8. Hati yang Remuk

1.9K 274 58
                                    

Makasih yang udah baca cerita ini. Semoga terhibur ya. Jangan lupa jejak cintanya.

💕Happy reading💕

Aku buru-buru masuk ke dalam kamar mandi di lantai atas. Begitu mengunci pintu, aku menumpukan kepala yang terasa berat di permukaan pintu.

Kugigit erat bibirku hingga rasa asin dan anyir tercecap lidah. Tangan kiriku mulai terangkat, menyasarkan kukuku pada gigi yang siap menggigit-gigit hingga tandas ke ujung.

Ah, kebiasaan itu datang lagi! Padahal sudah sejak lima belas tahun lalu kebiasaan itu tak lagi muncul karena Yangkung membawaku ke psikiater untuk mengobati rasa tertekan akibat perceraian Papa Mama.

Aku berjalan hilir mudik di depan wastafel. Tangan kananku memeluk dada dan siku tangan kiriku menumpu di atasnya, saat akan menggigit kuku jempol yang sudah habis sampai pangkal.

"Gandhes, Gandhes, tenangin pikiranmu! Kamu nggak boleh oleng! Seperti kata Yangkung, kamu harus menjadi pohon cemara yang tegar dan nggak akan goyah bila diterpa angin ribut! Kamu Gandhes! Kamu harus luwes mengikuti arah angin mempermainkanmu. Walau terasa nyeri kamu bisa menunjukkan keanggunanmu dan membuat orang lain berdecak kagum karena kekuatanmu! Camkan itu, Dhes!"

Beberapa kali aku bercakap seorang diri. Berulang juga aku menghela napas untuk menjernihkan otak. Namun, otakku tetap saja kusut karena pikiran yang semrawut.

Aku masuk ke bathtub kering dan duduk di sudut dengan menarik kaki, lalu memeluknya erat. Kubenamkan wajahku seolah ingin menyembunyikan kesedihanku pada dunia sambil mengalunkan isakan lirih yang menyayat hati.

Ya, aku gadis yang kuat! Aku pasti bisa melaluinya!

***

Azan subuh membangunkan kesadaranku. Aku gelagapan seperti orang tenggelam. Begitu mataku yang lengket terbuka lebar, aku mendesah kuat. Rupanya semalaman aku menangis sampai tertidur.

Aku lalu bangkit dan melepas gaun pengantin sutraku. Keindahannya kini tak menyisakan rasa bahagia di hati. Justru aku ingin merobek-robek baju yang mengantarkanku pada lembah kenestapaan.

Kini aku memilih untuk membasuh tubuh seolah ingin menggelontorkan rasa sesak di dada. Namun, sekuat tenaga aku menggosok kulit tanganku hingga memerah, rasa itu tak juga luntur. Yang ada tak hanya hati yang nyeri, tetapi juga raga ikut merintih.

Sejurus kemudian aku masuk ke dalam kamar dengan mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Handuk yang membalut rambut basah, tersangga oleh kepala.

Aku mendesah begitu memasuki ruang kosong yang dipenuhi bunga mawar putih dan mawar yang sama sekali belum bergeser dari tempatnya. Di sofa ruang santai atas pun kosong, tak ada sosok jangkung yang bergelung di situ.

Tak ingin terlalu bersedih, aku lalu memilih untuk merias diri. Ya, aku akan tunjukkan pada Elang Prakasa, dia akan rugi karena tak tulus menikahiku. Aku akan buktikan bahwa tak akan ada hal menyedihkan yang akan mengguncang jiwa dan nalarku.

Gandhes Dewayani akan menapaki hidup dengan senyuman walau hati merintih!

***

Begitu mematut diri di depan cermin, dengan polesan make up yang bisa menyamarkan mata sembabku, aku kemudian turun untuk menyiapkan sarapan.

Alisku mengerut saat mendengar suara riuh dari arah dapur. Jam dinding di ruang tengah masih menunjukkan pukul 04.30. Aku lantas bergegas menuju ke dapur dan melihat Mas Elang sudah ada di sana.

Mas Elang hanya memberikan senyuman seolah semalam tak terjadi sesuatu. Tak terucap sepatah kata pun dari bibirnya. Setidaknya, dia menanyakan keadaanku, atau basa basi lainnya.

My Husband's ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang