Prolog

108 19 22
                                    

Tiap kali Luhan membuka loker, tiap kali itu pula Luhan menemukan sepucuk surat kecil untuknya. Kertasnya selalu berwarna biru laut, dengan pena berwarna hitam dan tulisan hangul yang khas. Tiap kali surat itu datang, pasti stiker yang tertempel di salah satu sisinya berbeda-beda. Yang paling sering adalah stiker Tinkerbell yang menggemaskan.

Misteri? Tentu.

Siapa pengirimnya?

Luhan tidak tahu Peterpan itu siapa. Luhan punya banyak teman laki-laki yang dekat dengannya, dan punya banyak penggemar di sekolahnya. Jadi Luhan tidak bisa menebak dengan mudah siapa pemilik dari tulisan yang selalu berada di kertas biru laut itu. Luhan pernah iseng meneliti tulisan tangan teman-temannya. Dan parah! Tidak ada tulisan yang cocok dengan tulisan yang berada di kertas biru laut itu.

Luhan ingin tahu! Sungguh!

Namun, begitu tahu salah satu teman laki-lakinya yang satu ini, Luhan jadi tidak tahu harus berbuat apa. Tiap-tiap langkah yang Luhan ciptakan rasanya jadi begitu berat. Luhan sulit untuk mengulas senyum ketika bertegur sapa dengan temannya itu.

Sungguh sulit.

Karena fakta tentang dirinyalah yang membuat Luhan sulit untuk mengungkapkan segala hal pada temannya itu. Ada hal lain yang harus Luhan jaga dari jangkauannya. Dan Luhan tidak ingin ia tahu. Cukup jangan.

Karena ia benci harus melepas sesuatu yang berharga darinya. Ia pernah merasakannya dan tak ingin mengulang rasa pedih itu lagi.

.
.
.
.

"Berhentilah menatapku seperti itu."

Luhan cemberut, lalu mengalihkan perhatian. Diam-diam ketika mata laki-laki ini tidak lagi menatapnya, Luhan menahan linangan air mata yang mendesak ingin keluar. Tangannya menggenggam erat tongkat onemed yang menyangga tubuhnya. Kalau saja tongkat itu tidak ada, Luhan pasti sudah jatuh terduduk di tanah. Di bawah pohon Akasia yang berada di taman.

"Ya sudah. Sebentar lagi aku ada acara. Aku pulang dulu."

Luhan mengangguk. Ia tersenyum ketika laki-laki itu berjalan menjauh darinya dan melambaikan tangan padanya.

Jongin...

Luhan menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Tongkat onemed-nya ia jauhkan dari ketiak dan tubuhnya jatuh terduduk di bangku yang dekat dengannya. Pandangan Luhan kosong, menatap lurus-lurus kedepan sana.

Awan mendung yang sedari tadi berarak-arak, akhirnya mengeluarkan beban dengan begitu saja. Hujan turun, diawali dengan titik-titik kecil yang akhirnya menyerbu apa saja yang berada di permukaan bumi. Hujan itu datang disaat yang tidak tepat. Karena Luhan masih berada di taman, sendiri, tanpa payung.

Luhan hanya diam. Ketika tubuhnya diserbu bulir air hujan yang deras, Luhan sama sekali tidak bergerak. Yang bergerak hanyalah bibir bawahnya yang bergetar. Luhan bukan merasa kedinginan, bukan. Karena Luhan sedang menahan air matanya sendiri.

Sebenarnya bukan masalah yang besar kalau ia menangis. Air hujan yang turun saat ini sebenarnya bisa menyamarkan air mata yang turun di wajahnya.

Dan pada akhirnya, Luhan menangis. Dalam diam tanpa isak.

Bulir air hujan yang sedari tadi menyerangnya, tiba-tiba tidak lagi terasa. Bulir-bulir itu mengenai suatu benda yang membuat air terjun kecil di depan Luhan. Luhan menggigil, angin yang dingin menerpa tubuhnya begitu saja. Kemudian Luhan mendongak ke atas. Payung berwarna biru laut itu melindunginya. Lalu pandangan Luhan kembali turun, pada tangan yang menggenggam tangkai payung, pada tangan yang terulur dari belakangnya. Gelang hitam dengan bandul bintang pun membuat Luhan tahu siapa yang melindunginya dari hujan kali ini. Luhan menoleh ke belakang, dan tidak bisa menyembunyikan debaran lain di dadanya sendiri.

"Sehun?"

Laki-laki itu kembali melindunginya. Entah sudah yang keberapa kali.

.
.
.
.
buat update cerita ini, apa perlu kubikinin jadwal? kalian maunya gimana?

a letter for little fairyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang