputku," ucapku. Sambil melihat sedan Volvo 90-an biru nya yang kinclong. "sepertinya kau baru mencuci mobilmu ya?"

Aaron turun dari mobil. Dia membukakan pintu untukku. "Silahkan nona."

"What a gentleman," ucapku.

Aaron menjadi bodyguards ku selama bertahun-tahun. Dia seperti saudara kandungku sendiri. But, he's not a perfect person for me actually, that's why pencils have erasers. Tapi semakin kita mencari kesempurnaan, semakin pula kita tidak akan pernah mendapatkannya, karena sejatinya kesempurnaan yang hakiki tidak akan pernah ada, yang ada hanyalah keikhlasan hati kita untuk menerima kekurangan yang ada.

"Apakah selalu ada selada di dalam taco? Aku tidak menyukainya," ungkap Jordan, saat di kantin.

"Kau bisa menyingkirkannya," kataku, melirik ke arah taco nya.

"Sepertinya aku akan mengambil french fries," katanya, seraya memutar badannya, tangannya membawa taco. Tiba-tiba saja Ryan sudah ada tepat di belakang Jordan, kemudian menyemprotkan semacam icing  ke muka Jordan. kemudian Ryan berteriak, "Selamat hari pecundang sedunia!". Teman-temannya yang berada di belakangnya ikut tertawa terbahak-bahak.

Aaron kemudian angkat bicara. "Aku mual melihat muka kalian. Pergilah dari sini."

Seketika kantin hening.

Ryan maju beberapa langkah ke arah Aaron. Ryan kini berdiri tepat di depan Aaron yang sedang duduk menikmati makan siangnya. "Kau pikir, kau siapa?"

"Sini, maju," ucap Aaron. Ryan maju. Tiba-tiba saja Aaron menghantamkan tinju ke muka Ryan. Darah menyembur sedikit dari mulut Ryan, tetapi ia nyaris tak berkutik.

Kami yang menonton pun tak berjengit, seolah-olah menunggu reaksi Ryan.

Tiba-tiba saja Ryan membalasnya dengan menghantamkan tinju ke perut Aaron yang penuh dengan burrito, namun Aaron berhasil menepisnya. "ibuku meninju lebih keras darimu," cetus Aaron.

"Sialan kau, Aaron." Amarahnya semakin menjadi-jadi.

Ryan menghantamkan tinju ke perut Aaron. Hanya saja ketika Ryan mengangkat tangannya, Aaron sudah meninju mukanya terlebih dahulu.

Ryan tersungkur. Sebuah gigi yang berbalut darah mencuat dari mulutnya.

I Was Quiet, But I Wasn't BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang