Satu minggu berlalu, Dean masih tak bisa menemui Adara. Terakhir kali ia pergi ke rumah gadis itu untuk meminta maaf, Adara justru menolak kedatangannya.
"Pergilah! Aku baik-baik saja!"
"Bagaimana dia bisa berkata seperti itu..." Gumam Dean.
Ia meletakkan kepalanya ke meja. "Aku bisa gila jika terus begini..." Umpatnya pelan.
Jonathan mengetuk dan membuka pintu. "Kau ada meeting hari ini..."
"Aku tahu..." Sahut Dean malas.
Jonathan berkacak pinggang. "Kau akan sidang. Bagaimana bisa kau masih begini?"
"Urus saja sidangnya... Aku muak..."
Jonathan memukul kepala Dean dengan dokumen yang dipegangnya.
"HEIII!!!!" Teriak Dean terkejut.
"ITU KARENA ULAHMU SENDIRI, BODOH! KAU MEMBUATKU MALU!!" Umpat Jonathan gemas.
Dean menghela nafas, tangannya mengusap kepalanya. "Aku sudah berusaha meminta maaf..."
"Tetap saja itu membuat Adara trauma, bodoh..."
"Bisakah berhenti memanggilku bodoh?"
"BODOH!" Umpat Jonathan memasang wajah meledek.
Dean mendengus. "Apa yang terjadi sampai kau harus minum dan menginap di kantor? Kau belum menjelaskannya padaku."
Dean mengalihkan pandangannya. "Aku..."
Jonathan diam memperhatikan. "... Dimarahi papa karena ia mengira Adara yang membuatku menceraikan Risa."
Jonathan tersentak. Bagaimana bisa tuan besarnya berlaku seperti itu?
"Kau serius?"
"Dia benar-benar menyalahkan gadis itu. Bagaimana aku tidak marah..." Ucap Dean.
Jonathan terdiam. Tidak ada salahnya jika dia marah, tapi... Adara tak seharusnya berada di keadaan seburuk itu.
"Aku khawatir papa sudah mendatanginya terlebih dahulu. Terlebih Adara bersikap aneh seperti ini gara-gara aku..."
Jonathan kehabisan kata-kata. "Aku tak tahu apakah aku benar-benar menyukainya atau tidak, tapi aku menginginkannya dari awal."
Dean menghela nafas. "Dia... Anak dari laki-laki yang pernah menyelamatkanku saat aku hampir bunuh diri setelah aku tahu penyakitku..."
Dean ingat betul saat ia berteriak tak karuan di tepi jembatan. Ia mungkin takkan punya kesempatan hidup normal jika seperti ini.
Namun seorang lelaki berlari kearahnya dan menarik Dean ke pelukannya.
"Apa yang kau lakukan!? Lepaskan aku paman!?" Teriak Dean.
"Hei... Kita bisa bicara baik-baik..."
"Tidak!? Aku tidak bisa hidup lagi!? Lepaskan aku!"
"Aku janji semua akan baik-baik saja, nak. Hentikan!?"
"Paman kira aku bisa!? Aku tidak bisa, paman!? Aku akan tetap mati!? Lepaskan!"
"Kau boleh menangis... Kau boleh mengumpat. Terserah!? Tapi jangan melompat..."
Dean terisak pelan. "Tenang..."
Lelaki itu mengusap kepalanya pelan. "Aku tahu, semua berat untukmu. Tapi cobalah bertahan sedikit."
Dean menangis keras. Sekeras yang ia bisa.
Ingatan itu membekas di otaknya. Ia mencari dan menemukan paman itu bersama keluarganya.
"Aku ingin keluarganya juga baik-baik saja saat itu... Tapi kurasa, paman terlalu cepat pergi." Ucap Dean menatap Jonathan.
"Maksudmu kau sudah tahu Adara sejak kecil?" Tanya Jonathan.
"Iya. Karena ayahnya... Paman itu selalu menemuiku di jembatan yang sama dan di hari terakhirnya, aku tak bisa menemuinya dan juga harus kehilangan Edward."
Jonathan mengerti sekarang. "Kau menyukai Adara atau tidak?"
Dean menggeleng. "Entahlah..."
"Gadis itu keras sekali." Umpat Dean.
Jonathan tak tahu soal itu. "Aku membuatnya membenciku. Bukankah itu cukup untuk menjauhkan papa atau Risa darinya?"
---
Adara meringkuk. Ia bisa gila jika terus mengingat kejadian itu.
"Bekasnya sudah hilang, syukurlah..." Ucapnya pelan.
Ia menoleh menatap foto keluarganya. Ayahnya... Adalah hal berharga baginya...
"Mungkin jika ayah masih disini, ayah akan menghajar tuan Dean sampai remuk..."
Adara tersenyum. "Kepalaku pusing, ayah... Aku tak tahu jika jatuh cinta harus seperti ini... Aku menyesal..." Ucap Adara pelan.
Setelah kejadian itu, Adara tak keluar rumah. Kecuali untuk mengambil belanjaannya di depan rumah yang sudah ia pesan lewat ojek.
Namun, bukan kejadian itu yang membuatnya menjauhi Dean. Tapi...
Ayahnya...
"Aku ingin kau menjauhi anakku, dia sudah beristri. Kau tahu itu bukan?"
Laki-laki yang ia lihat di salah satu foto yang terpampang di rumah Dean saat makan malam. Itu ayah Dean.
Hanya lewat telepon saja tubuhnya merinding, bagaimana jika laki-laki itu mendatanginya langsung...
"Hah... Memang sial..." Umpat Adara pelan.
Ia diam bersandar ke kepala ranjangnya. "Memang apa yang bisa kuharapkan dari bajingan itu..."
Ponselnya berdering. "Kak Jo..."
"Halo..."
"Ada apa kak?"
"Ada yang harus kubicarakan..." Ucap Jo.
"Aku sedang tak ingin keluar rumah. Bicaralah saja..."
"Ini tentang ayahmu..."
Adara terdiam. "Tahu apa kakak soal ayah?" Tanya Adara.
"Buka pintunya... Aku sudah diluar rumahmu."
Adara berlari kearah balkon. Jonathan berdiri di depan gerbang. "Tunggu sebentar..."
Adara membukakan pintu cepat. "Masuk."
Jonathan masuk dan duduk di sofa cepat. "Apa... Cepat bicara..."
"Dean kenal ayahmu..." Ucap Jonathan pelan.
"Darimana kak Jo tahu... Jangan coba-coba membohongiku agar aku mau menemui bos mu... Mana mungkin orang seperti Dean mengenal ayahku yang hanya seorang pekerjaan biasa?" Ucap Adara ketus.
"Dengarkan aku... Dean hampir bunuh diri dulu... Ayahmu yang menyelamatkannya."
Adara menoleh. "Bunuh diri? Karena apa?"
Jonathan menoleh. "Kau belum tahu jika Dean punya masalah dengan jantungnya?"
Deg...
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty And The Boss
Roman d'amourAdara mendapatkan tugas untuk magang di sebuah perusahaan terbesar di kota berkat nilai pendidikannya yang terlampau memuaskan. Ia mendapat tempat sebagai sekretaris yang harus menghadapi boss nya yang dingin. Namun, semua tak sesuai ekspetasinya. ...