15. Tuyul Tengil

1.2K 197 27
                                    

Hai, Deers! Udah hari Selasa  saatnya update Gandhes. Semoga kalian terhibur ya. Jangan lupa kasih vote dan komen banyak2. Buat yang pengin baca cepet, silakan mampir ke KK.

💕💕💕

Langit semakin gelap ketika kami sudah turun di jalanan desa beraspal kasar. Kakiku yang menggantung, bergerak-gerak seiring langkah Mas Elang. Sesekali tubuhku dinaikkan bila melorot dan spontan aku pun mengeratkan kaitan tangan yang mengalung di lehernya.

Perjalanan selama setengah jam, rupanya berhasil membuat napas Mas Elang satu-satu. Bulir peluhnya merembes deras di kepala dan mengalir melalui leher, tak mampu lagi diserap oleh kain kausnya. Dadaku yang menempel di punggung lelaki itu ikut merasa basah oleh keringat Mas Elang.

Walau awalnya malu digendong, lama kelamaan aku tidak peduli. Sudah selayaknya Mas Elang bertanggung jawab karena apa yang terjadi disebabkan oleh ulah anaknya. Namun, mendengar degup jantung Mas Elang yang begitu kencang saat ini, rasa kasihan mulai menyusup batin.

Aku menggigit bibir. Otakku menimbang apakah aku harus turun atau tetap menikmati 'rasa bersalah' Mas Elang. Tapi, nyatanya, aku tidak tega. Aku berdeham, untuk membasahi tenggorokanku yang kering.

"Turunin aku, Mas."

Mas Elang tidak menjawab. Dengkusan napas karena sepertinya dadanya mulai sesak yang terdengar.

"Aku bisa sendiri," kataku lagi.

"Ja … ngan ngajak ngo … mong," katanya tersengal.

Aku berdecak pelan. Tak sampai hati aku mendengar debaran jantung yang sudah lebih dari seratus sepuluh per menit dan laju pernapasan yang memburu ingin meraup oksigen.

"Aku nggak ngajak ngomong. Aku cuma mau turun trus jalan sendiri."

Mas Elang masih diam. Sepertinya dia tak ingin menghabiskan tenaga berdebat denganku. Baiklah, sepertinya aku harus mengalah. Lagi pula dia yang memaksa untuk terus menggendongku. Jangan salahkan bila besok lengannya sakit.

Sejurus kemudian, kami akhirnya masuk ke dalam halaman villa yang diterangi lampu taman. Pintu depan yang terbuka seolah sengaja menunggu kedatangan kami. Begitu memasuki ruang tamu, Mbok Mi yang sedang menyuapi Lingga segera berdiri dan menyambut kami. 

"Mbak Gandhes!"

"Papa!" 

Seruan mereka hampir bersamaan. Lingga meloncat dari sofa dan berlari hendak memeluk papanya.

"Lingga, jangan pe … gang Papa du … lu." Mas Elang menggeleng. Tapi, Lingga tetap nekat memegang ujung kaus Mas Elang seolah tidak ingin melepasnya pergi.

"Mbok, to … long Lingga. Sekalian siapin air ha … ngat," titah Mas Elang, masih berjalan menuju kamar tengah. 

Mbok Mi dengan sigap menggendong balita mungil itu setelah meletakkan piring ke meja dan segera melakukan perintah Mas Elang, 

Mas Elang melangkah lebar dan cepat menuju kamar tengah yang terbuka. Aku menebak pasti dia sangat kelelahan dan ingin segera menurunkan beban berat di pundaknya. Setelah dia mendudukkan aku di kursi, dia merubuhkan badannya di lantai dingin dengan posisi terlentang.

Aku melirik wajah yang memerah dengan mulut megap-megap. Matanya terpejam. Dadanya naik turun dengan kaus yang sudah basah kuyup terkena keringat, mencetak dada berotot 

Aku merutuk. Untuk apa dia bela-belain menggendong hingga kelelahan seperti itu? 

"Papa? Papa napa? Papa mandi?" Lingga yang menghambur ke pelukan Mas Elang, tak mengindahkan tubuh papanya yang basah.

My Husband's ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang