6. Pertengkaran Pertama

1.7K 282 43
                                    

Hai, Deers, makasih banget yang udah baca cerita ini. Semoga terhibur. Jangan lupa tinggalkan jejak cinta kalian.

💕Selamat Membaca💕

Memang betul pepatah yang mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak". Kesempurnaan di dunia bukan sebuah keniscayaan.

Kupikir pernikahan kami berjalan sempurna hingga membuat decak kagum para tamu dan membuat iri orang yang membenci. Dari awal hingga beberapa menit lalu saat para tamu satu persatu pulang, semua masih bergulir sesuai rencana. Namun, kesempurnaan itu ternoda oleh celotehan seorang anak yang digendong seorang wanita berhijab dan memanggil suamiku 'Papa Elang'.

"Papa Elang?" Alisku mengernyit tajam. Aku meneleng seraya mendongak, menatap Mas Elang untuk meminta penjelasan.

"Maaf, anda siapa?" tanya Mas Elang dengan nada tenang.

"Sa-saya Dita. Kakak Salwa. Pacar Mas Elang dulu."

"Heh?" Sontak mataku terbeliak dengan rahang yang seolah jatuh tertarik gravitasi bumi hingga mulutku menganga lebar.

"So-sori, Dhes. Tapi a-aku ...." Mbak Dita tergagap. Namun, aku justru membaui sesuatu yang tak beres.

"Salwa? Di mana dia?"

Otak cerdasku langsung menangkap suara serak bernada khawatir. Tunggu ... berarti selama ini Mas Elang mengenal gadis yang berfoto bersamaku. Berarti selama ini dia menyembunyikan kenyataan bahwa Salwa adalah mantannya?

Aku masih terdiam, menahan batin yang kini tersapu awan kelam seperti langit malam hari ini. Ah, pantas saja Mas Elang langsung pucat begitu mendengar nama Salwa.

"Salwa ... dia kemarin menghubungi setelah sekian lama menghilang. Ternyata dia selama ini mengandung dan melahirkan anaknya sendiri ..." Mbak Dita menjeda ucapan sebentar sambil manatap tak nyaman ke arahku, "anak dari benih mantannya."

"Be-benih mantannya?" Mas Elang mengerjap dengan suara serak yang mencicit seolah lehernya tercekik.

Aku sudah tak bisa menahan diri. Aku menyela percakapan yang seolah tak melibatkan aku. "Apa maksudnya, Mbak? Mas Elang ini mantan Salwa, dan ia punya anak dari Mas Elang?"

"Gandhes, maaf ...."

Aku mengerjap berulang. Kepalaku menggeleng ingin menolak kesimpulan yang dibenarkan oleh Mbak Dita.

"Pa, Papa?" Balita laki-laki dengan rambut lurus itu mengulurkan tangan ke arah Mas Elang yang masih memberikan tatapan nanar.

"Papa?" Jakun Mas Elang naik turun. Ia tampak ragu.

"Papa ...." Anak itu meronta dan meminta Mas Elang menggendongnya.

Kini mataku semakin membulat dengan desir menyakitkan di dada, kala Mas Elang mengambil alih anak itu dari gendongan Mbak Dita.

Napasku tersengal melihat balita yang menepuk-nepuk pipi Mas Elang sementara lelaki jangkung itu masih memindai wajah imut sang balita.

"Ba-bagaimana bisa, Mbak?" cicitku seraya meremas gaun sutra yang menjuntai hingga lantai. Sungguh pertanyaan bodoh. Jelas saja bisa kalau mereka sudah ena-ena. Tapi, tidak mungkin Salwa yang alim merelakan kesuciannya hingga hamil.

Mbak Dita tidak langsung menjawab. Dia menggigit sudut bibirnya. "Mbak juga nggak ngerti. Tiba-tiba Salwa menelepon setelah menghilang beberapa tahun dan bilang dia punya anak. Dia pengin nitip Lingga ke Mbak, karena dia sakit. Tapi ... suami Mbak nggak mau dititipin Lingga karena marah dengan Salwa yang dianggap sudah membuat aib keluarga. Sori, Dhes. Pas tadi Mbak ke rumah Mas Elang, aku diberitahu Mas Elang menikah dan dikasih alamat ini, yang ternyata adalah rumahmu. Jujur Mbak bingung."

My Husband's ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang