"Boleh tinggalkan aku sebentar?"
"A-ah ... " beberapa pelayan itu melebarkan matanya. "Baiklah, Yang Mulia."
Klek.
Lelaki itu kini seorang diri di kamar mandinya. Air dengan kelopak mawar merendamnya setinggi dada. Wewangian bunga dengan sedikit aroma minyak mur mengisi seluruh ruang itu.
'Datang lagi, sialan.' Dahinya mengerut ketika sedikit demi sedikit rasa menusuk memenuhi punggungnya.
'Satu kali kau terlepas dariku adalah sebuah kesalahan, namun dua kali kau terlepas dariku adalah sebuah penghinaan.'
Kata-kata itu terus-menerus terngiang di kepalanya. Ia tidak tahu lebih menakutkan kalau ia mati saat itu atau kini hidup dalam bayang-bayang kematian.
'Dengan ini, kau tidak akan bisa melarikan diri dari takdirmu.'
Ia mengerang ketika punggungnya seperti yang disayat. Jantungnya berdebar kencang, pandangannya memburam.
'Mau datang sekarang atau mau menunggu takdir menjemputmu? Aku menyambutmu apa pun pilihanmu.'
"Tidak, tidak! Akh!" Kelopak mawar yang memenuhi bak mandinya kini seolah menjadi kolam darah. Air di bak berkecipak saat ia menggeliat menahan perih yang menusuk punggungnya. Sebuah pola merah kehitaman bersinar menghiasi bahu bagian atasnya.
'Manusia sampai kapan pun hanyalah makhluk yang tidak lebih baik dari sampah.'
Dok! Dok! Dok!
"Jeno, kau di dalam?! Cepatlah keluar, para bangsawan sudah menunggumu!"
Rasa sakit itu lenyap begitu saja. Hanya tersisa napas Jeno yang terengah. Lantai kamar mandi itu lebih basah dari sebelumnya. Ia harus sedikit berhati-hati saat keluar dari baknya. Dengan gaun mandi yang membalut tubuhnya, Jeno meninggalkan kamar mandi itu.
"Ayah, acaranya hanya berdiskusi singkat, bukan?" tanyanya melihat sang ayah yang sudah mondar-mandir mengelilingi kamarnya.
"Ya. Cepatlah berpakaian."
"Untuk apa? Aku masih memakai gaun mandiku. Toh, bukan acara formal ini."
Buk!
"Anak tidak tahu sopan."
Jeno mengusap kepalanya yang berdenyut. Ayahnya segera meninggalkan ruangan itu. Sepertinya ia memang harus berpakaian.
••••••
Kedua duyung itu termenung menatap sinar mentari yang menembus tirai air. Benak mereka kusut.
"Jisung, tidurlah. Kamu belum tidur semalam suntuk."
"Haechan-hyung, bagaimana aku bisa tidur?"
Haechan menghela napasnya berat. "Lupakan dulu masalah ini untuk sementara."
"Bagaimana?"
"Mana aku tahu. Itu 'kan urusanmu untuk melupakannya."
"Hyung."
"Iya, maaf."
Hening kembali memenuhi mereka. Rasanya janggal dan berat. Mereka tidak pernah merasakan ini sebelumnya.
"Tapi aku serius, Jisung," buka Haechan kembali, "pergilah tidur. Aku akan menemui Luhan dan Jeonghan hyung. Mungkin mereka bisa membantu."
Jisung terlihat enggan untuk membalasnya. "Bisakah mereka menutup mulut dari ayah?"
"Aku akan mengurusnya." Haechan bangkit dari tempatnya. "Pergilah tidur. Jangan ceritakan ini dulu pada Guanlin dan Chenle. Jika tidak bisa tidur, setidaknya pejamkan matamu untuk sejenak."
YOU ARE READING
Black Blood
FanfictionAkhirnya bertahun-tahun sesudah lenyapnya Mutiara Hitam, kebahagiaan pun datang. Hidup seorang Lee Jeno semakin sempurna bersama sang pendamping, Lee Renjun, dan buah cinta mereka. Kerajaan Foinix menjadi aman dan tentram setelah Raja Donghae menyer...