10. Membela Salwa

1.7K 269 51
                                    

Hai, Deers, balik lagi ya, Gandhes dan Elang. Kuy, kasih dukung cerita dengan klik bintang, dan komen banyak. Buat yang belum follow silakan follow akunku.

💕Sugeng maos💕

Mas Elang terperanjat saat melihat aku yang berdiri mematung di atas lantai keramik putih. Entah kenapa aku seperti menginjak bara api yang merambatkan rasa panas di sekujur tubuh dan menyusup perlahan di hati. 

Lelaki bertelanjang dada dan berbebat handuk itu menggendong anak laki-laki kecil yang juga dibalut tubuhnya sebatas perut ke bawah. Tetesan air masih tampak jelas mengalir mengikuti ukiran otot perut yang liat dan wangi sabun menguar dari kamar mandi.

"Dhes, udah pulang?" Mas Elang menyapaku.

Aku tak menjawab. Tanganku menggenggam erat tali paper bag yang aku pegang hingga bergetar. Tatapanku masih menghujam makhluk kecil yang juga memandangku dengan mata bulatnya.

Sekujur tubuhku merinding! Anak balitaku itu membuatku mual karena tiba-tiba aku mengingat bagaimana insan mungil itu terbentuk akibat benih yang disebar lelaki dewasa yang menggendongnya. Tak hanya itu, aku benci anak-anak! Mereka membuat hidupku tak nyaman. Seperti keberadaan Deo dan Dea yang membuatku seperti Upik Abu yang harus melayani di rumah sendiri setiap kali mereka berkunjung.

Saat aku masih termangu di tempatku, Mas Elang melangkah maju. Kakiku masih kaku walau sebenarnya aku ingin menghindar.

"Kenalin, ini Lingga. Lingga Prakasa. Anak … ku sama Salwa." Suara serak Mas Elang semakin serak seolah pita suaranya terjepit.

Walau aku berusaha menulikan pendengaran, suara yang semakin lirih di akhir kalimat itu justru terdengar bagai guntur menggelegar yang membuat telingaku berdenging.

Ah, namanya Lingga. Lingga dalam nama Jawa berarti kekuasaan, dan Prakasa merujuk pada keperkasaan. Nama yang bagus. Untuk seorang anak haram!

Aku berdecak dan merutuk! Aku tahu seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Seperti aku yang tak bisa memilih siapa papa dan mamaku yang ternyata menelantarkanku karena sibuk dengan pasangan masing-masing. 

"Lingga, ini Mama Gandhes."

Pikiranku yang melayang seketika buyar karena ucapan Mas Elang. 

"Mama? Sejak kapan aku nglahirin tuyul ini! Tu-yul yang men-cu-ri pundi-pundi kebahagiaanku hingga nggak bersisa!" Mataku membeliak menatap dua laki-laki beda generasi itu.

"Gandhes!" sergah Mas Elang.

"Papa, Mama Dhes malah?" tanya Lingga dengan ucapan cadelnya. Mungkin bagi orang lain, suara Lingga akan terdengar menggemaskan tapi bagiku semua yang berkaitan dengan Tuyul itu sungguh me-mu-ak-kan!

"Nggak. Mama Gandhes cuma capek. Mama Gandhes itu baik."

Dengkusan keras terdengar. Aku berlalu dari hadapan mereka menuju ke kamar dan segera membanting pintu seolah ingin menumpahkan semua rasa jengkel yang mendera hati.

Genggaman tangan pada tali paper bag terurai hingga tas itu jatuh di lantai seperti jiwaku yang kini terpuruk dan aku yakin sebentar lagi aku bisa gila.

Namun, sisi lain hatiku meronta, tak rela nalarku menjadi oleng. Ya, semua yang aku inginkan sudah aku raih dengan susah payah. Gelar dokter, internis, menjadi dokter di rumah sakit pendidikan. Semua sungguh sempurna, bukan? Kesempurnaan yang membalut kerapuhan dalam hidupku yang ingin aku pendam dalam-dalam. Aku tidak ingin decak kagum itu berubah menjadi cibiran yang membuat aku semakin sakit hati.

My Husband's ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang