Chapter 4

1.4K 108 2
                                    


"Sudah kuduga, walaupun hilang ingatan sebagian, tapi kau tidak kehilangan kecerdasanmu," ujar Shiho.

Siang itu Shinichi baru saja menjalani ujian masuk Universitas Tokyo dan ia lulus dengan nilai terbaik. Ia memutuskan untuk mengambil jurusan psikologi kriminal pada perkuliahan yang akan dimulai akhir tahun ini. Selama ujian berlangsung, Shiho menunggu dengan setia di kafe sekitar kampus sambil membaca buku.

"Tentu saja," sahut Shinichi seraya tersenyum.

Shiho melirik arlojinya, "Sudah jam makan siang, kau mau makan sesuatu?"

"Boleh, setelah melewati ujian rasanya lapar juga,"

"Makan apa?"

"Kau mau apa?"

"Aku sepertinya ingin okonomiyaki,"

Shinichi nyengir, "Seperti biasa. Baiklah kita makan okonomiyaki saja, aku tahu tempat yang enak di sini. Ayo," ajaknya seraya menggandeng tangan Shiho.

"Eh?" wajah Shiho memerah melihat tangannya digandeng Shinichi.

Mereka akhirnya menuju sebuah kedai kecil yang menyajikan okonomiyaki terbaik di Tokyo. Okonomiyaki dengan rasa genuine dari Osaka. Shinichi dan Shiho duduk di meja bar di hadapan penggorengannya langsung. Seorang bibi paruh baya akan memasak okonomiyaki di depan mereka dan langsung menghidangkannya.

"Hmmm Oishi..." gumam Shiho seraya mengunyah suapan pertama okonomiyakinya, "Untunglah kau ingat tempat enak juga,"

Shinichi terkekeh, "Yang bagus-bagus aku ingat,"

"Dasar,"

"Eh..." Shinichi mengambil sehelai tisu kertas dan membersihkan sudut kanan bibir Shiho yang terdapat kecap.

Dengan wajah Shinichi berada sedekat ini di depan wajahnya sendiri, sulit bagi Shiho untuk bernapas.

"Sudah bersih," ujar Shinichi.

"Arigatou," ucap Shiho malu.

"Wah-wah... romantis sekali... kalian pacaran ya?" kata bibi koki yang memasak okonomiyaki.

"Eh... tidak..." Shiho tampak kikuk.

"Lebih dari sekedar pacar," ujar Shinichi percaya diri.

"Eh?" bibi koki mengerjap.

Shiho tertegun memandangnya.

Shinichi menggenggam tangan Shiho sambil berkata, "Kami adalah partner,"

"Heeeh? Partner?" bibi koki terheran-heran.

"Pacar belum tentu bisa jadi partnership. Tapi partnership mampu menghadapi segalanya," Shinichi mengedipkan sebelah matanya.

"Manis sekali!" puji bibi koki.

Shinichi terkekeh lagi.

"Kudo!" Shiho memperingatkan.

"Kudo? Ehhh jangan-jangan kau Kudo Shinichi detektif SMA yang terkenal itu ya?" tebak bibi koki.

"Benar. Tapi sudah bukan SMA lagi, karena aku sudah diterima di Universitas Tokyo," kata Shinichi.

"Sugeeee... Aku yakin kau pasti akan jadi detektif yang sangat hebat!" kata bibi koki dengan kekaguman yang tak mampu ditutupi.

"Eh," Shinichi mengangguk, "Aku akan seperti Sherlock Holmes dan Shiho adalah Dr. Watson sekaligus Irene Adlerku," tambahnya seraya menatap Shiho penuh arti.

Bibi koki bertepuk tangan senang, "Bagus sekali! Kalian juga sangat serasi! Eh, boleh foto bersama? Supaya aku bisa pajang di kedai sebagai bukti kalau detektif terkenal dan partnernya pernah kemari,"

"Tentu saja boleh!"

Akhirnya mereka foto bertiga.

Setelah itu Shinichi dan Shiho lanjut pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan terutama ketika melewati pinggir sungai, Shinichi tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari tangan Shiho.

"Kudo..." Shiho berusaha melepaskan tangan Shinichi dengan halus.

Namun Shinichi malah semakin mempererat genggamannya, "Kita sudah besar, suka sama suka, kenapa harus malu?"

"Tapi..."

"Ck sudahlah, jangan banyak pikiran,"

Mereka mampir ke sebuah taman yang terdapat ayunan. Refleks Shiho duduk di ayunan dan Shinichi mulai mengayunkannya perlahan.

"Aku tak sabar rasanya ingin cepat-cepat lulus dan menjadi detektif," kata Shinichi.

"Baru juga daftar," kata Shiho.

"Kau sudah menjadi ilmuwan di usia yang begitu muda, aku juga ingin mengejar ketertinggalanku,"

"Bukan kau yang tertinggal, aku yang kecepatan,"

"Tapi seorang pria harus bisa menjadi sandaran bagi wanita. Jika aku tidak kuat dan sukses, bagaimana aku bisa menjadi tempat sandaranmu?"

Shiho tersenyum lembut, "Selama ini aku juga sudah bersandar padamu kan? Kau menyelamatkanku dari markas itu sampai hilang ingatan. Kau sudah hebat Kudo-Kun. Tak perlu berkeras diri,"

Shinichi merasa hangat mendengarnya, "Ran cerita dia sering marah-marah kalau aku selalu sibuk dengan kasus dan misteri. Apakah salah dengan menjadi penggila misteri?"

"Kau menjadi Kudo Shinichi karena kau mencintai misteri. Kalau kau tidak penggila misteri maka tidak ada Kudo Shinichi. Sama seperti aku juga yang mencintai sains,"

Shinichi menangkap rantai untuk menghentikan ayunan Shiho.

"Eh?" Shiho yang kaget menoleh pada Shinichi.

"Perkataanmu barusan bahkan menambah nilai bahwa aku seharusnya bersamamu bukan Ran," ujar Shinichi.

"Kudo... Aku tidak bermaksud..."

"Bukankah memang seharusnya seperti itu? Dua orang yang saling mencintai? Menghargai apa yang menjadi kesukaan pasangannya? Aku takkan menghalangimu dengan sainsmu dan kau juga mendukungku dengan kasus misteriku. Itulah partner sebenarnya,"

"Sebaiknya kita pulang sekarang..." Shiho berusaha mengalihkan pembicaraan.

Namun Shinichi tidak membiarkannya, sebelum Shiho beranjak dari kursi ayunan, ia memeluk Shiho dari belakang.

"Kudo..." Shiho merasa canggung.

"Shiho... Jangan jadikan aku seperti Sherlock Holmes sungguhan, yang tidak mampu memiliki Irene Adler," bisik Shinichi di telinga Shiho, "Aku tak dapat membayangkan jika kau menikahi pria lain,"

"Kau berpikir terlalu jauh Kudo,"

"Holmes memang pandai berdeduksi, tapi ia kurang memperjuangkan Irene Adler. Aku mengagumi kecerdasannya tapi aku tak ingin membuang-buang waktu seperti dirinya, yang hanya merindukan Irene Adler dari lukisan. Aku ingin memilikimu Shiho, aku ingin bersamamu dalam keadaan yang sesungguhnya,"

Shiho tidak tahu harus berkata apa.

Shinichi mempererat rengkuhannya, "Aku mencintaimu Shiho,"

Shiho terkesiap, jantungnya berdegup cepat. Haruskah ia melayang dengan perkataan Shinichi barusan? Shinichi yang hilang ingatan sebagian?

"Aku tak bisa hidup tanpamu," tambah Shinichi.

Lambat-lambat tangan Shiho menyentuh tangan Shinichi yang memeluknya. Ia memejamkan matanya, meresapi kedekatan ini. Ia pinjam Shinichi sebentar saja kalau begitu, namun ia sangat berharap waktu berhenti.

Memory LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang