Lonceng kuil berdentang. Di sana sudah sunyi sepi. Hanya seorang putri dengan gaun hitamnya yang masih berdiam di sana. Tangannya mengepal erat. Sang pelayan yang berdiri di belakangnya mulai khawatir dengan langit yang menggelap.
"Tuan putri ... mari kembali."
"Sebentar," tolaknya, "aku masih mengutuki diriku sendiri."
"Putri Nancy ... sebentar lagi hujan."
"Kalau hujan ini bisa membasuh sedihku," ucapnya selagi tangannya mengepal makin erat, "dan petir mencabik, menguliti sesalku, biarlah itu terjadi."
Pelayan itu menghela napasnya sedih. "Putri, Tuan Pangeran Yoongi tidak akan suka melihat putri seperti ini dari langit. Hamba dengar juga, Tuan Pangeran Jeno sebentar lagi akan sampai."
Nancy terdiam sejenak sebelum kembali berjongkok dan mengusap nisan marmer di depannya. "Aku berjanji akan mencari tahu pelaku pengeboman rumah Ibu Min. Aku akan mencarinya dan kupastikan ia dibakar hidup-hidup, sama seperti kakak dan Ibu Min."
••••
"Daratan sudah terlihat!!!"
Chan segera turun dari pos berjaganya di atas tiang kapal begitu daratan terlihat di teropongnya. Para kru berlalu-lalang merapikan barang-barang yang hendak diturunkan dari kapal. Setelah berbulan-bulan terombang-ambing ombak, akhirnya mereka menapak daratan kembali.
Renjun keluar dari ruang kapten dengan membawa sebuah kotak besar berisi barang-barangnya, baik yang ia bawa dari rumahnya maupun yang dibelikan Jeno saat mereka singgah di satu kota sebelumnya.
"Sini, kutaruh dengan barang-barang yang lain. Biar sekalian," tawar Jimin padanya.
"Ah, terima kasih!" seru Renjun sambil menyerahkan kotaknya. Ia akhirnya membantu awak kapal yang lain mengoper berbagai barang yang akan mereka turunkan.
"Kapten ada di mana?" tanya Jimin sambil masih mengoper barang yang lain.
"Masih sibuk di meja kerjanya," jawab Renjun, "entah mengerjakan apa." Kini ia membantu awak kapal yang lain mempersiapkan tali dan alat-alat lain untuk menurunkan barang.
Tak lama kemudian, kapal itu akhirnya menyentuh daratan dengan sedikit goncangan di atas. Awak kapal berseru senang menyambut akhir perjalanan mereka.
Renjun tertawa riang ketika akhirnya mereka sampai. Namun kemudian ia teringat pada kapten yang tak kunjung keluar dari ruangannya.
Pintu ruangan itu dibukanya, disertai derit kayu yang sedikit melapuk. Seseorang terlihat masih sibuk di mejanya.
"Jeno ... sudah sampai," ucap Renjun lembut.
"Aku tahu, tapi rasanya mengganjal."
"Kenapa?" Renjun menghampirinya.
"Entahlah. Rasanya berat," jawab Jeno, "waktu terasa sangat cepat berlalu."
Sebuah tawa meluncur bebas dari bibir Renjun. "Ya sudah. Aku ke buritan sebentar. Aku lupa ada beberapa buku di kapal ini yang ingin kubawa."
"Kamu tahu dari mana kapal ini menyimpan buku?"
"Tempo hari Seungcheol menyuruhku membaca beberapa buku di sana."
"Untuk apa?" Jeno mengernyit.
"Katanya ... untuk menjadi ratu yang ideal memimpin suatu kerajaan bersama suaminya."
••••
"Ah ...."
Renjun hanya membisu di sisi Jeno melihat lelaki itu bersimpuh di hadapan sebuah nisan marmer.
![](https://img.wattpad.com/cover/164374134-288-k640699.jpg)
YOU ARE READING
Black Blood
FanfictionAkhirnya bertahun-tahun sesudah lenyapnya Mutiara Hitam, kebahagiaan pun datang. Hidup seorang Lee Jeno semakin sempurna bersama sang pendamping, Lee Renjun, dan buah cinta mereka. Kerajaan Foinix menjadi aman dan tentram setelah Raja Donghae menyer...