Kacamata

105 25 1
                                    

KACAMATA

...

Luhan

Hari itu, langit terlihat mendung. Angin menghempas rambut Luhan yang tidak terikat sempurna. Walaupun begitu, Luhan tidak merasa terganggu. Perempuan itu tetap berdiri di depan sebuah perpustakaan fakultas lain, menunggu seorang lelaki yang kemarin ia kirimi pesan keluar dari sana. Luhan harus bertemu dengan lelaki ini.

Setelah menunggu hampir belasan menit, tidak berapa lama, seseorang keluar dari perpustakaan. Ia keluar, lelaki itu. Luhan memasang senyum rapuh ketika lelaki yang baru saja keluar dari perpustakaan itu menyadari keberadaannya. Luhan menghampirinya sembari menyapa, "Hai, Yifan."

"Hai." Yifan balas menyapa. Ia tersenyum melihat senyum Luhan untuknya hari itu. "Lama tidak bertemu. Kau juga baru mengabari kemarin. Kemana saja?"

"Aku sibuk." Luhan menggidikan bahu sekilas. "Yah, kau tahu aku tidak punya banyak waktu untuk memegang ponsel."

Yifan tertawa. Tangannya mengusap-usap puncak rambut Luhan ringan. "Senang bisa melihatmu lagi, Asisten Dosen." Katanya lembut, pun ada ejekan khas Yifan untuk Luhan di sana.

Luhan tersenyum lagi. Ia tak ingin membalas banyak karena entah mengapa, lelaki ini membuatnya takut untuk tersenyum seperti biasa. Luhan yakin Yifan menyadari senyumnya yang tidak biasa ini.

"Kau ingin bicara apa?" Tanya Yifan kemudian.

Pun Luhan yakin Yifan pura-pura tak tahu tentang masalah senyumnya itu.

Luhan mengulum bibir, "Bisakah kita berbicara di tempat lain?" tanyanya.

Yifan memandangnya, tersenyum sembari mengangguk. "Mobil saja, ya. Sekalian kuantar kau pulang."

Luhan menyetujuinya. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir. Setiap langkah yang tercipta, Luhan hanya menunduk, memperhatikan bagaimana kaki mereka melangkah bersama, dan mendengarkan cerita-cerita Yifan. Luhan tidak terlalu suka bercerita pada Yifan. Entah mengapa, mendengar suara Yifan, dan mendengar kekehan lelaki itu, Luhan merasa jantungnya menggebu-gebu.

Tapi untuk kali ini, Luhan tidak merasakan hal itu lagi. Justru Luhan merasa marah. Kepalanya menunduk untuk menyembunyikan semuanya dari Yifan. Luhan takut Yifan tahu kemarahannya.

"Luhan," Yifan memanggilnya, dan Luhan berdeham halus sebagai jawaban. "Kau menunduk terus." Protesnya.

Luhan menghembuskan napas setengah mengejek dengan pelan. Ia mendongak, angin yang berhembus langsung membuat helaian rambutnya yang tidak terikat terhempas begitu saja. Bisa ia lihat tatapan Yifan untuknya kala itu. Ada sebersit rasa rindu di sana. Yifan tersenyum lagi. Tangannya menangkup kedua pipi Luhan, lalu berkata, "Aku merindukanmu, tahu. Kenapa kau menunduk?"

Senyum yang Luhan sematkan kala itu mendadak luntur. Luhan bisa merasakan pedih di dadanya setelah itu. Pengakuan Yifan membuatnya sakit hati, ia tidak bisa menahan diri. Luhan ingin menangis dan marah tapi ia tidak tahu harus mengekspresikannya bagaimana di depan Yifan.

Lantas wajah Yifan berubah menjadi khawatir karena melihat perubahan ekspresi Luhan dan matanya yang berkaca-kaca. "Ada apa, Sayang? Kenapa ka―"

"Berhentilah memanggilku seperti itu, Yifan." sela Luhan serak. Ia menyingkirkan tangan Yifan dari wajahnya. "Aku sudah tahu semuanya. Jadi jangan sembunyikan apa pun dariku lagi."

Hening sejenak.

"Apa maksudmu?" Yifan terlihat kebingungan.

Luhan menunduk sebentar, mengumpulkan kekuatannya sendiri. "A-aku tahu... Kalau aku hanya..." sungguh Luhan tidak sanggup melanjutkannya. "...hanya kau jadikan 'yang kedua'. Aku tahu..."

When The Wind BlowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang