Story

1.5K 81 0
                                    

"Penyakit apa?"

"Kau bahkan tidak tahu saudaranya meninggal karena mendonorkan jantungnya untuk Dean? Yang benar saja..."

Adara makin melongo. "Maksudmu saudara? Edward?"

"Kau mengenalnya?"

"Aku hanya pernah mendengarnya..." Ucap Adara mengalihkan pandangannya.

"Kau tahu banyak ternyata..." Ucap Jonathan.

"Kau sudah kenal Dean sejak kapan?" Tanya Adara.

"Sudah lama. Keluarga kami sudah berteman sejak kami kecil. Ayahku adalah sepupu ibu Dean."

"Aku ingin menanyakan sesuatu... Tentang Edward."

Jonathan mengerutkan dahi. "Apa?"

"Apa dia pernah menceritakan seorang gadis yang hampir tenggelam di danau?" Tanya Adara.

Jonathan berusaha mengingat-ingat. "Apa mungkin..."

---

Edward menuruni tangga cepat, "Bi... Sudah di pel?" Tanyanya.

"Sudah, tuan..." Ucap seorang pelayan disana. Dean menoleh dari ruang tengah.

"Ada apa?" Tanya Jonathan duduk di seberang Dean.

Dean menggeleng. "Tak apa... Edward mengacau..." Ucap Dean.

Edward berjalan mendekat. "Hai, Jonathan..."

"Apa yang baru saja kau lakukan?" Tanya Jonathan.

"Apa?"

"Katakan saja, Edward. Kau dari mana?" Tanya Dean.

"Edward..."

"Aku baru menyelamatkan seseorang. Kasihan, dia tercebur ke danau dan hampir tenggelam." Ucap Edward duduk.

"Apa kubilang..." Ucap Dean.

Jonathan menggeleng. "Bagaimana jika kau ikut tenggelam?"

"Aku bisa berenang, mana mungkin aku tenggelam? Lagi pula jika aku hanya diam, bukankah anak itu akan mati?" Tanya Edward.

"Siapa anak itu?" Tanya Dean.

Edward terdiam. "Eumm... Siapa ya?" Gumamnya. "Kenapa melamun?" Tanya Jonathan.

"Aku lupa... Padahal tadi aku berkenalan..." Edward tertawa pelan.

"Dasar..." Ucap Jonathan.

Dean hanya diam menggeleng. Sementara Edward akhirnya ikut terdiam.

"Adara... Bagaimana aku lupa namanya..." Batin Edward tersenyum.

---

"Dia pernah bercerita, tapi saat kutanya siapa nama anak itu. Dia tidak memberitahu..." Ucap Jonathan.

Adara lemas. Bagaimana jika Edward yang ia cari adalah Edward yang juga saudara Dean.

Ia tak banyak tahu, ia merasa tak perlu tahu soal itu semua. Adara merasa sedikit lancang jika ia menanyakan itu.

"Baiklah..." Ucapnya.

"Kau kenal Edward?" Tanya Jonathan.

"Tidak. Aku hanya penasaran." Ucap Adara.

Jonathan hanya mengangguk.

"Apa ayah Dean mengganggumu?" Tanya Jonathan.

Adara terdiam. Itu bukan mengganggu, lebih tepatnya memperingatkan. Tapi sebaiknya Jonathan tak perlu tahu.

"Tidak."

"Itu artinya kau tak ingin menemuinya karena kejadian yang di kantor?" Tanya Jonathan.

Adara menggeleng, "Bukan, kak. Aku hanya tak ingin bertemu..." Ucapnya pelan.

Jonathan menghela nafas. "Kakak kesini hanya menanyakan itu?" Tanya Adara.

"Tentu. Aku muak melihat wajah lesu Dean. Beberapa hari belakangan, wajah dinginnya itu hampir mencekik seluruh karyawan. Itu terlalu menakutkan." Ucap Jonathan.

"Katakan padanya, aku tak ingin menemuinya... Aku ingin sendiri." Ucap Adara.

"Yang jelas ia pasti dan sudah berulang kali bertanya kenapa kau tidak mau menemuinya. That's the point."

"Aku ingin fokus menyelesaikan kuliahku..." Ucap Adara.

"Alasan klasik... Tapi, baiklah. Aku tak memaksa." Jonathan bangkit berdiri. Kedua tangannya rapi, masuk ke dalam saku celananya.

"Lain kali, jika ia kembali kemari, beri alasan yang logis agar dia mengerti. Dean tak semudah itu menyerah." Ucap Jonathan.

Adara hanya terdiam. Padahal ia hanya ingin magang, kenapa jadi begini?

"Aku kembali dulu... Ada pekerjaan yang harus kuurus. Tutup dan kunci pintumu. Jangan biarkan orang asing masuk."

"Kakak... Aku bukan anak kecil..." Protes Adara.

"Memang. Tapi kau sudah kuanggap seperti adikku." Ucap Jonathan tersenyum.

Adara melongo diam.

"Aku pergi..." Ucap Jonathan meninggalkan Adara yang masih melongo disana.

Gadis itu termangu, apa seperhatian itu Jonathan padanya?

Adara diam di tempat.

Jonathan masuk ke dalam mobilnya. "Kematianmu memang membawa petaka kali ini, Edward. Aku masih penasaran siapa anak itu?" Gumamnya pelan.

Lelaki itu melaju ke jalanan, ia harus kembali ke kantor.

Dean terdiam. Seharian ia tak fokus. "Kemana Jonathan?" Batinnya.

Ia membolak balik dokumen. Malas sekali memeriksa semua hari ini.

"Apa yang kulakukan? Tolong, kembalilah fokus..." Umpat Dean meremas rambutnya frustasi.

Ia melihat ponselnya. Ingin sekali ia mencoba mengirim pesan pada Adara.

"Aku gila... Benar-benar gila..." Umpatnya pelan.

Ia membuka laci mejanya. Mendapati wajahnya dan seorang lelaki, ayah Adara.

"Maafkan aku paman, mungkin kau akan memukuli ku karena aku sudah membuat putri kesayanganmu trauma seperti ini..." Ucap Dean pelan.

"Mungkin papa benar... Aku tak semestinya begini..." Ucap laki-laki itu pelan.

Tapi, bagaimana jika ia benar-benar tak bisa lepas dari gadis itu?

Ponselnya berdering.

"Halo..."

"Datang ke rumahku sekarang, tuan. Ayo bicara."

Deg...

"Apa ini kau?"

"Adakah orang lain yang kau harapkan, tuan?" Tanya Adara.

"Adara... Aku..."

Tutttt...

Adara memutus panggilan sepihak. Ia melempar ponselnya asal ke sofa.

"Aku memang seharusnya bicara..."

Adara menghela nafas, "Tapi jika dia orang yang sama, aku harus apa?" Tanya Adara.

Tak pikir panjang, Dean berlari sekencang yang ia bisa.

Jonathan baru saja tiba. Ia melihat Dean berlari kearahnya.

"Dean?"

Dean berlari melewatinya begitu saja. "Dean!? Kau mau pergi kemana!?" Teriak Jonathan.

Dean tak membalas. Ia terus berlari kearah parkiran.

"Aku takkan melewatkan kesempatan ini... Aku takkan kehilangan kesempatan ini lagi!?"

Dean masuk dan berkendara kencang kearah rumah Adara.

-tbc-

Beauty And The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang